[caption id="attachment_400937" align="aligncenter" width="624" caption="Sejumlah anggaran untuk pengadaan alat Book Sanitizer di RAPBD DKI Jakarta tahun anggaran 2015 versi DPRD DKI. Total pengadaan yang diperuntukkan di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat ini mencapai Rp 7 miliar lebih. ((Kompas.com/Andri Donnal Putera)"][/caption]
DPRD DKI Jakarta berencana akan melaporkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke Bareskrim Polri Senin pekan depan. Ada empat perkara yang akan dilaporkan. Salah satunya dugaan pemalsuan dokumen APBD 2015. Ahok menyampaikan Raperda APBD 2015 ke Kemendagri pada 4 Februari 2015 bukan hasil pembahasan dan persetujuan DPRD DKI Jakarta yang telah diputuskan pada sidang paripurna 27 Januari 2015. Hal ini dinyatakan oleh kuasa hukum DPRD, Razman Nasution"Pemalsuan dokumen yang dimaksud ini serius. Bahwa dalam proses sidang, dimulai penyampaian di paripurna itu dalam halaman 4," ucap Razman (sumber). Razman yang juga pengacara Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan ini menyebutkansejumlah pasal sangkaan yakni pasal 263, 264 dan 268KUHP tentang pemalsuansurat (sumber).
Sebelum saya ulas tentang tindak pidana pemalsuan surat ini, terlebih dahulu saya hendak mengoreksi pasal sangkaan yang digunakan oleh Razman, yakni Pasal 268 KUHP. Saya kutipkan bunyi Pasal 268 ayat (1) KUHP:
(1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum ataupenanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Klarifikasi ini penting, bisa saja media salah kutip pernyataan Razman. Namun, ada empat media online yang mewartakan hal yang sama: Detikcom, Koran Sindo, Aktual.co, dan maiwanews. Bahkan pada isi berita di media Aktual.co, Razman lebih menegaskan “.. 268 tentang pemalsuan dokumen negara”. Dari empat media masa online tersebut, bisa diasumsikan bahwa kutipan Pasal 268 KUHP benar adanya sebagaimana yang dinyatakan Razman.
Bila benar demikian, alangkah teledornya pengacara kondang satu ini. Pasal 268 yang secara material berisi dugaan tindak pidana pemalsuan surat keterangan dokter digunakan untuk menjerat Ahok terkait pemalsuan APBD. Saya tidak akan mengulasnya. Biar saja teman-teman pembaca artikel ini yang menilai apakah APBD = surat keterangan dokter. Saya hanya akan mengulas penggunaan pasal sangkaan lain, yakni Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP.
Saya mulai dengan Pasal 264 KUHP. Ketentuan dalam pasal ini disebut pemberatan hukuman atas tindak pidana pemalsuan surat. Pemberatan pada ancaman hukuman yang tertera pada Pasal 263 KUHP. Secara umum ketentuan pemalsuan surat disebut dalam Pasal 263, namun jika beberapa surat yang dimaksud termasuk dalam kategori surat dalam Pasal 264, maka ancaman hukumannya diperberat. Beberapa surat itu adalah (1) akta otentik; (2) surat hutang; (3)sertifikat sero; (4) tanda bukti dividen dan (5) surat kredit atau surat dagang. Pertanyaannya, apakah dokumen APBD 2015 itu termasuk dalam lima kategori surat dalam Pasal 264 KUHP? Satu-satunya kategori yang hampir mirip adalah kategori akta otentik.
Definisi akta otentik terdapat dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”Menurut Sudikno Mertokusumo, akta otentik adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Maksud dari “bentuk yang ditentukan undang-undang”, salah satunya adalah UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pengertian “dibuat di hadapan pegawai umum yang berkuasa atau pejabat umum (openbaar ambtenaar)”. Sedang pengertian “di hadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang. Pejabat yang membuat akta tersebut harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya menyangkut: (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan tanggal pembuatan akta; dan (3) tempat akta dibuat.
Ringkasnya akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku pejabat pembuat akta tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. Sementara APBD tidak dibuat dibuat dihadapan openbaar ambtenaardan tidak dalam kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. APBD lebih pada surat biasa (dalam pengertian tiga jenis surat dalam hukum perdata) yang termasuk dalam cakupan dokumen administrasi negara. Sedangkan akta otentik lebih bersifat keperdataan.
Dari penjelasan di atas, bahwa APBD bukan akta otentik maka pasal sangkaan menggunakan Pasal 264 KUHP tidak relevan. Satu-satunya Pasal sangkaan yang masih bisa dianggap relevan adalah Pasal 263 KUHP. Kita lihat terlebih dahulu unsur-unsurnya.
Apakah dokumen APBD termasuk dalam pengertian Surat? Surat atau grechrift adalah suatu lembaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. Bila menggunakan batasan grechriftmaka dokumen APBD termasuk dalam pengertian Surat. Namun jika menilik dari fungsi surat, baik surat berharga (warde papien) maupun surat yang berharga (papier van warda), dokumen APBD tidak termasuk dalam katagori fungsi keduanya. Tapi kita anggap saja bahwa dokumen APBD adalah surat.
Kita lihat apa yang dimaksud dengan perbuatan memalsukan (vervalsen) ialah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Poinnya adalah dilakukan oleh orang yang tidak berhak atau orang selain si pembuat surat.
Sekarang kita telisik, apa yang dipalsukan oleh Ahok? Peristiwa yang dirujuk adalah dokumen APBD yang diserahkan ke Kemendagri tidak ada persetujuan DPRD. Konkritnya tidak ada paraf atau tanda tangan pimpinan DPRD. Pengertian “tidak ada” tidak sejalan dengan pengertian “pemalsuan”. Berbeda halnya jika Ahok memalsukan tanda tangan pimpinan DPRD yang seolah-olah asli. Dilakukan oleh pihak yang tidak berhak menandatangani dan mendatangkan kerugian bagi pihak yang tandatangannya dipalsukan. Tidak ada yang diubah oleh Ahok atas surat yang dimaksud.
Sebaliknya, pihak DPRD dapat dikenakan sangkaan atas Pasal 263 ini. Merujuk pada peristiwa DPRD menyerahkan berkas dokumen APBD 2015 ke Kemendari versi DPRD pada 10 Februari 2015. Dalam dokumen itu pihak DPRD menyisipkan perubahan yang awam menyebutnya “anggaran siluman”. Pihak yang berhak memalsukan atau merencanakan jenis kegiatan (satuan tiga) hanya SKPD. Pihak DPRD bukanlah pihak yang berhak melakukan perubahan mata anggaran, selain SKPD.
Kembali ke soal Ahok yang diduga melakukan pemalsuan APBD. Kita anggap saja bahwa sangkaan berdasar Pasal 263 KUHP ini benar dan relevan. Tetapi yang menjadi masalah tentang subyek hukum. Pelaku perbuatan tindak pidana yang dimaksud. Siapakah yang melakukan pemalsuan itu?
Dalam peristiwa di atas, Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak melakukan perbuatan atas nama dirinya sendiri (persona standi in judicio). Ahok mewakili pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta. Jika demikian, semua aparatur pemdaprov terlibat dalam perbuatan melawan hukum ini. Termasuk Kepala BPKD yang secara langsung mengantarkan berkas dokumen APBD 2015 ke Kemendagri pada 4 Februari 2015. Andaipun perbuatan melawan hukum itu terbukti memenuhi unsur “menimbulkan sesuatu hak” sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHP, maka “sesuatu hak” itu tidak melekat pada Ahok secara personalijk, tetapi “menguntungkan” pemdaprov DKI Jakarta secara keseluruhan. Jika demikian, dapatkah pemdaprov DKI Jakarta sebagai subyek hukum dipidana?
Pada umumnya subyek hukum ada dua: setiap orang dan badan hukum atau korporasi. Dengan anggapan bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang.Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang pelaku fungsional (functionele dader). Lalu apakah KUHP mengenal subyek hukum korporasi?
Membaca Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Cakupan ketentuandalam pasal ini memberi batasan bahwa yang dimaksud korporasi adalah Badan hukum dalam lingkungan hukum privat. Tertera dalam frasa “badan pengurus atau komisaris-komisaris”. Pemidanaan atas subyek hukum badan hukum dalam lingkungan hukum privat kembali ditegaskan dalam lex specialist, UU Psikotropika, UU Narkotika, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Atau UU tentang Perseroan Terbatas (PT), yang melimpahkan beban pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum kepada direksi. Sedangkan pemdaprov DKI Jakarta tidak dapat dikatakan sebagai badan hukum dalam lingkungan hukum privat.
Pada pokoknya tindak pidana yang menggunakan KUHP sebagai landasannya tidak dapat dikenakan pada badan hukum. Dikarenakan hukum acara pidana (KUHAP) secara formil tidak mengaturnya dan ditemui banyak kendala. Salah satu kendala yang dimaksud adalah ketika merumuskan dakwaan. Agar dakwaan dapat diterima, maka identitas terdakwa –yang menjadi salah satu syarat sah dakwaan- harus lengkap. Setidaknya ada delapan atau sembilan jenis informasi yang dimasukkan ke dalam surat dakwaan. Misalnya pemdaprov DKI Jakarta didakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana pemalsuan surat, bagaimana penyidik atau penuntut umum menuliskan identitas terdakwa perihal jenis kelamin dan agama. Padahal pemdaprov DKI Jakarta tidak ada agamanya dan tidak ada jenis kelaminnya. Jika tidak dicantumkan identitas lengkap dan jelas, maka surat dakwaan secara formil (KUHAP) dianggap batal demi hukum.
Dari keseluruhan paparan di atas, adanya paksaan atas perbuatan tindak pidana pada kebijakan yang diambil oleh Ahok sebagai kepala daerah. Pertanyaan lanjutannya, apakah suatu kebijakan dapat dipidana? Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1966, suatu kebijakan menghapus pidana jika memenuhi tiga syarat: (1) negara tidak dirugikan; (2) seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum; dan (3) untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum. Kebijakan yang ditempuh oleh Ahok menyerahkan draft APBD 2015 ke Kemendagri, jelas tidak merugikan negara, tidak menguntungkan Ahok atau pemdaprov, dan demi untuk melindungi kepentingan umum. Dengan menghalau masuknya “anggaran siluman” yang jelas secara terbalik terpenuhi tiga syarat Yurisprudensi 1966.
Sebenarnya masalah ini bukanlah ranah pidana tetapi masuk dalam ranah hukum administrasi negara. Di mana kesalahan yang dilakukan bersifat dwaling (salah kira). Khususnya salah kira atas wewenang sendiri (dwaling in eigen bevoegheid). Terhadap persoalan dwaling ini, penyelesaiannya bukan melalui sanksi pidana. Akan tetapi, harus melalui hukum administrasi negara. Penyelesaian menggunakan instrumen hukum pidana adalah premium remediumsetelahupaya penyelesaian menurut hukum administrasi negara telah terlewati. Itu pun harus dibuktikan terlebih dahulu mens rea (niat jahat) atas perbuatan tersebut. Apakah ada indikasi menguntungkan diri sendiri atau tidak. Kesalahan dalam mengambil kebijakan tidak bisa disamakan serta merta dengan perbuatan jahat sebagaimana diatur dalam hukum pidana.Hukum administrasi negara tidak mengenal sanksi pidana. Sanksi yang dikenal antara lain teguran lisan dan tertulis, penurunan pangkat, demosi, hingga pemecatan dengan tidak hormat.
Apa yang tertulis di atas adalah pendapat saya perihal pemidanaan atas perbuatan Ahok yang menyampaikan draft APBD 2015 ke Kemendagri. Perbuatan yang dianggap oleh kuasa hukum DPRD sebagai tindak pidana pemalsuan surat. Bisa jadi pendapat saya keliru. Tulisan ini sekedar pandangan (hukum) saya atas peristiwa yang telah disebut di atas. Terima Kasih.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H