[caption id="attachment_321969" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://store.tempo.com"][/caption]
Beberapa kompasioner menulis tentang berita putusan majelis hakim Tipikor atas terdakwa Ratu Atut. Dari tulisan dan komentar sebagian besar merasa putusan 4 tahun penjara, dianggap terlampau ringan. Sayapun turut memberi komentar, “mudah-mudahan ada kasasi ke MA, dan ketemu dengan hakim Artidjo Alkostar”. Meskipun belum bisa ditebak, apakah banding yang saat ini sedang dijalankan, pihak Ratu Atut atau pihak Jaksa KPK, akan mengajukan kasasi, atas putusan Pengadilan Tinggi kelak. Dan juga belum bisa dipastikan, andaikan kasasi, apakah hakim agung Artidjo Alkostar menjadi panel hakim yang memeriksa perkara ini. Tapi bisa jadi pihak Ratu Atut, akan berpikir ulang, jika perkara ini, andaikan diperiksa oleh hakim Artidjo Alkostar di MA (Mahkamah Agung). Bukan tanpa alasan. Selama ini Artidjo Alkostar dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa bagi koruptor. Putusan MA pada beberapa perkara korupsi, sebelumnya ada yang mencapai 3x lipat dari hukuman di pengadilan Tipikor.
Saya mengenal Artidjo Alkostar, sebagai dosen saya di Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Secara kebetulan, sahabat saya pertama saat baru masuk kuliah, keponakan dari Artidjo dari Situbondo. Karena baru menjadi mahasiswa baru, belum punya kosan, sahabat saya itu tinggal serumah dengan Artidjo. Apalagi Artidjo tinggal sendiri di Perumahan Sidoarum, Godean, Sleman.
Baru dua minggu jadi mahasiswa baru, saya sering bertandang kesana. Paling sering pinjam buku-buku Artidjo. Dia punya banyak buku. Perpustakaan tidak hanya buku-buku hukum. Sanking cintanya pada perpustakaannya, Bapaknya sendiri pernah “diusir” ke beranda rumah, hanya Bapaknya merokok dekat perpustakaan yang dia miliki. Jadi kalau dibilang Artidjo ini tegas, ya memang begitu. Bapaknya sendiri bisa “diusir” hanya gara-gara merokok dekat buku kesayangannya.
Meskipun saya kerap bertandang dan berdiskusi dengan Artidjo (saya memanggilnya mas Ar), tidak mempengaruhi sikapnya pada bidang akademik. Tetap saja, saya dapat nilai C pada ujian mata kuliah yang dia berikan, jika jawaban pada ujian itu tidak benar. Termasuk pada sahabat saya, yang notebenenya keponakan dia sendiri.
Lagipula saya berdiskusi dengan Artidjo, hampir tidak pernah membahas mata kuliah yang diajarkan. Sayapun tidak pernah menempatkan Artidjo sebagai dosen saya. Saya mengangap dia, sebagai mantan aktivis senior dulu di kampus. Jadi saya menimba ilmu dari pengetahuan dan pengalamannya sebagai aktivis. Terutama saat Artidjo menjabat sebagai Direktur LBH Yogya.
Ada kisah menarik, pernah diceritakan oleh Artidjo. Pada awal tahun 80an, para gali (bromocorah) merajalela di Yogya. Tak terkecuali di kampus UII. Banyak mahasiswa yang juga gali saat itu. Seperti layaknya preman, urusan minta nilai ujian digunakan dengan cara mengancam para dosen. Termasuk Artidjo pernah diancam juga. Karena tidak mempan, rombongan gali menyerbu ke kampus. Dan bos gali menantang duel Artidjo. Sebagai orang Madura, tatangan ini dilayani. Meskipun akhirnya tidak terjadi perkelahian. Selang beberapa lama, terjadi operasi Petrus, memburu para gali. Inisiatiif operasi ini datang dari Hasbi, saat itu Komandan Kodim 0734 Yogyakarta. Dan mendapat restu Presiden Suharto. Artidjo Alkostar saat itu menjabat sebagai Direktur LBH Yogya. Lembaga inilah satu-satunya yang membela para Gali berhadapan dengan operasi militer. Lalu, bos gali yang pernah menantang duel Artidjo, menemui Artidjo meminta perlindungan. Dan Artidjo melindunginya. Disuruh tinggal di rumahnya selama 3 bulan. Meskipun gali, keluar rumah untuk beli rokok di warung saja, sangat ketakutan. Artidjo menceritakannya pada saya, terkekeh-kekeh tertawa, “rupanya hanya segitu nyali para gali”.
Saya dan teman-teman kuliah bilang kalau Artidjo itu urat takutnya sudah putus. Tidak ada yang dia takuti. Saat membaca berita, saat Artidjo sudah jadi Hakim Agung, ada yang mengancam Artidjo. Saya hanya tersenyum saja. Ancaman pembunuhan atau ancaman mau disantet oleh Misbackum. Orang satu ini tidak mempan diancam-ancam. Bahkan bisa balik mengancam. Seingat saya, selalu ada clurit kecil di laci meja kerjanya dulu di kampus.
Reputasi Artidjo sebelumnya sudah banyak didengar saat dia masuk di Mahkamah Agung. Pada awal masuk diterima menjadi Hakim Agung, beberapa pihak – yang saya anggap bagian dari mafia hukum di MA – coba “mengerjai” Artidjo.Bayangkan, sebagai Hakim Agung (meskipun baru), dia diberi meja di sudut ruangan dan bukan ruangan tersendiri. Tidak ada fasilitas kendaraan dinas, apalagi rumah dinas. Artidjo sadar itu, “mereka mau ngerjai saya, apa mereka pikir saya akan ngemis fasilitas”, kata Artidjo saat saya bertandang ke rumah kontrakannya di Kwitang. Tapi namanya Artidjo, dia tidak merasa risih, naik bajaj dari Kwitang ke gedung MA. Memang agak aneh, ada hakim agung naik bajaj ke kantor. Dia bahkan senang di rumah kontrakannya. Meskipun hampir tidak ada perabot di rumah itu. Senang, ada mushola pas di depan rumah kontrakannya. Saya cekikikan dalam hati, orang Madura, Nahdiyin lagi, ngga jauh-jauh hidupnya dari Mushola.
Sebagai seorang guru dan teman, Artidjo menyenangkan. Tapi dia tegas dengan etika profesinya. Baik sebagai dosen maupun hakim Agung. Saya hampir tidak pernah lagi bertemu dengan beliau. Pada awal Artidjo jadi Hakim Agung dia bilang, “Hen, kamu jangan sering-sering temui saya. Nanti dikira kamu calo kasus”. Dia ingin menjaga reputasi saya. Bisa saja orang salah sangka dan menimbulkan fitnah. Sikap seperti ini sama dengan Mahfud MD. Pernah ada seorang Bupati bilang ke saya, “Hend, kamu kan kenal dengan Mahfud, apa ngga bisa bantu kita”. Apa urusan saya. Bahwa saya kadang ketemu Mahfud, karena dia ketua Alumni UII. Datang ke rumahnya kalau diundang acara alumni. Tapi, semua alumni tetap menjaga jarak pembicaraan tentang perkara di MK dengan Mahfud. Kadang dalam pertemuan alumni, sayapun bertemu dengan Busyro Muqodas (komisoner KPK). Sikapnya pun sama.
Bahkan dalam hal pekerjaan masing-masing tidak ada urusannya dengan alumni atau tidak. Sewaktu perseteruan antara Komisi Yudisial (saat Busyro Muqodas masih menjadi ketua) dengan MA, Artidjo mewakili MA melaporkan juga Busyro ke Polda Metro Jaya. Padahal mereka bersahabat, sama-sama dosen di UII. Terus terang sewaktu di kampus, saya lebih dekat dengan Artidjo ketimbang Busyro. Bahkan kadang berseteru. Tidak senang jika saya dan teman-teman buat demo di kampus. Buat tulisan yang dianggap ekstrim kiri. Sementara Artidjo malah mendukung. Mungkin karena dia sebelumnya mantan aktivis di kampus. Seperti halnya Suparman Marzuki (ketua Komisi Yudisial sekarang).
Tapi, kadang ada orang yang dianggap pemberani, tegas tapi bisa takluk dengan hal-hal yang lain. Ditawari kekuasaan, harta atau wanita. Soal kekuasaan, Artidjo juga aneh. Dahulu, Yusril Ihza Mahendra dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, pernah mengusulkan Artidjo menjadi Hakim Agung. Artidjo menolak. Tapi, Yusril terus meyakinkan bahwa Artidjo Alkostar dicalonkan oleh banyak orang di Jakarta , seperti Asmara Nababan, dan Bismar Siregar.Sebelum memutuskan, Artidjo berkonsultasi dengan kyai dari Madura. Kyai Madura menyatakan bahwa amanat itu harus diterima. Akhirnya, Artidjo bersedia dan kemudian mengikuti fit and proper test sampai kemudian terpilih menjadi hakim agung.
Juga saat nama Artidjo dinominasikan sebagai Capres dari PKB. Jelas-jelas dia menolak. Sayapun menolaknya. Lewat Mahfud MD, saya katakan lebih baik mas Artidjo tetap jadi hakim agung saja tidak perlu diseret-seret masuk ke ruang politik. Termasuk saat Artidjo akan mendapat penghargaan UII Award. Diapun menolak. Dengan alasan ada kode etik hakim agung tidak memperkenankan penerimaan penghargaan, sekalipun itu dari almamater sendiri.
Begitu juga jika mungkin ada yang mau menggoda Artidjo dengan wanita. Justru ini lebih parah lagi. Setahu saya, dia menikah saat usianya 40 tahun. Sayapun tidak mengenal istrinya. Saya kaget juga, Artidjo mau menikah. Dulu sempat kami guyon, Artidjo tidak akan bakal menikah. Kata sahabat saya yang juga ponakannya. Dia terlanjur cinta sama pacarnya dulu. Setelah pacar (waktu SMA) meninggal, dia jadi patah arang. Saya mengenal keluarga Artidjo, saat lebaran di Situbondo. Sebagai mahasiswa waktu itu, saya malas pulang kampung. Jadi ikut lebaran di Situbondo saja. Walau dalam keseharian agak susah juga komunikasinya. Kadang bahasa Madura, campur bahasa Arab.
Nama Artidjo Alkostar jadi sering diperbincangkan, saat MA memutus hukuman 12 tahun kepada Angelina Sondakh. Padahal hukuman pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 4 tahun penjara. Sama seperti putusan pada Ratu Atut sekarang.
Dari pengakuan Artidjo yang saya baca di media (karena saya tidak pernah lagi bertemu), dia belum pernah meringankan hukuman bagi terdakwa korupsi Alasannya, ia tidak menemukan poin-poin yang layak untuk dijadikan pertimbangan keringanan hukuman. Malah ia sering menggandakan hukuman. Pertimbangannya, membetulkan atau meluruskan pasal yang diterapkan pengadilan negeri serta tinggi merupakan hak Mahkamah Agung. "Misalnya mereka memakai pasal suap pasif, tapi yang tepat sebetulnya pasal suap aktif. Itu saya luruskan," ujarnya.
Selain itu Artidjo juga pernah menjatuhkan hukuman vonis 10 tahun, mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Mantan Jaksa Urip Tri Gunawan pun merasakan pahitnya. Dalam putusan kasasi, terdakwa Urip diganjar 20 tahun penjara. Bahkan ada yang berlipat-lipat lebih hebat lagi. Terdakwa Teguh Budiono mendapat hukuman atas putusan kasasi selama 8 tahun penjara. Setelah sebelumnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya memutuskan Teguh Boediono selama 1,5 tahun penjara.
Semoga perkara Ratu Atut bisa ditangani oleh Artidjo Alkostar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H