Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tanggapan untuk Profesor Yusril: MK bukan Mahkamah Kalkulator

16 Agustus 2014   08:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan MK saat itu, mengadili di luar penghitungan suara karena ingin memutus lebih adil dan tidak ingin disebut pengadilan kalkulasi. Sebatas penghitungan angka-angka belaka. Padahal dalam sistem hukum kita, MK telah melampaui kewenangan dan mengambilalih kewenangan lembaga hukum lain.Dimana pihak Terkait baru sebatas dugaan melakukan tindak pidana dan belum ada putusan peradilan umum yang memutus Pihak Terkait bersalah.

Pada saat itu, beberapa pakar, akademisi dan praktisi hukum berpendapat bahwa diskualifikasi pasangan calon kepala daerah, apalagi penetapan calon terpilih bukanlah wewenang MK. Jika dilakukan, maka MK telah melampaui kewenangannya.

Termasuk saat MK membuat putusan pada perkara PHPU Kota Jayapura (Yapen ?). Dimana MK mengabulkan permohonan pihak Pemohon, sebagai bakal calon. Sementara ketentuan yang berlaku saat itu, legal standing dibatasi hanya bagi pasangan calon, dan bukan bakal pasangan calon. Lebih daripada itu putusan MK ini, tidak mempersoalkan urusan angka-angka yang dihasilkan dari Pilkada. Tapi mempermasalahkan tidak diikutsertakannya bakal calon yang diperkuat dengan putusan PTUN.

Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi), dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.

Menurut hemat saya, dalam perkembangannya justru MK telah masuk dan memperluas jangkauannya tidak sebatas perselisihan hasil berupa angka-angka belaka. Beberapa amar putusan MK di atas menunjukan bahwa MK, bukanlah “Mahkamah Kalkulator” sebagaimana yang disangkakan oleh saudara Dr. Margarito.

Tapi, apapun itu, apakah hanya sebatas persengketaan angka-angka atau menilai suatu proses (substansial), semuanya dapat dibenarkan jika pihak pemohon dapat menunjukan bukti-bukti yang meyakinkan. Apakah bersifat kuantitatif atau kualitatif, pada akhirnya mahkamah hanya bersandar pada apa yang diajukan untuk memperkuat dalil-dalil pemohon. Pelanggaran-pelangaran yang dituduhkan kepada KPU, tentulah harus dibuktikan dengan alat bukti yang tidak dapat dibantah (beyond reasonable doubt).

Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun