Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jokowi Tidak Dilantik?

5 Oktober 2014   23:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:16 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muncul wacana di media sosial belakangan ini yang menyatakan Joko Widodo tidak akan dilantik oleh MPR pada tanggal 20 Oktober 2014. Pernyataan datang dari Andi Arif, staf khusus Presiden. Andi Arief mengingatkan, bahwa pada tanggal 20 Oktober nanti memang tidak ada agenda pelantikan Joko Widodo sebagai presiden. “Kalau kita baca tahapan pemilu yang dikeluarkan KPU, tanggal 20 itu Jokowi hanya akan mengucapkan sumpah/janji sebagai presiden. MPR hanya membacakan keputusan KPU tentang Penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” terang Andi Arief (sumber). Andi menambahkan,“Memang, UUD 1945 masih menggunakan kata pelantikan. Tetapi makna kata pelantikan itu sudah tidak sama dengan kata pelantikan di masa lalu, saat presiden merupakan mandataris MPR. Pada masa itu presiden dipilih oleh MPR bukan oleh rakyat seperti sekarang ini”.

Sebenarnya saya enggan untuk menanggapi pernyataan itu. Tapi, link berita tersebut disebarluaskan (share) di media sosial. Hal ini bisa berakibat penyesatan informasi. Informasi sepihak bisa menimbulkan kesalahpahaman.Terus terang sayapun tidak ingin berdebat dengan Andi Arief. Saya mengenal dirinya sebagai kawan. Tapi latarbelakang akademis Andi, ilmu sosial dan ilmu politik, bisa sia-sia saja saat saya mendiskusikan dari prespektif hukum. Lagipula pernyataan itu bukan dari pemikiran murni Andi Arif. Andi hanya mengutip pernyataan Prof. Djawaher Tantawi, guru besar fakultas hukum UII. Yang juga guru saya.

Menjelang pelantikan Presiden SBY pada tanggal 20 Oktober 2004, Prof. Djawaher membuat pernyataan serupa. “Tanggal 20 Oktober 2004 nanti, SBY takkan dilantik oleh Ketua MPR seperti pelantikan presiden sebelumnya. SBY hanya mengucapkan sumpah/janji dalam sidang MPR,” ujar Prof. Djawaher. Hal ini disebabkan oleh perbedaan penafsiran yang berkembang saat ini terhadap pasal 9 UUD 45. Namun, hal ini juga merupakan bentuk inkonsistensi dari MPR periode 1999-2004 karena antara pasal 3 ayat 2 dengan pasal 9 menjadi tumpang tindih. Hal ini merupakan kelalaian MPR masa lalu yang tidak mengamendemen pasal 3 ayat 2 “ tambah Prof. Djawaher. (sumber)

Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “ MPR melantik Presiden/Wakil Presiden”. Frasa “melantik” tak bisa diartikan lain. Frasa ini bersifat limitatif, baik ditengok dari original intent, tafsir historis maupun tafsir gramatikal. Bukti frasa ini tak bisa diartikan lain, UUD MD3 Bab II tentang MPR pasal 4 huruf b kembali menegaskan MPR berwenang melantik Presiden/Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum. Artinya MPR tidak saja berkewajiban (UUD 1945) tapi juga berwenang (UU MD3) untuk “melantik”. Apakah kemudian Presiden/Wakil Presiden dipilih oleh MPR atau hasil dari Pemilihan Umum. Tetap saja MPR berwenang melantik. Jadi tak bisa ditafsir sesuka hati, karena dahulu Presiden mandataris MPR maka MPR berwenang melantik Presiden. Sedangkan sejak tahun 2004, Presiden dipilih langsung, maka MPR tidak berwenang. Bila ada tafsir yang berbeda dengan mudah kita tidak akan menemui kewenangan itu dalam UU MD3 yang disahkan pada bulan Juli 2014 lalu. Mempertegas kewenangan tersebut kembali Tata Tertib MPR menyebutkannya dalam pasal 99 jo pasal 100 jo pasal 101 Tatib MPR Bab Bab XVI.

Secara teknis, bagaimana cara MPR melantik? Tatib MPR telah memberi urutannya. Dalam Sidang Paripurna MPR, Pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide pasal 100 ayat (3)) dilanjutkan dengan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Sidang Paripurna MPR (vide pasal 100 ayat (4). Sementara Prof. Djawaher mengartikan frasa “melantik” dengan arti Presiden/Wakil Presiden dilantik oleh ketua MPR. Baik UUD 1945, UU MD3 maupun Tatib MPR tak ada disebut Presiden/Wakil Presiden dilantik oleh ketua MPR. Yang benar prosesi pelantikan Presiden /Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah di hadapan MPR. Hal ini sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan Presiden/Wakil Presiden bersumpah dihadapan MPR. Lalu darimana Prof. Djawaher bisa mengartikan dan menambah-nambah bahwa Presiden/Wakil Presiden dilantik oleh ketua MPR?

Prof Djawaher mengatakan bahwa terjadi tumpang tindih antara pasal 3 ayat (2) dengan pasal 9, karena MPR lalai tidak melakukan amandemen pasal 3 ayat (2) UUD 1945. Saya tidak tahu, apakah Prof. Djawaher membaca naskah UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen atau tidak. Justru pasal 3 ayat (2) hasil amandemen ketiga tahun 2001. Lalu darimana datang pernyataan kalau MPR lalai tidak mengamandemen pasal tersebut. Hal yang dilupakan juga oleh Prof. Djawaher bahwa amandemen pasal 3 ayat (2) bersamaan dengan amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A ayat (1) tentang Presiden/Wakil Presiden dipilih langsung. Ketiga pasal ini terkait dengan MPR dan Presiden. Waktu rapat Badan Pekerja MPR bersama komisi konstitusi tanggal 9 November 2001, ketiga pasal ini dibahas secara bersamaan. Tidak sepotong-sepotong. Ini yang disebut tafsir sistematis. Membaca teks hukum (pasal) harus dikaitkan dengan pasal lain saat pembentukannya. Dalam hal ini ada keterkaitan antara pasal 3 ayat (2) dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 6A ayat 1 UUD 1945. Sehingga ketika kita ingin tahu original intent dari frasa “melantik” tak hanya membaca pasal 3 ayat (2) tapi dua pasal lain yang dibentuk dan dibahas secara bersamaan.

Baik Andi Arief maupun Prof. Djawaher beralasan bahwa makna pelantikan saat ini berbeda. Karena Presiden bukan lagi mandataris MPR. Presiden bukan bawahan dari MPR. Sehingga pelantikan dianggap tidak perlu lagi. Bila demikian logikanya, saya akan buat perbandingan. Lalu, apa wewenang Mendagri atau Gubernur melantik Bupati/Walikota. Toh Bupati/Walikota bukan mandataris atau bawahan Mendagri/Gubernur. Baik UUD 1945 maupun UU MD3, Bupati/Walikota tidak dipilih atau diangkat oleh Mendagri/Gubernur. Lalu apa urgensinya Mendagri/Gubernur melantik Bupati/Walikota. Sistem ketatanegaraan kita tidak bisa dibaca parsial dan double standard. Disana boleh, disini jangan.

Terakhir saya ingin meluruskan apa yang dikatakan Andi Arif. Dia mengatakan tahapan pemilu yang dikeluarkan KPU, tanggal 20 itu Jokowi HANYA akan mengucapkan sumpah/janji. Dengan menyebut kata “hanya”, jelas Andi melakukan distorsi informasi. Memberikan informasi palsu kepada publik. Peraturan KPU No. 4 tahun 2014 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilu Presiden/ Wakil Presiden bagian Lampiran halaman 10 disebut: “Pelantikan dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan pemberitahuan kepada para pihak”, dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2014 oleh MPR. Seperti ada kesengajaan menghilangkan kata “pelantikan dan” di awal kalimat itu. Tentang upaya mendistorsi informasi ini, saya serahkan kepada pembaca untuk menilainya sendiri.

Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun