Secara teknis pun, masih terdapat sejumlah masalah-masalah. Diantaranya, tidak adanya standard akutansi keuangan untuk partai politik secara khusus dapat dijadikan dasar penyusunan laporan keuangan. Selama ini paling maksimum menggunakan model PSAK 45 - Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba. Padahal bangunan organisasi partai politik jauh berbeda dengan organisasi nirlaba. Akibatnya transaksi-transaksi keuangan dibuat ala kadarnya. Sehingga laporan menjadi tidak memadai dan informatif. Bagaimana mau menggunakan prinsip transparansi, jika standard laporan keuangan saja tidak jelas.
Selain itu soal perpajakan. Hampir semua kegiatan partai politik seperti mengadakan pendidikan politik tidak dibebankan atas pajak. Antara lain Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk honorarium narasumber kegiatan pendidikan politik. Untuk hal yang seremeh ini, partai politik yang katanya penyokong utama sistem demokrasi tetapi pada prakteknya enggan membayar pajak. Perwujudan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel harusnya diawali dari partai politik yang juga bersih, transparan dan akuntabel. Diawali pada hal-hal yang dianggap sepele dan remeh seperti ini, membayar pajak contohnya. Tidak perlu bicara yang abstak, lakukanlah pada hal-hal konkrit untuk mewujudkannya.
Menurut saya, sebelum melangkah lebih jauh menghayal Rp 1 triliun itu, lakukanlah perbaikan, perombakan dan penegakan aturan bantuan pada partai politik yang sejak zaman Orde Baru sudah dijalankan. Paling tidak ada tiga hal:
Pertama, tentang transparansi. Merujuk pada pengalaman negara-negara demokratis lain, ada kewajiban partai politik untuk mengumumkan laporan keuangannya kepada publik. Khususnya terkait jumlah bantuan keuangan yang bersumber dari uang rakyat (baca: APBN/APBD). Keterbukaan informasi atas laporan keuangan partai politik sangat penting bagi kelangsungan demokrasi di suatu negara. Laporan keuangan partai politik di semua jenjang dari tingkat Nasional, Provinsi hingga Kabupaten/Kota. Selama ini UU Partai Politik hanya sebatas memberi kewajiban pencatatan, pelaporan dan kewajiban diaudit oleh akuntan publik. Akses atas dokumen laporan keuangan setiap tahun hanya bisa dilakukan di KPU Pusat dan itu pun tidak dalam bentuk publikasi resmi KPU Pusat. Pihak yang berkepentingan harus datang dan meminta kepada KPU. Dengan praktek seperti ini, patut dikatakan bahwa partai politik sebenarnya tidak transparan karena publik tidak dapat menggunakan dokumen laporan yang diserahkan ke KPU sebagai alat untuk menguji akuntabilitas dan integritas keuangan Partai Politik.
Kedua, hal krusial lain yang patut dipersoalkan adalah sistem pertanggungjawaban keuangan. UU Parpol tidak lagi mensyaratkan adanya laporan berkala kepada KPU. Selain itu, audit eksternal oleh akuntan publik juga di tiadakan sehingga akan berimplikasi pada model pencatatan dan pelaporan parpol.
Selama ini hambatan utama dalam mendorong akuntabilitas parpol adalah pada penciptaan tertib keuangan. Parpol tidak memiliki standar pencatatan, pelaporan, dan audit sehingga laporan tahunan parpol ke KPU kian tahun kian buruk, baik dari jumlah laporan maupun kualitasnya. Hal itu diperparah dengan aturan dalam UU Parpol yang menggeser urusan standar pengelolaan keuangan ke dalam aturan internal parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parpol. Hal itu sangat memungkinkan parpol membuat model pencatatan keuangan sendiri tanpa standar. Lemahnya pengaturan dana parpol sangat krusial jika melihat posisi parpol yang sangat berpengaruh dalam kebijakan publik.
Ketiga, menegakan aturan dan pemberian sanksi yang tegas. Tjahjo tidak perlu bicara sanksi akan datang hingga pembubaran partai politik. Lakukanlah saat ini juga tidak perlu menunggu nanti. Hasil audit BPK dijadikan tolok ukur dan ditindaklanjuti jika terjadi penyalahgunaan bantuan. Audit BPK yang berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) harus “dibunyikan” dalam bentuk sanksi yang dikeluarkan oleh Mendagri atau Pemerintah Daerah. Jika perlu melakukan revisi undang-undang, masukan juga sanksi berupa denda dan pidana.
Apa yang terjadi selama ini terkesan ada diskriminasi hukum. Para pejabat negara yang menyalahgunakan wewenangnya dengan mengunakan anggaran negara bukan peruntukannya dikenakan sanksi hingga pidana (korupsi). Sementara pengurus/anggota partai politik yang menyalahgunakan “bantuan pemerintah” yang juga bersumber pada anggaran negara terlepas dari jerat hukum. Jadi omong kosong bicara peran partai politik dalam sistem demokrasi jika dalam tubuh partai politik itu prinsip-prinsip demokrasi tidak ditegakan. Terutama prinsip persamaan di depan hukum.
Saya hanya berpesan pada Tjahjo Kumolo, berhentilah mengkhayal dengan dana Rp 1 triliun per partai politik dengan sejumlah prasyarat. Sebagai Menteri Dalam Negeri, tegakanlah aturan. Lakukanlah saat ini juga. Tidak perlu bicara menghayal di masa akan datang sementara masalah-masalah sudah tersedia di depan mata. Tidak perlu bicara political will untuk hal yang bersifat hayalan. Jalankan political will sekarang juga. Political will dari Mendagri sendiri tak perlu menyarankan pada pihak lain. Lebih hebat lagi kalau Tjahjo Kumolo punya political will, memberi sanksi pada PDIP (partainya sendiri) yang terbukti dari hasil audit BPK menyalahgunakan bantuan pemerintah, meski Rp 1 sekalipun.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H