[caption id="attachment_401800" align="aligncenter" width="624" caption="Tjahjo Kumolo (Kompas.com)"][/caption]
Tjahjo Kumolo melempar wacana pembiayaan partai politik sebesar Rp 1 triliun yang berasal dari dana APBN. Saya menyebutnya bukan wacana tapi hayalan. Tjahjo menghayal. Hayalan yang indah itu pasti akan ditanggapi positif khususnya kalangan politisi. Siapa juga yang tidak tergiur partainya akan mendapat kucuran dana Rp 1 triliun dari dana APBN. Para pengurus partai dari tingkat pusat sampai kelurahan/desa pasti akan bersorak gembira akan hayalan yang indah ini. Sebaliknya, pihak-pihak yang kontra terutama kalangan non partisan menanggapinya secara negatif. Menolak hayalan itu.
Terus terang, saya tidak tertarik untuk masuk terjerumus dalam kubangan hayalan itu. Bagaimana tidak saya sebut hayalan, apa yang diperbincangkan secara keseluruhan tentang rencana-rencana ke depan. Asumsi-asumsi yang dibangun di masa mendatang dengan beranjak pada situasi masa kini. Membahas soal-soal yang abstrak dari peran partai politik dalam sistem demokrasi; partai tempat memproduksi pemimpin nasional masa depan; mengatasi prilaku korupsi; syarat-syarat obyektif seperti jika anggaran pemerintah memadai, program pengentasan masyarakat miskin berjalan optimal hingga memperdebatkan soal besaran bantuan sebesar Rp 1 triliun.
Bagi saya semua itu tidak penting untuk diperdebatkan dan dibahas. Termasuk apakah besarnya Rp 1 triliun atau Rp 1 sekalipun. Karena semua itu hanya cerita kosong dan hayalan. Harusnya yang dibicarakan fokus pada topik “bantuan pemerintah pada partai politik yang menggunakan dana APBN”. Dari wacana Tjahjo itu seakan-akan bahwa isu ini baru. Padahal senyatanya bantuan pemerintah pada partai politik yang menggunakan dana APBN dan APBD sudah berlangsung lama dan telah terjadi. Mengapa peristiwa ini seakan ditutup dan dilupakan. Bergerak maju untuk membahas hal-hal yang abstrak dan penuh hayalan ke depan itu.
Tjahjo bicara bahwa bantuan Rp 1 triliun itu nantinya harus dilengkapi dengan sejumlah prasyarat. Diantaranya adanya sistem kontrol yang ketat, menggunakan prinsip transparansi dan akuntabilitas hingga adanya sanksi yang tegas. Pertanyaannya kemudian, apakah sistem dan prinsip-prinsip itu sudah dijalankan pada bantuan yang selama ini telah diterima oleh partai politik. Seharusnya, semua pihak mulai mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Sehingga gagasan atau rencana tidak datang dari langit tapi tumbuh dari bumi. Berangkat pada hal-hal yang bersifat material. Beranjak pada pengalaman yang sudah terjadi selama ini.
Coba kita evaluasi. Dengan menggunakan prinsip transparansi, apakah saat ini masyarakat umum sudah mengetahui berapa besar bantuan pemerintah pada partai politik. Contohnya setelah Pemilu 2009, apakah masyarakat tahu bahwa Partai Demokrat menerima lebih dari Rp 2 miliar atau PDIP menerima Rp 1,6 miliar per tahun hingga 2014. Itu baru dari APBN untuk pengurus tingkat pusat. Belum termasuk bantuan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Bila ada masyarakat yang tahu itupun hasil investagasi media atau hasil penelitian sejumlah lembaga. Lembag resmi seperti KPU atau BPK tidak pernah mensiarkan laporan ini ke publik. Lalu bagaimana mau menghayal menggunakan prinsip transparansi untuk ke depan, jika selama ini saja prinsip itu diabaikan. Masalahnya bukan pada Rp 1 triliun atau Rp 1 miliar per partai politik. Rp 1 sekalipun yang berasal dari APBN atau APBD wajib dipertanggungjawabkan dan disiarkan ke publik.
Tjahjo bicara tentang sanksi yang tegas ke depan. Pertanyaannya, apakah sudah ada sanksi yang dijatuhkan kepada partai politik selama ini atas penggunaan dana APBN itu? Salah satu hal saja. Sejumlah aturan telah dibuat, dari UU tentang Partai Politik, Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri Dalam Negeri diantaranya peruntukan bantuan pemerintah pada partai politik ditujukan untuk pendidikan politik. Lalu apa yang terjadi? Hasil audit BPK ditemukan sejumlah pelanggaran penggunaan dana tersebut.
Beberapa contoh temuan BPK atas penggunaan dana bantuan partai politik yang tidak sesuai ketentuan adalah sebagai berikut:
- Pembayaran honorarium atau gaji staf;
- Biaya kunjungan musibah anggota partai politik yang sakit;
- Biaya perjalanan dinas;
- Biaya sewa kantor partai dan biaya pemeliharaan;
- Biaya sewa hotel dalam rangka musyawarah cabang luar biasa;
- Biaya angsuran kendaraan bermotor.
Lalu adakah sanksi kepada partai politik yang melakukan pelanggaran itu? Tidak pernah ada. Sanksi berupa tidak diberikan lagi bantuan pada partai politik tahun selanjutnya – biasanya oleh pemda Kabupaten/Kota – jika partai politik tidak membuat laporan penggunaan dana. Apabila hendak bicara sanksi untuk ke dapan, tegakanlah aturan dan berikan sanksi saat ini juga. Dengan begitu sistem (culture corporate) akan terbangun dengan sendirinya.
Lantas bicara lagi, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, partai-partai politik diberi bantuan cukup besar oleh pemerintah. Itu iya. Tapi tahukah, bahwa sistem pertanggungjawaban di negara-negara itu dibangun lewat aturan dan sanksi yang tegas. Sanksi bukan saja berupa sanksi administratif tapi juga denda dan pidana. Seperti Amerika Serikat menjatuhkan denda maksimal $ 10.000 atau hukuman penjara maksimal 5 tahun untuk pengeluaran yang tidak sesuai aturan. Untuk England, Wales dan Scotland, sanksi denda £20,000 atau penjara 12 bulan. Untuk Northern Ireland, denda £20,000 atau penjara 6 bulan. Hal yang sama diberlakukan juga di Jerman, Ceko, Kanada, Portugal, Filipina dan Thailand. Lalu mengapa pemerintah kita tidak mengadopsi ketentuan sanksi seperti itu pada kasus-kasus pelanggaran yang sudah dilakukan oleh partai politik selama ini.
Hasil audit BPK sama sekali tidak berfungsi apapun. Temuan-temuan pelanggaran tidak ditindaklanjuti dalam wujud sanksi yang diberikan. Bahkan untuk sanksi yang paling ringan sekalipun, seperti tidak menyerahkan laporan tepat waktu tidak dijalankan secara konsisten baik oleh Kemendagri mapun pemerintah daerah.