Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Khayalan Tjahjo Kumolo Tentang Dana Rp 1 Triliun

10 Maret 2015   04:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_401800" align="aligncenter" width="624" caption="Tjahjo Kumolo (Kompas.com)"][/caption]

Tjahjo Kumolo melempar wacana pembiayaan partai politik sebesar Rp 1 triliun yang berasal dari dana APBN. Saya menyebutnya bukan wacana tapi hayalan. Tjahjo menghayal. Hayalan yang indah itu pasti akan ditanggapi positif khususnya kalangan politisi. Siapa juga yang tidak tergiur partainya akan mendapat kucuran dana Rp 1 triliun dari dana APBN. Para pengurus partai dari tingkat pusat sampai kelurahan/desa pasti akan bersorak gembira akan hayalan yang indah ini. Sebaliknya, pihak-pihak yang kontra terutama kalangan non partisan menanggapinya secara negatif. Menolak hayalan itu.

Terus terang, saya tidak tertarik untuk masuk terjerumus dalam kubangan hayalan itu. Bagaimana tidak saya sebut hayalan, apa yang diperbincangkan secara keseluruhan tentang rencana-rencana ke depan. Asumsi-asumsi yang dibangun di masa mendatang dengan beranjak pada situasi masa kini. Membahas soal-soal yang abstrak dari peran partai politik dalam sistem demokrasi; partai tempat memproduksi pemimpin nasional masa depan; mengatasi prilaku korupsi; syarat-syarat obyektif seperti jika anggaran pemerintah memadai, program pengentasan masyarakat miskin berjalan optimal hingga memperdebatkan soal besaran bantuan sebesar Rp 1 triliun.

Bagi saya semua itu tidak penting untuk diperdebatkan dan dibahas. Termasuk apakah besarnya Rp 1 triliun atau Rp 1 sekalipun. Karena semua itu hanya cerita kosong dan hayalan. Harusnya yang dibicarakan fokus pada topik “bantuan pemerintah pada partai politik yang menggunakan dana APBN”. Dari wacana Tjahjo itu seakan-akan bahwa isu ini baru. Padahal senyatanya bantuan pemerintah pada partai politik yang menggunakan dana APBN dan APBD sudah berlangsung lama dan telah terjadi. Mengapa peristiwa ini seakan ditutup dan dilupakan. Bergerak maju untuk membahas hal-hal yang abstrak dan penuh hayalan ke depan itu.

Tjahjo bicara bahwa bantuan Rp 1 triliun itu nantinya harus dilengkapi dengan sejumlah prasyarat. Diantaranya adanya sistem kontrol yang ketat, menggunakan prinsip transparansi dan akuntabilitas hingga adanya sanksi yang tegas. Pertanyaannya kemudian, apakah sistem dan prinsip-prinsip itu sudah dijalankan pada bantuan yang selama ini telah diterima oleh partai politik. Seharusnya, semua pihak mulai mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Sehingga gagasan atau rencana tidak datang dari langit tapi tumbuh dari bumi. Berangkat pada hal-hal yang bersifat material. Beranjak pada pengalaman yang sudah terjadi selama ini.

Coba kita evaluasi. Dengan menggunakan prinsip transparansi, apakah saat ini masyarakat umum sudah mengetahui berapa besar bantuan pemerintah pada partai politik. Contohnya setelah Pemilu 2009, apakah masyarakat tahu bahwa Partai Demokrat menerima lebih dari Rp 2 miliar atau PDIP menerima Rp 1,6 miliar per tahun hingga 2014. Itu baru dari APBN untuk pengurus tingkat pusat. Belum termasuk bantuan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Bila ada masyarakat yang tahu itupun hasil investagasi media atau hasil penelitian sejumlah lembaga. Lembag resmi seperti KPU atau BPK tidak pernah mensiarkan laporan ini ke publik. Lalu bagaimana mau menghayal menggunakan prinsip transparansi untuk ke depan, jika selama ini saja prinsip itu diabaikan. Masalahnya bukan pada Rp 1 triliun atau Rp 1 miliar per partai politik. Rp 1 sekalipun yang berasal dari APBN atau APBD wajib dipertanggungjawabkan dan disiarkan ke publik.

Tjahjo bicara tentang sanksi yang tegas ke depan. Pertanyaannya, apakah sudah ada sanksi yang dijatuhkan kepada partai politik selama ini atas penggunaan dana APBN itu? Salah satu hal saja. Sejumlah aturan telah dibuat, dari UU tentang Partai Politik, Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri Dalam Negeri diantaranya peruntukan bantuan pemerintah pada partai politik ditujukan untuk pendidikan politik. Lalu apa yang terjadi? Hasil audit BPK ditemukan sejumlah pelanggaran penggunaan dana tersebut.

Beberapa contoh temuan BPK atas penggunaan dana bantuan partai politik yang tidak sesuai ketentuan adalah sebagai berikut:


  • Pembayaran honorarium atau gaji staf;
  • Biaya kunjungan musibah anggota partai politik yang sakit;
  • Biaya perjalanan dinas;
  • Biaya sewa kantor partai dan biaya pemeliharaan;
  • Biaya sewa hotel dalam rangka musyawarah cabang luar biasa;
  • Biaya angsuran kendaraan bermotor.


Lalu adakah sanksi kepada partai politik yang melakukan pelanggaran itu? Tidak pernah ada. Sanksi berupa tidak diberikan lagi bantuan pada partai politik tahun selanjutnya – biasanya oleh pemda Kabupaten/Kota – jika partai politik tidak membuat laporan penggunaan dana. Apabila hendak bicara sanksi untuk ke dapan, tegakanlah aturan dan berikan sanksi saat ini juga. Dengan begitu sistem (culture corporate) akan terbangun dengan sendirinya.

Lantas bicara lagi, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, partai-partai politik diberi bantuan cukup besar oleh pemerintah. Itu iya. Tapi tahukah, bahwa sistem pertanggungjawaban di negara-negara itu dibangun lewat aturan dan sanksi yang tegas. Sanksi bukan saja berupa sanksi administratif tapi juga denda dan pidana. Seperti Amerika Serikat menjatuhkan denda maksimal $ 10.000 atau hukuman penjara maksimal 5 tahun untuk pengeluaran yang tidak sesuai aturan. Untuk England, Wales dan Scotland, sanksi denda £20,000 atau penjara 12 bulan. Untuk Northern Ireland, denda £20,000 atau penjara 6 bulan. Hal yang sama diberlakukan juga di Jerman, Ceko, Kanada, Portugal, Filipina dan Thailand. Lalu mengapa pemerintah kita tidak mengadopsi ketentuan sanksi seperti itu pada kasus-kasus pelanggaran yang sudah dilakukan oleh partai politik selama ini.

Hasil audit BPK sama sekali tidak berfungsi apapun. Temuan-temuan pelanggaran tidak ditindaklanjuti dalam wujud sanksi yang diberikan. Bahkan untuk sanksi yang paling ringan sekalipun, seperti tidak menyerahkan laporan tepat waktu tidak dijalankan secara konsisten baik oleh Kemendagri mapun pemerintah daerah.

Secara teknis pun, masih terdapat sejumlah masalah-masalah. Diantaranya, tidak adanya standard akutansi keuangan untuk partai politik secara khusus dapat dijadikan dasar penyusunan laporan keuangan. Selama ini paling maksimum menggunakan model PSAK 45 - Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba. Padahal bangunan organisasi partai politik jauh berbeda dengan organisasi nirlaba. Akibatnya transaksi-transaksi keuangan dibuat ala kadarnya. Sehingga laporan menjadi tidak memadai dan informatif. Bagaimana mau menggunakan prinsip transparansi, jika standard laporan keuangan saja tidak jelas.

Selain itu soal perpajakan. Hampir semua kegiatan partai politik seperti mengadakan pendidikan politik tidak dibebankan atas pajak. Antara lain Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk honorarium narasumber kegiatan pendidikan politik. Untuk hal yang seremeh ini, partai politik yang katanya penyokong utama sistem demokrasi tetapi pada prakteknya enggan membayar pajak. Perwujudan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel harusnya diawali dari partai politik yang juga bersih, transparan dan akuntabel. Diawali pada hal-hal yang dianggap sepele dan remeh seperti ini, membayar pajak contohnya. Tidak perlu bicara yang abstak, lakukanlah pada hal-hal konkrit untuk mewujudkannya.

Menurut saya, sebelum melangkah lebih jauh menghayal Rp 1 triliun itu, lakukanlah perbaikan, perombakan dan penegakan aturan bantuan pada partai politik yang sejak zaman Orde Baru sudah dijalankan. Paling tidak ada tiga hal:

Pertama, tentang transparansi. Merujuk pada pengalaman negara-negara demokratis lain, ada kewajiban partai politik untuk mengumumkan laporan keuangannya kepada publik. Khususnya terkait jumlah bantuan keuangan yang bersumber dari uang rakyat (baca: APBN/APBD). Keterbukaan informasi atas laporan keuangan partai politik sangat penting bagi kelangsungan demokrasi di suatu negara. Laporan keuangan partai politik di semua jenjang dari tingkat Nasional, Provinsi hingga Kabupaten/Kota. Selama ini UU Partai Politik hanya sebatas memberi kewajiban pencatatan, pelaporan dan kewajiban diaudit oleh akuntan publik. Akses atas dokumen laporan keuangan setiap tahun hanya bisa dilakukan di KPU Pusat dan itu pun tidak dalam bentuk publikasi resmi KPU Pusat. Pihak yang berkepentingan harus datang dan meminta kepada KPU. Dengan praktek seperti ini, patut dikatakan bahwa partai politik sebenarnya tidak transparan karena publik tidak dapat menggunakan dokumen laporan yang diserahkan ke KPU sebagai alat untuk menguji akuntabilitas dan integritas keuangan Partai Politik.

Kedua, hal krusial lain yang patut dipersoalkan adalah sistem pertanggungjawaban keuangan. UU Parpol tidak lagi mensyaratkan adanya laporan berkala kepada KPU. Selain itu, audit eksternal oleh akuntan publik juga di tiadakan sehingga akan berimplikasi pada model pencatatan dan pelaporan parpol.

Selama ini hambatan utama dalam mendorong akuntabilitas parpol adalah pada penciptaan tertib keuangan. Parpol tidak memiliki standar pencatatan, pelaporan, dan audit sehingga laporan tahunan parpol ke KPU kian tahun kian buruk, baik dari jumlah laporan maupun kualitasnya. Hal itu diperparah dengan aturan dalam UU Parpol yang menggeser urusan standar pengelolaan keuangan ke dalam aturan internal parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parpol. Hal itu sangat memungkinkan parpol membuat model pencatatan keuangan sendiri tanpa standar. Lemahnya pengaturan dana parpol sangat krusial jika melihat posisi parpol yang sangat berpengaruh dalam kebijakan publik.

Ketiga, menegakan aturan dan pemberian sanksi yang tegas. Tjahjo tidak perlu bicara sanksi akan datang hingga pembubaran partai politik. Lakukanlah saat ini juga tidak perlu menunggu nanti. Hasil audit BPK dijadikan tolok ukur dan ditindaklanjuti jika terjadi penyalahgunaan bantuan. Audit BPK yang berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) harus “dibunyikan” dalam bentuk sanksi yang dikeluarkan oleh Mendagri atau Pemerintah Daerah. Jika perlu melakukan revisi undang-undang, masukan juga sanksi berupa denda dan pidana.

Apa yang terjadi selama ini terkesan ada diskriminasi hukum. Para pejabat negara yang menyalahgunakan wewenangnya dengan mengunakan anggaran negara bukan peruntukannya dikenakan sanksi hingga pidana (korupsi). Sementara pengurus/anggota partai politik yang menyalahgunakan “bantuan pemerintah” yang juga bersumber pada anggaran negara terlepas dari jerat hukum. Jadi omong kosong bicara peran partai politik dalam sistem demokrasi jika dalam tubuh partai politik itu prinsip-prinsip demokrasi tidak ditegakan. Terutama prinsip persamaan di depan hukum.

Saya hanya berpesan pada Tjahjo Kumolo, berhentilah mengkhayal dengan dana Rp 1 triliun per partai politik dengan sejumlah prasyarat. Sebagai Menteri Dalam Negeri, tegakanlah aturan. Lakukanlah saat ini juga. Tidak perlu bicara menghayal di masa akan datang sementara masalah-masalah sudah tersedia di depan mata. Tidak perlu bicara political will untuk hal yang bersifat hayalan. Jalankan political will sekarang juga. Political will dari Mendagri sendiri tak perlu menyarankan pada pihak lain. Lebih hebat lagi kalau Tjahjo Kumolo punya political will, memberi sanksi pada PDIP (partainya sendiri) yang terbukti dari hasil audit BPK menyalahgunakan bantuan pemerintah, meski Rp 1 sekalipun.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun