Kisruh antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI Jakarta yang menjadi topik hangat belakangan ini, sungguh menarik. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa ditarik. Satu diantaranya pengajuan permohonan constitutional complaint oleh Aliansi Masyarakat Resah Dewan Perwakilan Rakyat (AMAR DPR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). "Constitusional Complaint dilayangkan karena ulah parpol terkait hak angket itu telah menghambat proses pembangunan kota Jakarta yang jelas merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak," kata koordinator AMAR DPR, Ayat Hidayat (Kompas.com). Bentuk permohonan yang diinginkan oleh AMAR DPR agar MK memberikan teguran kepada partai politik di DPRD DKI Jakarta yang mengajukan hak angket "Kalau sudah begini kan parpol melanggar yang ajuin hak angket langgar UU, makanya lewat constitutional complaint ini kita minta MK segera berikan teguran untuk parpol agar berpihak pada rakyat, atau ancaman terburuk dibubarkan," imbuh Ayat.
Hal yang menarik dari peristiwa tersebut adanya sebutan constitusional complaint (selanjutnya disingkat CC). Tulisan ini tidak akan mengulas permohonan CC oleh AMAR DPR tersebut. Karena saya sudah bisa mengambilkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh AMAR DPR bukanlah bentuk dari CC. Tepatnya salah obyek. CC tidak ada hubungannya dengan partai politik. Lebih daripada itu, MK tidak punya wewenang memeriksa perkara CC. Tulisan ini tidak akan mempersoalkan itu, tapi lebih menitikberatkan pada arti penting CC dalam sistem hukum di Indonesia.
Mahluk apakah Constitusional Complaint (CC) itu? Terjemahan bebasnya adalah pengaduan warga negara kepada MK karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi. Pelanggaran hak-hak warga negara yang diberikan dan dijamin oleh konstitusi. Wujud perlakuan pemerintah berupa produk perundang-undangan. Pemerintah dalam pengertian eksekutif, legislatif atau putusan pengadilan.
Istilah CC tidak diatur dan dikenal dalam UUD 1945 maupun UU No.24 Tahun 2003 tentang MK. Kewenangan MK yang termuat dalam Paal 24C UUD 1945 hanya terbatas pada lima kewenangan. Apalagi batasan kewenangan itu bersifat tertutup dan limitatif. Berbeda halnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA) yang normanya bersifat terbuka atas pencantuman frasa “....dan mempunyai wewenang lainnya..” (vide Pasal 24A UUD 1945) yang memungkinkan penambahan kewenangan MA tanpa perlu mengubah UUD 1945.
Memang ada sesuatu yang mirip kewenangan MK atas pengujian undang-undang (judicial review) dengan CC pada obyek yang sama yakni undang-undang. Meski obyek CC lebih luas dari undang-undang karena mencakup seluruh produk perundang-undangan. Pengujian undang-undang dapat hingga membatalkan suatu ketentuan dalam undang-undang tersebut. Sementara CC hanya sebatas memulihkan hak konstitusional pemohon atau adanya konstitusional bersyarat. Dengan CC, peraturan perundang-undangan tetap diberlakukan sesuaiasas erga omnes (berlaku untuk seluruhnya) kecuali bagi mereka yang dianggap menderita kerugian atas berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut.
Beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi dan punya wewenang memeriksa perkara CC antara lain Jerman, Spanyol, Afrika Selatan, Korea Selatan, Azerbaijan, Bavaria dan Kroasia. Oleh karena itu alangkah baiknya melihat bagaimana penerapan CC di negara-negara tersebut sebagai “studi perbandingan”. Khususnya Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts).
Di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi termasuk tujuh negara di atas, kewenangan MK pada pokoknya hanya tiga: (1) pengujian undang-undang dengan konstitusi; (2)memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara; dan (3) constitutional complaint. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris.Sementara MK di Indonesia ada lima kewenangan dengan meniadakan constitutional complaint dan menambahkan kewenangan memutus perkara pemakzulan Presiden/Wakil Presiden. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran MK pasca pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR. Sehingga MK dimaksudkan juga untuk menangani sengketa tersebut ketimbang CC yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisah dari kewenangan MK sebagai pengawal konstitusi (guardian of the constitustion).
Untuk lebih jelasnya, saya kutipkan satu peristiwa (perkara) CC yang pernah diperiksa dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman pada tahun Desember 2004. Pemerintah setempatmengeluarkan peraturan setingkat peraturan pemerintah tentang larangan penyembelihan hewan (animal slaughter). Warga muslim Jerman memprotes aturan tersebut karena melanggar hak konstitusional seseorang atau sekelompok orang tentang kebebasan beragama (freedom of religion). Menurut syariah Islam diwajibkan untuk mengeluarkan darah hewan melalui tenggorokan dengan cara menyembelih hewan tersebut, apalagi adanya alasan kewajiban penyembelihan hewan pada setiap hari Raya Qurban (Iedul Adha). Selanjutnya sekelompok warga Muslim tersebut mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung. Namun hasil putusan Mahakamah Agung menolak permohonan pemohon dengan dalih kewenangan negara untuk menentukan aturan, dan menyatakan bahwa aturan tersebut tetap mengikat secara umum termasuk kepada pemohon. Akhirnya para pemohon mengajukan CC ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Jerman itu mengabulkan permohonan dengan konstitusional bersyarat. Bahwa peraturan pemerintah tersebut tetap berlaku secara umum namun tidak berlaku bagi warga Muslim di Jerman. Bahasa hukumnya, ketentuan peraturan itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang bagi para warga muslim di Jerman.
Dari ilustrasi cerita di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran untuk merumuskan mekanisme CC yang dapat dilakukan di Indonesia, sepanjang UUD 1945 atau UU MK memberi kewenangannya.
Pertama, mekanisme CC dapat ditempuh melalui MK jika pemohon telah berupaya menggunakan instrumen pengadilan lain. Atau jika upaya hukum biasa sudah ditempuh (exhausted of justice). Kecualijika Mahkamah berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya hukum biasa dilakukan terlebih dahulu. Dalam cerita di atas, warga Muslim di Jerman telah menempuh pengaduan ke Mahkamah Agung terlebih dahulu. Pengaduan ke MK adalah upaya terakhir setelah upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis.
Kedua, pengaduan CC bertujuan memulihkan hak konstitusional pemohon yang telah dilanggar oleh produk perundang-undangan atau putusan pengadilan. Kerugian konstitusional harus cukup jelas diterangkan. Dalam cerita di atas, ada hubungan sebab akibat dari keluarnya suatu kebijakan/keputusan dengan pelanggaran hak kebebasan beragama warga Muslim di Jerman.Bentuk kerugian konstitusional tersebut harus dibuktikan secara spesifik dan konkrit. Tidak bisa menyembelih hewan kurban pada hari raya Iedul Adha karena ada larangan dari pemerintah setempat.
Ketiga, obyek permohonan berupa peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas publik baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Semua produk hukum yang berupa pengaturan bukan ketetapan atau beschiking. Hal ini untuk tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Pengujian undang-undang (judicial review) yang sudah termaktub CC di dalamnya. Sehingga obyek CC tidak lagi memasukan undang-undang sebagai obyek permohonan. Selain itu semua produk hukum yang bersifat ketetapan (individual, final dan konkrit) sudah menjadi kewenangan PTUN untuk mengujinya. Sehingga yang diuji di MK adalah produk hukum berupa pengaturan bukan ketetapan.
Keempat, subyek atau pemohon yang memiliki legal standing. Menurut saya, karena pada pokoknya CC adalah bertujuan untuk pemulihan hak konstitusional warga, maka hanya ada dua jenis pemohon: (1) warga negara (perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) dan (2) kesatuan masyarakat hukum adat. Karena badan hukum baik privat maupun publik –yang menjadi salah satu jenis pemohon dalam JR – konstitusi tidak memberikan hak-haknya secara khusus.
Kelima, putusan MK atas permohonan CC sebatas konstitusional bersyarat. Putusan permohonan CC bukan membatalkan produk perundang-undangan. Karena kewenangan membatalkan produk perundang-undangan di bawah undang-undang ada pada Mahkamah Agung dan Kementrian Dalam Negeri (khusus Perda). Dengan kata lain, pemberlakukan produk perundang-undangan tetap sah sepanjang tidak menyangkut pada kepentingan pemohon.
Melihat situasi di Indonesia ada peluang kelembagaan CC. Contohnya, peristiwa pada tahun 2008. Ada produk hukum berupa Surat Keputuan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung tentang Pembekuan Jama’ah Ahmadiyah. Tindakan pemerintah tersebut kemudian dinilai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Namun yang jadi masalah, peradilan atau lembaga mana yang dapat menguji SKB tersebut yang dianggap telah melanggar HAM? Saat itu Jaksa Agung Hendarman Supandji mempersilakan kelompok masyarakat yang keberatan untuk mengajukan gugatan ke MK. Sementara Ketua MK, Mahfud MD menyatakan bahwa MK tidak mempunyai kompetensi dan wewenang untuk memeriksa hal tersebut. Saat itu kelompok yang berkeberatan diwakili oleh organisasi Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Lalu kemanakah ruang untuk mencari keadilan? Saat itu Jimmly Assiddiqie mengusulkan agar menempuh jalur pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal pengadilan HAM tidak berwenang menguji produk perundang-undangan tetapi mengadili peristiwa konkrit. Itupun telah dibatasi peristiwa pelanggaran HAM berat.
Hendak dibawa ke PTUN, sifat dari SKB tiga menteri tersebut adalah pengaturan bukan penetapan yang individual, final dan konkrit. Tentu PTUN tidak berwenang memeriksa permohonan SKB tiga menteri tersebut. Hendak dibawa ke MA. Untuk diketahui SKB tiga menteri tidak termasuk dalam produk perundang-undangan sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Lalu, apakah MA punya wewenang untuk memeriksanya dengan mempertentangkan dengan undang-undang yang dirujuk?
Pada dasarnya pengaduan konstitusional (CC) lebih kuat dari pengujian konstitusionalitas (JR) satu undang-undang, baik secara abstrak maupun konkrit. Cakupan pelanggaran hak-hak konstitusional warga tidak saja ada dalam undang-undang tetapi juga berpotensi pada produk hukum perundang-undangan yang lain. Namun dalam prakteknya, pelanggaran konstitusi itu, warga negara tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada saluran hukum untuk mencari keadilan. Sementara di satu sisi, kehadiran MK sebagai lembaga peradilan dipahami secara parsial saja. Sebatas menguji undang-undang yang tidak secara khusus melakukan pemulihan atas hak konstitusional warga negara. Sejatinya inti dari faham konstitusionalisme adalah bahwa setiap kekuasaan negara harus mempunyai batas kewenangan berdasarkan konstitusi. Pada titik inilah MK berfungsi sebagai pengawal konstitusi. Menjadi tempat bagi warga negara pencari keadilan yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh tindakan kekuasaan negara lewat pengajuan permohonan constitutional complaint.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H