Kali ini tentang Pokir atau pokok-pokok pikiran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Istilah yang dikemukakan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Ketua DPRD DKI, Prasetyo Edi Marsudi. Pokir DPRD dalam proses penyusunan dan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Ahok bilang bahwa pokir adalah teknik anggota DPRD menggasak APBD. Ahok menjamin tidak akan ada lagi pokir yang tercantum dalam APBD 2015. "Sekarang kami masih bisa toleransi. Tahun depan kami tidak menoleransi sedikit pun," ucapAhok (sumber). Pada kesempatan lain, Prasetyo mengungkapkan bahwa Pokir yang ada dalam RAPBD DKI Jakarta 2015 dihilangkan. "Tidak ada pokir. Intinya itu (dalam APBD 2015)," kata Prasetyo (sumber).
Apa itu pokir DPRD? Secara sekilas telah diwartakan oleh Kompas.com. Bahwa istilah pokir tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010.Salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”. Ketentuan ini harus dibaca sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah. Karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah; (3) sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan. Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah; dan (4) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.
Meskipun demikian apa yang dimaksud dengan bagaimana mekanisme penyusunan dan penyampaian pokir DPRD, tidak dijelaskan secara terperinci dalam PP 16/2010. Disinilah letak terjadinya multi tafsir penerapan pokir DPRD tersebut.
Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, mengkaitkan pokir DPRD dengan hasil reses yang dilakukan oleh anggota DPRD. Reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan yang berasal dari konstituens anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing (sumber). Senada yang diucapkan Didit Susilo, anggota DPRD Kota Bekasi yang menyatakan pokir adalah usulan aspirasi (sumber). Dan yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta, Blucer Raja Guk Guk, bahwa pokir adalah hasil dari reses (sumber).
Jika demikian pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat”. Sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Hanya kemudian PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah.
Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi pelbagai masalah perihal pokir DPRD. Masalah-masalah itu antara lain: pertama, perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam setahun yaitu bulan April, Agustus dan Desember. Sementara frekwensi pembahasan APBD hanya terjadi dua kali: pembahasan APBD dan APBD perubahan, yakni selambatnya bulan Desember untuk APBD dan bulan September tahun berjalan untuk APBD perubahan. Sedangkan ketentuan penyampaian pokir DPRD selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD.
Dalam kasus DPRD DKI Jakarta, anggota DPRD periode 2014-2019 melakukan reses pertama kali pada 12-19 Desember 2014 yang menghabiskan anggaran Rp 7 milyar. Tentu sangat berlasan jika Ahok sebagai kepala daerah menolak pokir (hasil reses) masuk dalam RAPBD 2015 karena alasan waktu yang terlambat, lewat dari batas maksimal 5 (lima) bulan sebelum APBD 2015 ditetapkan.
Masalah kedua, apa wujud output dokumen dari pokir DPRD tersebut?. Secara kelembagaan, seharusnya pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah pokir DPRD.
Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut pokir DPRD. Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar. Ketidakjelasan ini, mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi menandaskan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pokir DPRD.
Ketidakjelasan apa itu pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah “pokir” oleh anggota DPRD. Penyalahgunaan itu antara lain berwujud:
Satu, diasumsikan bahwa pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama pokir DPRD. Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan pokir DPRD. Padahal ketentuannya, pokir DPRD merupakan tugas Banggar untuk menyampaikannya.
Dua, dalam perkembangannya pokir berubah wujud pada dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana pokir. Titik tekannya pada dana, bukan pada pokir. Melihat aturan penyampaian pokir 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA). Dimana belum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga. Jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD. Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana pokir disusupkan. Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal.
Tiga, dalam perkembanganya “pokir” menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah “pokir” telah diketahui umum dikalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD. Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD. Dan proses pengajuan “pokir” sebagai kode dilakukan semua pihak diluar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya “pokir” diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri. Karena “pokir” yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.
Dari hasil investigasi majalah Tempo, pokir merupakan ladang duit bagi anggota dewan. "Anggota Dewan itu hidup dari pokir," kata sumber di DPRD kepada Tempo (sumber) "Intinya, ini urusan perut," ucap dia. Praktek semacam ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Dana pokir berkisar diangka Rp 250 juta per judul. Masing-masing anggota DPRD dapat mengajukan hingga puluhan judul pokir (sumber).
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan, biasanya pokir muncul usai RAPBD diketuk palu dalam sidang paripurna DPRD. Akibat “dana pokir” ini, sejumlah program unggulan dan prioritas yang diajukan melalui SKPD terbengkalai. "Jangan pokir itu muncul sedang saat dalam pembahasan, yang sudah-sudah seperti itu. Itu yang harus dihindari," ujar Prijanto (sumber).
Kasus seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah lain. Di Sumatera Barat, contohnya. Pemprov Sumbar bersitegang dengan DPRD lantaran Pemprov menolak pokir DPRD masuk dalam RAPBD 2014 dengan alasan lewat waktu. Tapi anggota DPRD tetap ngotot dan mengancam tidak akan menyetujui RAPBD tersebut. Lagipula Pemprov Sumbar menegaskan, pokir yang diajukan dewan sudah ditampung. Usulan yang bersifat kegiatan pembangunan, dimasukkan dalam program SKPD. Namun pokok pikiran itu tetap harus disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sumbar (sumber).
Hal serupa terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Anggota DPRD Kota Bekasi berang lantaran pokir yang mereka usulkan ditolak oleh pemkot Bekasi. Secara terang pokir tersebut sudah berupa mata kegiatan bernama “anggaran aspirasi” sebesar Rp 350 miliar. Dengan alasan yang sama, pemkot Bekasi menolak karena alasan waktu yang lewat. Apalagi pemkot Bekasi sudah menggunakan sistem e-planning, sehingga “dana pokir” yang diusulkan belakangan tidak bisa diakomodir (sumber).
Sebagai penutup, istilah pokir punya dua arti yang berbeda. Pokir dalam khasanah hukum diartikan sebagai hasil reses penjaringan aspirasi masyarakat. Pengertian yang diperluas maknanya dari Pasal 55 huruf (a) PP 16/ 2010. Arti lainnya, pokir atau “dana pokir” dalam bahasa politik birokrasi semacam sandi rahasia berupa titipan sejumlah proyek tertentu oleh anggota DPRD kepada pemerintah daerah. Untuk hal yang terakhir ini, praktek-praktek tersebut tidak muncul ke publik karena antara DPRD dan Kepala Daerah (atau jajaran aparat pemerintah daerah) hubungannya “harmonis”. Tahu sama tahu.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H