Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketua DPR

4 Oktober 2014   15:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua DPR itu barang langka, unik dan satu-satunya. Di Indonesia, hanya ada satu jabatan itu. Kalau pimpinan banyak jumlahnya, misalnya pimpinan pramuka. Ketua tetap saja satu. Tak boleh dua apalagi banyak. Karena langka dan unik, tidak semua mahluk hidup bisa jadi ketua. Sama seperti kumpulan gorila. Gorila yang paling besar, kuat dan bisa membanting gorila lainnya, dialah ketuanya. Ketua itu pilihan. Mahluk terpilih dari sekian banyak kecambah. Agar dibilang manusia modern, ketua DPR harus dipilih. Bila tidak, tak ubahnya sekumpulan gorila. Mahluk dungu yang tak mengenal pemilihan. Permufakatan yang diambil hasil dari kesepakatan.

Tentu sekumpulan manusia bernama anggota DPR yang memilih ketuanya. Atas nama demokrasi, ketua DPR bisa dipilih dengan ukuran apa saja. Bahkan tanpa ukuran apapun. Terserah anggotanya, mau memilih ketua berjanggut atau kepala plontos, jangan diprotes. Bisa-bisa nanti dituduh tidak demokratis. Maksud demokratis suka-suka kelompok itu. Terserah anggota DPR yang punya hak memilih. Penonton jangan coba-coba buat syarat tertentu. Lagipula jabatan itu tak membutuhkan syarat-syarat, agar bisa dipilih. Syaratnya cuma satu: dipilih oleh anggota DPR titik. Jangan ditambah-tambah lagi.

Tak dibutuhkan syarat ketua DPR harus pintar mengaji. Ini ketua DPR, bung bukan muadzin mushola. Mau sarjana yang ijazahnya palsu atau profesor, bukan itu jadi pedoman. Memangnya mau milih rektor. Terserah anggota saja. Mau dia doyan nonton film bokep waktu sidang, kalau anggota setuju, terpilih juga jadi Ketua DPR. Mau dia maling atau rampok sekalipun, bisa jadi ketua DPR. Toh, ketua DPR bukan nabi. Jadi tak usahlah pakai ukuran ahlak dan prilaku yang beradab. Pasal 87 UUD MD3 tidak menyebut syarat-syarat itu.

Saya jadi ingat tulisan teman kompasioner menangapi Pilkada langsung oleh rakyat. Dia bilang, rakyat kita belum siap berdemokrasi. Belum waktunya rakyat bisa rasional memilih pemimpinnya (baca: kepala daerah). Maka dari itu serahkanlah pemilihan lewat DPRD saja. Sesaat menonton pemilihan ketua DPR waktu lalu, saya baru paham. Oh, itu tho yang disebut demokratis. Pertunjukan model demokrasi yang diajarkan oleh para anggota DPR saat memilih ketua DPR. Sekali lagi, kamu jangan protes. Jika model seperti itu tidak terdapat dalam tekt buku-buku sekolahan. Siapa tahu, Indonesia sedang menciptakan model demokrasi ala sendiri. Digali dari bumi pertiwi. Demokrasi yang dipertontonkan oleh anggota DPR saat memilih ketua DPR. Saya kira, para perumus teori demokrasi harus merevisi pengetahuannya. Ada model demokrasi baru yang ditunjukan oleh anggota DPR. Rakyat akan belajar demokrasi model seperti itu. Pada akhirnya nanti akan diterapkan dalam Pilkada langsung, bila waktunya rakyat sudah siap.

Pemilihan model pemungutan suara itu sudah kuno, udik dan ketinggalan zaman. Buang-buang energi, waktu dan biaya. Pemilihan yang paling modern adalah model pemilihan dalam kumpulan para gorila. Cukup ada kesepakatan bersama. Selesai. Tak perlu banyak debat, yang penting semua sepakat. Anggota fraksi tak perlu banyak cingcong, turut saja apa mau pimpinan. Kata pimpinan fraksi nyebur ke neraka bersama, sami’na wa ahto’na. Demokrasi model ini lebih ringkas, efisien dan berdayaguna.

Ditambahkan oleh teman kompasioner itu, rakyat kita tingkat kesadaran politiknya masih rendah, pendidikanya belum baik dan drajat kehidupan ekonominya belum mapan. Makanya saat pemilihan kepala daerah, sikapnya menjadi irasional dan bukan atas pilihan sadar. Dan sekali lagi, serahkanlah kepada DPRD. Pertunjukan pemilihan ketua DPR telah memberi contoh yang amat sangat baik. Dipilih oleh anggota DPR yang punya kesadaran politik yang tinggi. Kalau tidak tinggi, tak mungkin dibilang politisi. Berpendidikan tinggi. Tak ada anggota DPR hanya lulusan SMP. Dan punya kehidupan yang mapan. Jadi anggota DPR tidak murah, hanya orang yang berkecukupan bisa lolos. Syarat-syarat sebagai pemilih sudah terpenuhi: kesadaran politik, pendidikan tinggi dan kaya Hasilnya ? Ya, Ketua DPR yang dipilih oleh anggota DPR dengan tiga syarat itu. Hebat kan.

Kalau nanti kamu sebagai rakyat pemilih akan memilih kepala daerah atau pemimpin, camkanlah tiga syarat itu. Jangan pilih pempimpin yang bersih dan tidak tersangkut dengan KPK. Karena tidak mencerminkan pemilih yang punya kesadaran politik tinggi, rasional dan mapan hidupnya. Soal bersih atau tidak, persetan dengan semua itu. Pilihlah sesuai anjuran pemimpinmu. Jangan pakai hati nurani. Pemimpinmu bilang, kita pilih geng kita saja, kamu harus turut. Sebagai manusia politis dan rasional, harus mengikuti apa titah tuanmu. Hati nurani itu tempatnya di alam gaib, tidak nyata dan irasional. Pilihlah pemimpin yang menguntungkan buatmu atau kelompokmu. Tak peduli dia setan atau preman, yang penting bisa memenuhi hasrat kepentinganmu.

Parodi demokrasi sedang dipertontonkan. Simaklah, hayati dan amalkan dalam kehidupanmu. Para jawara politik telah mengajarkan bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan.

Salam satire.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun