Rancangan undang undang tentang Kelautan disahkan oleh DPR pada tanggal 29 September 2014.Kemudian diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014 menjadi Undang Undang Nomor 32 tahun 2014. Kelahiran undang-undang ini seperti halnya anak tiri. Tak mendapat perhatian publik dan media massa. Miskin komentar dan tanggapan dari para pengamat dan politisi. Diacuhkan menjadi sesuatu yang tak penting bagi bangsa ini. Tanggapan seadanya hanya datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo. Tak terkecuali Presiden dan pimpinan lembaga tinggi negara lainnya seperti bisu. Seakan undang-undang ini hanya urusan tangkap menangkap ikan di laut. Makanya cukup Menteri Sharif Sutardjo saja yang bicara. Pada kesempatan ini saya mengajukan kritik bahwa reaksi dingin dan bisu itu penanda bahwa para petinggi negara dan para politisi masih dihinggapi cara pandang kolonil Belanda. Menyerahkan diri untuk tunduk dengan cara pandang kolonial Belanda. Begitu istimewa kah undang undang ini? Akan saya uraikan, dimana letak keistimewaannya:
Pertama, UU Kelautan yang disahkan di penghujung September 2014 adalah undang-undang tentang Kelautan pertama sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Setelah 69 tahun merdeka, inilah undang-undang satu-satunya tentang Kelautan. Pada dasarnya UU 32/2014 mengantikan Staatsblad tahun 1939 No. 442 mengenai ’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim). Yang selanjutnya disebut Ordonansi 1939. Meskipun Ordonansi 1939 telah dicabut oleh UU Nomor 4/Prp/1960, namun yang dicabut hanya Pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai angka 4. Bukan mencabut secara keseluruhan. Itupun hanya sebatas tentang Perairan Indonesia. Dari ketentuan lebar laut teritorial dari 3 mil menjadi 12 mil. Walaupun demikian UU Nomor 4/Prp/1960 yang hanya berisi empat pasal itu dianggap sebagai “revolusi hukum laut”. Materi yang berasal dari Deklarasi Djuanda 1957 ini telah mampu menjadikan Indonesia sebagai pelopor konsep Archipelagic state Principle.
Kedua, UU 32/2014 adalah undang-undang pertama yang diusulkan oleh (hak inisiatif) Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Rancangan undang-undang ini bukan berasal dari pemerintah atau DPR tetapi berasal dari DPD. RUU ini telah lama disusun oleh DPD tetapi terhenti karena menyangkut kewenangan DPD mengusulkan dan membahas rancangan undang-undang bersama DPR. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PUU/X/2012 yang menetapkan bahwa DPD dapat mengajukan RUU, maka DPD kembali melanjutkan pembahasan RUU Kelautan.
Ketiga, UU 32/2014 dapat saya katakan sebagai undang-undang pokok, meskipun tidak disebut seperti undang-undang pokok agraria 1960. Segala hal ikhwal yang menyangkut laut dan kelautan diatur dalam undang-undang ini. Jadi mereduksi undang-undang ini hanya milik Kementrian Kelauatan dan Perikanan (KKP) sebuah kesalahan besar. Hampir semua peristiwa dan kegiatan di Laut diatur dan ditangani tidak hanya oleh KKP. Kewenangan KKP sebatas pengelolaan kekayaan laut hayati. Bisa kita lihat.
Pertahanan negara hingga melakukan perjanjian dengan negara lain di laut menjadi urusan TNI AL; Kejahatan di laut seperti perompak atau penyelundupan urusan Polisi Air. Penjaga pantai dan mercu suar urusan Kementrian Perhubungan. Eksplorasi dan eksploitasi gas, minyak bumi dan mineral di lepas pantai urusan Kementrian ESDM. Karantina hewan dan ikan urusan Kementrian Pertanian. Karantina awak kapal dan penumpang urusan Kementrian Kesehatan. Penyelundupan satwa langka dan pengangkutan ilegal logging lewat laut urusan Kementrian Kehutanan. Pertikaian tentang batas negara melibatkan Kementrian Luar Negeri. Izin barang import dan eksport di pabean pelabuhan urusan Dirjen Bea Cukai. Melestarikan cagar budaya dan pengembangan wisata laut juga melibatkan Kementrian Pendidikan dan Pariwisata. Penyelundupan orang dan imigrasi hingga suka politik urusan Kementrian Hukum dan HAM. Pembuangan limbah hingga reklamasi menjadi urusan Kementrian Lingkungan Hidup. Peradilan Perikanan dibawah naungan Mahkamah Agung. Proses penuntutan yang melibatkan jaksa adhoc dibawah Kejaksaan Agung. Ini belum termasuk penanganan bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, rob, atau badai el nino. Lalu yang lebih rumit tentang tata ruang laut seperti pemasangan kabel bawah laut yang tumpang tindih.
Keempat, hal yang paling prinsip dari undang-undang ini menyangkut kedaulatan negara. Jadi undang-undang ini bicara tentang kedaulatan negara Indonesia.Indonesiasebagai negara kepulauan yang berciri Nusantara. Yang menjadikan Laut sebagai bagian yang integral dari satu kesatuan bulat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah yang paling revolusioner dari upaya dekolonialisasi. Ordonansi 1939 buatan Belanda itu menganut asas “pulau demi pulau” yang menjadikan laut sebagai pemisah. Hal yang mirip dengan pandangan mare liberium khas negara-negara kontinental Eropa. Laut bukan bagian dari satu kesatuan kedaulatan. Lebih berorientasi pada daratan.
Seperti halnya petinggi negara ini yang masih dihinggapi oleh pandangan kolonial Belanda itu. Indonesia dalam pandangannya sebatas daratan dan agraris. Satu sisi terkontaminasi pandangan kolonial Belanda, sisi lain kuatnya pengaruh budaya kerajaan pedalaman seperti Mataram. Ujungnya menjadi tidak penting untuk membahas soal Laut dan Kelautan. Karena bukan bagian pemersatu tapi dianggap pemisah pulau demi pulau.
Padahal penamaan Indonesia, Nusantara, sebutan Tanah Air dan lagu Indonesia Raya semua berhubungan dengan pulau dan laut. Nama Indonesia dikenalkan pertama kali oleh James Richardson Logan, seorang sarjana hukum berkebangsaan Skotlandia dan George Samuel Windsor Earl, ahli etnologi berkebangsaan Inggris. Pada tahun 1847, mereka mengusulkan penamaan Hindia (Belanda) diganti dengan nama Indunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Demikian juga dengan kata Nusantara adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna nusa (pulau) dan antara (lain/seberang).Nama Nusantara diambil dari konsep kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15. Disadur dari kitab Negarakertagama pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Dan yang mesti diingat kerajaan Majapahit dibawah mahapatih Gajah Mada adalah kerajaan maritim.
Istilah “tanah air” mengintegrasikan wilayah daratan (tanah) dan laut (air). Istilah “tanah air” merupakan kosa kata unik yang tak dikenal dalam khasanah bahasa lain di dunia. Oleh karena itu “tanah air” tak sekedar diartikan sebagai istilah namun merupakan konsep dari bangsa Indonesia. Konsep “tanah air” pertama kali digunakan oleh Mohammad Yamin pada tahun 1920 ketika mengubah syair lagu berjudul Tanah Air.
Konsep air dalam penggalan istilah “tanah air” yang berarti wilayah laut, dapat dicermati dari lagu Indonesia Raya versi asli. Lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya versi asli dengan tiga stanza (bait) ditulis dan dilagukan pertamakali WR Supratman pada tahun 1928. Namun lagu monumental itu dinyanyikan secara serentak bersamaan dengan deklarasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta dengan satu stanza. Selama ini, yang kita ketahui hanya Indonesia Raya dalam satu stanza. Berikut penggalan lirik lagu Indonesia Raya versi asli:
S’lamatlah rayatnya
S’lamatlah put’ranya
Pulaunya, lautnya semua
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H