Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Koruptor Bukan Maling Jemuran

3 September 2014   18:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:44 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Ratu Atut Chosiyah (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption]

Banyak orang kecewa atas vonis yang dijatuhkan kepada Ratu Atut. Termasuk saya pun kecewa. Kekecewaan bukan semata pada vonis kasus Ratu Atut. Kasus ini hanya satu bagian kecil dari daftar menurunya drajat penegakan hukum atas pelaku korupsi dalam tiga tahun terakhir. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW),sejak semester II tahun 2010 sampai dengan semester I 2013, tercatat hanya lima kasus korupsi yang divonis di atas 10 tahun, dari 756 terdakwa yang diproses di pengadilan (sumber).

Pasalnya, aparat penegak hukum – termasuk DPR, Polisi, Jaksa, KPK, Pengacara, Hakim dan Presiden -- tidak meletakan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Meskipun dalam seminar, simposium, diskusi, para akademisi, politisi dan penegak hukum berbusa-busa berucap bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sebagaimana kejahatan teroris dan narkotika, dengan mengutip konvensi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Tetapi pada prakteknya, koruptor disamakan kedudukannya seperti maling jemuran. Dengan dalih konstitusi, persamaan hak di depan hukum.

Asas dan nilai hukum yang diterapkan tidak membuat pembedaan kontras, antara koruptor dengan maling jemuran. Sejak pengaturan dalam UU terkait yang dibuat oleh DPR. Dengan tidak membuat ketegasan asas beban pembuktian terbalik, salah satunya. Sehingga dalam penerapannya, dalam persidangan, Jaksa KPK, diharuskan memberikan bukti-bukti dugaan korupsi dan perolehan harta kekayaan terdakwa. Sama halnya seperti terdakwa maling jemuran. Tentu saja, sifat yang multitafsir dan tidak ada kepastian hukum ini menjadi tameng pelindung bagi para terdakwa korupsi atas alasan asas legalitas.

Pun demikian, Jaksa KPK dan Jaksa penuntut umum, tidak sungguh-sungguh menerapkan dakwaan berlapis atau pendekatan multi door, dengan menggabungkan beberapa UU sebagai dasar dakwaan. Alhasil tuntutan Jaksa yang tidak optimal itu, menjadi dasar bagi Mahkamah untuk menjatuhkan vonis. Seperti tidak ada pakem atau standard bahwa pelaku korupsi harus dikenakan dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) atau UU Pidana Pajak. Jika jaksa KPK dan Jaksa Penuntut Umum, berpandangan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, maka dakwaan yang dikenakanpun seharusnya bernilai luar biasa. Bukan dakwaan biasa, seperti standard dakwaan kepada terdakwa maling jemuran.

Tak jauh beda dengan majelis hakim Tipikor. Tidak ada yang pertimbangan hakim yang luar biasa. Putusan yang menyertakan pertimbangan meringankan atau memberatkan terdakwa, sama saja dengan perkara maling jemuran. Bacalah dan bandingkan, “terdakwa bersikap sopan dalam persidangan”, seperti kalimat copy paste pada peradilan standard. Hakim tidak lebih sebagai peniup trompet UU. Putusan menjadi gersang. Hakim seakan malas melakukan penggalian nilai-nilai di luar hukum sebagai upaya luar biasa terhadap terdakwa korupsi. Jikapun ada, dalam putusan MA, bisa dihitung dengan jari.

Demikian juga Presiden. Tidak menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai gerakan nasional yang masif. Padahal di beberapa negara yang punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, Presiden atau Perdana Menteri tampil sebagai panglima perang. Jika Presiden serius, dapat saja mengeluarkan Perpu akan “darurat korupsi”.Bukan tanpa alasan, indeks korupsi kita saat ini terburuk di Asia. Dalam laporan dari Transparansi Internasional, Indeks tingkat korupsi di Indonesia tahun 2012 dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118 (sumber).

Sementara dari Presiden ke Presiden selalu mengeluh adanya kebocoran Anggaran Negara yang dirampok oleh para koruptor. Apa gunanya mengurangi subsidi BBM; apa gunanya meningkatkan pendapatan negara dengan hutang luar negri, jika saban taun, Presiden tidak punya nyali berperang dengan maling-maling berdasi. Yang jelas-jelas merampok uang rakyat demi keserakahan. Harusnya Presiden berpikir bahwa Indonesia dalam keadaan darurat. Negara harus berupaya menyelamatkan uang rakyat yang bertajuk APBN itu. Oleh karena itu, sikap politik Presiden yang ditampilkan untuk perang melawan koruptor harus menggunakan cara-cara yang luar biasa.

Para pengacara yang dibayar, akademisi tradisional, penggiat dan aktivis sosial karbitan, ada saja yang masih berpikiran konvensional. Dengan berlindung pada ketentuan UU, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Meneriakan kesetaraan dan kedudukan yang sama para pencari keadilan. Lalu apa bedanya antara koruptor dengan maling jemuran? Padahal motif kejahatan sangat berbeda. Koruptor dilandasi oleh prilaku serakah untuk memperkaya diri sendiri. Sedangkan maling jemuran, orang lapar yang tidak bisa makan. Efek yang ditimbulkanpun jauh berbeda. Dengan mengkorupsi biaya pendidikan, berapa juta anak sekolah dengan terpaksa belajar di ruang sekolah yang hampir roboh dan merasakan betapa mahalnya buku-buku pelajaran. Lalu bisakah kita beralasan melindungi hak asasi dan hak konstitusi para koruptor seorang, dan menegasikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh jutaan rakyat.

Salah satu cara luar biasa untuk memberantas korupsi dengan penerapan sangsi hukuman badan dan sangsi denda yang seberat-beratnya. Hanya dua kata saja: MATI dan MISKIN. Tidak hanya koruptor, semua manusia, dua kata itu yang ditakuti. Takut mati dan takut miskin. Efek jera harus diintesifkan, dengan penerapan sangsi Mati dan Miskin. Jika hanya ada satu pilihan tunggal, saya lebih memilih penjatuhan sangsi Miskin. Mungkin, ada juga yang berpendapat hak mencabut nyawa manusia bukan hak manusia.

Lalu bagaimana penerapannya dalam vonis atau putusan? Kenapa harus pusing, bukankah sudah ada yurisprudensi putusan MA. Angelina Sondakhyang didenda penganti sebesar Rp 40 miliar. Menurut saya, ini jauh lebih efektif. Tidak perlu berdebat soal penyitaan harta kekayaan dengan menggunakan UU TPPU. Cukup hakim yang memiliki kekuasaan tafsir ekstensif, menjatuhkan denda berlipat. Dalam kasus Angelina Sondakh, denda sebesar Rp 40 Miliar bernilai tiga kali lipat dari harta kekayaan yang dia miliki (yang dia laporkan ke LHKPN), senilai Rp. 14 miliar. Jika merujuk pada nilai-nilai dalam kitab suci agama, denda berlipat sudah lama dikenal. Pengadilan Australia, bahkan mewajibkan terdakwa membayar denda atau ganti rugi lima kali lipat dari hasil korupsi yang dilakukan terdakwa.

Denda pengganti berlipat (tiga sampai empat kali lipat dari harta kekayaan), sudah mampu membuat para koruptor jatuh miskin. Penerapan Zero Tolerance, terpenuhi. Justru inilah yang ditakuti oleh para koruptor: Jatuh miskin. Gerombolan koruptor itu harus merasakan runcingnya taji hukum jika dihadapkan di muka peradilan.

Sebagaimana, kejahatan yang terorganisir, uang menjadi darah (live blood of the crime) dalam nadi kejahatan. Dengan uang, kekuasan masih dimiliki. Sekalipun hukum penjara (badan) telah dijatuhkan, bila uang masih tersimpan, apapun bisa dilakukan. Mendapat fasilitas keistimewaan dalam LP, bisa keluar LP untuk plesiran, mendapat remisi dan pembebasan bersyarat. Bahkan setelah bebas, para koruptor bisa menggunakan uang itu untuk melakukan kejahatan serupa. Merehabilitasi nama dengan membagi-bagi uang hasil korupsi untuk kegiatan sosial keagamaan. Kenyataan itu telah mengonfirmasi kebenaran tesis Marc Galanter bahwa “the ‘haves’ come out ahead”,

Pada sisi yang lain, negara bisa mengelola uang denda dari para koruptor untuk tambahan pembiayaan pembangunan. Misalnya untuk menambah aparat penyidik KPK, meningkatkan gaji hakim Tipikor, mengintesifkan kampanye dan sosialisasi pencegahan korupsi, dll. Uang rampokan harus dirampas oleh negara demi kesejahteraan rakyat banyak.Pengambilan aset dan harta hasil korupsi lebih efektif dan dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman penjara.

Semua ini bisa tercapai, jika semua pihak terdapat persamaan persepsi, koordinasi, komitmen, keberanian, integritas dan menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.Tidak sekedar wacana yang dalam prakteknya menempatkan koruptor tidak lebih seperti maling jemuran.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun