Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hampir Tak Mungkin Jokowi Dimakzulkan

9 Oktober 2014   03:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:48 5295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_365028" align="aligncenter" width="571" caption="Ilustrasi Joko Widodo / pontianak.tribunnews.com"][/caption]

Seorang kawan cerita dengan nada gusar. “wah, sepertinya KMP akan melengserkan Jokowi. DPR dan MPR sudah mereka kuasai”. Bukan kali ini saja saya mendengar penyataan seperti itu. Beberapa pengamat di media massa juga menyatakan demikian. Kalau yang menyatakan hal ini tukang ojek di pangkalan. Saya tak ambil peduli. Biasa bergosip dengan bumbu politik disana sini. Tapi, jika yang menyatakan hal itu mengatas namakan pengamat politik, saya tak habis pikir. Darimana rumus itu didapat. Cemas sih boleh saja asal jangan berakibat GAD (Generlized Anxiety Disorder). Apa karena membaca ancaman Hasyim (adik Prabowo) yang akan menggunakan segala power untuk menghambat pemerintahan Jokowi. Kenapa mesti risau. Seorang saudagar yang mungkin teks Pancasila saja dia tidak hapal.

Untuk sampai pada putusan Presiden dimakzulkan, jalannya panjang berliku. Tidak seperti makan pisang. Kupas, langsung telan. Pasal 7A dan 7B UUD 1945, seperti jadi kunci pemerintahan presidensial. Hampir tak memungkinkan Presiden dimakzulkan. Kecuali Presiden rada sinting. Ikutan maling uang pengadaan Alquran. Atau memperkosa penjual jamu gendong. Tapi kebanyakan presiden sinting itu bisa menguasai angkatan bersenjata. Jadi tak mudah juga menjatuhkan Presiden sentengah gila. Mungkin, orang agak traumatik mengingat kejadian Presiden Abdurahman Wahid tahun 2001 diberhentikan oleh MPR. Cuman saat itu pasal 7A dan 7B belum ada. Kedua pasal itu ditambah (amandemen) setelah Gus Dur tumbang. Andai saja kedua pasal itu diamendemen tahun 2000, bisa jadi Presiden Abdurahman Wahid teramat sulit untuk dijatuhkan dari tapuk kekuasaan.
Kalau urusan ancam mengancam, main gertak, itu sudah biasa. Namanya juga dunia politik. Gertak dijadikan dasar untuk naikan nilai tawar. Seperti DPR mengertak Presiden SBY dengan kasus Century. Lalu gunakan hak angket. Belum apa-apa, sudah berhenti ini barang. Padahal hak angket baru tahap mula untuk melakukan pemakzulan. Sandungan kedepannya justru lebih banyak dan rumit.

Coba kita berandai-andai. Taruhlah kemudian Gerindra yang masih dendam sama Jokowi, ajukan hak angket. Soal apa kesalahan Presiden bisa dicari-cari. Mudah saja mengumpulkan 25 orang anggota DPR pengusul hak angket. Lantas dibawa ke rapat paripurna, dan disetujui. Selanjutnya rapat paripurna membentuk panitia khusus atau panitia angket. Anggotanya semua fraksi. Termasuk fraksi yang menolak hak angket waktu rapat paripurna. Bekerjalah panitia angket untuk melakukan penyelidikan. Di dalam panitia angket saja pasti tidak akur. Kalau komposisi 6 fraksi dari KMP dan 4 fraksi dari KIH, hampir imbang. 10 orang panitia itu bertengkar sendiri di dalam. Waktu kerja diulur-ulur. Alasan bisa macam-macam. Anggap saja kerja panitia angket selesai. Terus hasil penyelidikan dilaporkan ke rapat paripurna. Dilakukan voting dengan syarat 50%+1, loloslah hak angket itu. Presiden didakwa melakukan kesalahan. Dakwaan atau tuduhan kepada Presiden lazim disebut impeachment. Impeach adalah satu tahapan menuju pemakzulan. Catatan: beda artinya impeachment dengan pemakzulan.

Masuk tahap kedua. Setelah diketemukan bukti-bukti hasil penyelidikan panitia angket terus DPR melangkah menggunakan hak menyatakan pendapat. Penggunaan hak inipun melewati prosedur. Balik lagi ke awal. Diusulkan sekurangnya 25 orang anggota lantas dibawa lagi ke rapat paripurna. Padahal tidak setiap jam ada rapat paripurna. Anggota DPR itu tugasnya banyak. Tidak bisa tiap jam ada rapat paripurna. Salah satu tugas anggota DPR, plesiran ke luar negri. Pasti sibuk sekali.

Sebelum DPR memutuskan penggunaan hak menyatakan pendapat, rapat paripurna harus memenuhi kuorom dulu. Apakah usul dari 25 orang yang menandatangani hak menyatakan pendapat disetujui atau ditolak oleh rapat paripurna. Rapat paripurna dengan agenda pembahasan hak menyatakan pendapat, syaratnya dihadiri oleh sekurangnya 2/3 dari anggota. Jika anggota DPR jumlahnya 560 orang, sedikitnya harus hadir 373 orang. Biar rapat bisa kuorom. Anggota KMP yang terdiri dari 6 fraksi (termasuk PPP) hanya ada 344 orang. Masih kurang 29 orang lagi. Andai anggota DPR dari faksi KIH, kompak bisa saja semuanya tidak hadir. Toh tidak ada sanksi apapun. Alasan tidak hadir juga bisa dicari-cari. Terjebak macet, dilarang mertua atau mengantar nenek ke dokter gigi. Alasan paling elgan ya reses. Entah reses ke rumah janda yang mana lagi. Ambillah pahitnya, ada 30 orang anggota DPR dari fraksi PKB, ikut hadir rapat paripurna itu. Rapat paripurna memenuhi kuorom dan keputusan diambil secara aklamasi. Hak menyatakan pendapat disetujui DPR.

Selesaikah? Belum, baru separoh jalan. Kembali lagi rapat paripurna membentuk panitia khusus yang terdiri dari semua fraksi. Pasti ribut lagi di dalam panitia. Setelah bekerja selama 60 hari, panitia khusus harus lapor pada rapat paripurna lagi. Panitia khusus melaporkan bahwa Presiden Jokowi misalnya melakukan perbuatan tercela. Cuma alasan pembenar ini yang bisa dipakai. Entah apa itu tercela, sesuai selera saja menafsirkannya. Kira-kira seperti pasal karet pencemaran nama baik. Bisa ditafsirkan sesuka hati. Sebab mau pakai tuduhan penghianatan terhadap negara, susah argumenya. Terlibat G30S PKI ngga. Membiayai pemberontakan kaum teroris juga tidak. Atau mau gunakan tuduhan korupsi atau tindak pidana berat. Lebih repot lagi. Harus menunggu putusan pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap. Dari putusan pengadilan negri, banding, kasasi terus PK. Bisa-bisa sampai habis masa periode pemerintahan Jokowi, belum rampung juga ini perkara. Kalaupun alasan perbuatan tercela digunakan, mesti dapat persetujuan rapat paripurna. Rapat paripurna dapat menerima laporan panitia khusus tadi, jika dihadiri sedikitnya 2/3 atau 373 orang. Angap saja lolos lagi, karena ada anggota dari kubu KIH hadir memenuhi kuorom. Selanjutya salah atau tidaknya Presiden diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi yang memutuskannya.

Tahap ketiga. Kalau sudah masuk ke Mahkamah Konstitusi, kecil ruang untuk lakukan intervensi politik. Paling intervensinya yang paling ekstrim. Presiden menarik atau memberhentikan 3 orang hakim konstitusi. Alasan bisa dicari-cari. Baik UU maupun Perppu, dalam mengambilputusan jumlah hakim harus 9 orang. Tidak boleh kurang, apalagi sampai 3 orang. Jadi menunggu 3 orang hakim pengganti yang diusulkan Presiden. Karena Presidennya mulai kehilangan kesadaran, 3 hakim tidak diajukan. Siapa juga yang bisa protes. MA atau DPR protes. Lho mereka kan sudah punya jatah masing-masing mengajukan 3 orang hakim. Dalam situasi darurat seperti ini yang bisa mengatasinya hanya Perppu atau Dekrit. Sedangkan Perppu atau Dekrit merupakan wewenang Presiden.

Kita berpikir positif saja. Hakim MK tidak diintervensi Presiden, tetap 9 orang. Tinggal 9 orang hakim itu yang memutuskan apakah Presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau tidak. Yang pasti MK harus memberi pendapat hukumnya atas hak menyatakan pendapat DPR. Kebetulan Ketua MK saat ini, Hamdan Zoelva sangat paham dengan pemakzulan. Disertasi doktornya di Universitas Pajajaran Bandung sudah diterbitkan. Judulnya Pemakzulan Presiden di Indonesia. Sekali lagi, 9 hakim MK benar-benar bersandar pada tafsir subyektif mereka. Sebab UU MK, tidak menjelaskan secara detail apa itu perbuatan tercela (pasal 10 ayat (3) UU No. 24 tahun 2003). Hanya disebut perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tidak ada definisi baku atas istilah perbuatan tercela ini.

Apabila keputusan MK membenarkan pendapat DPR, Presiden terbukti bersalah. Selanjutnya bola dilempar lagi ke MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang istimewa. Masuklah ke tahap akhir, setelah ada putusan MK itu. Repotnya rapat paripurna MPR dengan agenda memberhentikan Presiden harus dihadiri oleh sekurangnya ¾ anggota MPR (DPR dan DPD). Jumlah anggota MPR (560+132) ada 692 orang. Jadi harus terpenuhi kuorom minimal 519 orang. Sementara jumlah anggota DPR dari faksi KMP hanya 344 orang. Masih kurang 175 orang lagi. Taruhlah semua anggota DPD kompak bersatu padu dengan KMP ingin menjatuhkan Presiden Jokowi, ada penambahan 132 orang. Tetap masih kurang 43 orang. Terpaksa harus melobi PDIP, Nasdem atau PKB. Sebab Hanura cuma 16 kursi. Siapa tahu Nasdem atau PKB mau juga melengserkan Jokowi dan hadir dalam rapat paripurna MPR. Atau justru PDIP sendiri yang ikutserta, karena beranggapan Jokowi seorang kader yang tidak bisa diatur lagi. Entah apa yang terjadi, bisa saja KMP, KIH, dan DPD bersepakat untuk memberhentikan Presiden. Belajar dari Gus Dur dan Bung Karno, Jokowi lantas mengganti panglima TNI. Bersama dengan TNI, Presiden mengeluarkan dekrit, negara dalam keadaan genting. Dan memberi wewenang kepada panglima TNI untuk mengamankan situasi. Sudah bisa kita tebak, apa yang akan terjadi. Belum para relawan Jokowi ikut-ikutan bersama TNI, ikut mengamankan situasi nasional.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun