Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Banyak Cakap, Inilah Utusan Online

30 November 2014   00:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:30 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Beginilah jika jurnalis Malaysia banyak cakap. Ditunjukan dengan gamblang oleh media Utusan Online. Tak penting isi yang penting nyaring bunyinya seperti tong kosong. Tulisan dengan judul “Maaf Cakap, Inilah Jokowi” yang dipublikasikan pada 23 November 2014 (sumber). Sebagai sikap reaksioner setelah mendengar berita “200 nelayan Malaysia ditahan kerana menceroboh perairan negara itu”. Banyak kesilapan tertulis dalam media itu, tetapi saya akan mengulas beberapa hal saja. Sebab jika ditelanjangi satu per satu, begitu nampak prilaku banyak cakap itu.

Suatu kalimat tertulis “Jokowi agak gopoh. Dia tidak menghayati memorandum persefahaman yang ditandatangani oleh pemimpin sebelum ini terhadap Garis Panduan Bersama Tentang Layanan Terhadap Nelayan oleh pihak maritim kedua-dua negara. Antara isi garis panduannya, kedua-dua negara mencapai kesepakatan hanya mengusir dan tidak menahan nelayan yang menceroboh perairan. Menenggelamkan bot dalam kata lain memusnahkan harta benda nelayan tidak ada dalam garis panduan berkenaan”. Kalimat itu sebenarnya hanya mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri, Datuk Seri Anifah Aman yang diberitakan sebelumnya. Menlu Malaysia menyatakan bahwa mengacu perjanjian itu maka kedua negara telah mencapai kesepakatan untuk hanya mengusir dan tidak menahan nelayan yang didapati menangkap ikan di perbatasan maritim Malaysia dan Indonesia. Saya tidak percaya bahwa ini adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang Presiden, dan akan menyelidiki tuduhan ini," katanya. Baik Menlu Malaysia dan jurnalis Utusan Online sama sepadan: asal cakap.

Memorandum Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Malaysia mengenai Pedoman Umum Tentang Penanganan Terhadap Nelayan Oleh Lembaga Penegak Hukum Di Laut Republik Indonesia Dan Malaysia ditandatangani tanggal 27 Januari 2012 di Bali. Maksud MoU ini untuk mengatasi masalah perbatasan dengan menghindari konflik langsung. Bila terdapat nelayan yang masuk ke wilayah salah satu negara itu, cukup diberi tindakan pengusiran. Tetapi, Menlu Datuk Seri Anifah Aman dan jurnalis Utusan Online yang banyak cakap itu luput membaca Article 5This memorandum of Understanding shall be applied in all unresolved maritime boundary areas between the Parties.”. Jelas area for implementation dari Mou ini berada di semua batas maritim yang belum terselesaikan.

Pertanyaannya dimanakah locus delicti, 200 nelayan yang diduga dari Malaysia itu ditangkap oleh angkatan laut RI?. Semua media yang meliput menyatakan bahwa locus delicti berada di perairan Tanjung Batu, kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Jelas perairan itu bukan masuk dalam garis perbatasan antara Malayasia dan Indonesia. Atau bukan dalam area unresolvedmaritime boundary. Jarak dari garis pangkal hingga Tanjung Batu, kurang dari 12 mil atau masuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia yang disebut laut teritorial. Lalu mengapa menggunakan MoU 27 Januari 2012 yang jelas locus delicti tidak berada di area unresolvedmaritime boundary? Kesimpulannya sederhana: Banyak cakap !.

Saya nak cakap sikit sama pak cik, jika tak pafam dimana maritime boundary yang berada di kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Ada dua : pulau Maratua dan pulau Sambit. Pulau Maratua bukan saja berada di perbatasan dengan Malaysia tetapi juga Filipina. Berada pada titik koordinat 2° 15′12″ LU, 118° 38′41″ BT.Dalam peta kedaulatan Indonesia yang telah disampaikan kepada PBB tahun 2002, pulau Maratua berada pada Titik Dasar No. 039. Sedangkan pulau Sambit (tak berpenghuni) berada di koordinat 1° 46′53″ LU, 119° 2′26″ BT. Dengan Titik Dasar No. 040. Baik media nasional, Malaysia dan Reuters tak pernah menyebut sedikitpun bahwa locus delicti penangkapan nelayan itu berada di perairan dua pulau ini. Jika kejadian berada disekitar pulau Maratua, bisa jadi penggunaan MoU 27 Januari 2012 bisa dibenarkan. Karena pulau inipun masih terjadi silang sengketa. Ditandai dengan adanya dua resor milik PT. Paradise (Malaysia) dan PT. Nabuko, perusahaan asal Jerman. Bahkan pulau Maratua juga milik Filipina yang ditandai dengan hadirnya gerilyawan Moro di pulau itu.

Pak cik Anifah Aman pasti paham asas aut dedere aut punere. bahwa pelaku kejahatan internasional diadili menurut hukum di tempat ia melakukan kejahatan. Dengan kata lain, pelaku kejahatan internasional diadili sesuai dengan locus delicti. 200 nelayan tu bukan pelancong atau pendatang haram tapi hendak mencuri (bahasa kami: Maling) khasanah alam kami. Sapapun yang masuk pekarangan rumah kami maka berlaku asas aut dedere aut punere. Kalaupun pak cik berdalih pencurian itu menggunakan hukum internasional UNCLOS, mesti pak ci paham bahwa Article 73 claus (3) UNCLOS berlaku di wilayah ZEE (200 mil) bukan di wilayah perairan laut teritorial atau zona tambahan. Jadi mau kami karamkan bot kalian, asas hukum internasional membenarkannya. Lagipula karena locus delicti tidak masuk dalam unresolvedmaritime boundary maka kekuasan yuridiksi penuh berada pada hukum nasional Indonesia. Hal yang mesti diingat bagi jurnalis bancak cakap, angkatan perang kami bukan menangkap penceroboh atau pendatang haram tapi menangkap maling.

Terus kalian bilang “tetapi minta maaf, pendekatan orang Malaysia berbeza dan tidak akan melakukan sesuatu tindakan di luar garis kemanusiaan waima untuk tujuan preventif”. Ini omongan tak tau malu. Justru kalian yang melanggar MoU 27 Januari 2012.Kurang dari satu bulan dari penandatangan MoU ini, Polisi Maritim Malaysia menangkap nelayan kami tanggal 12 Februari 2014. Kapal KM Sie Mie Lie ditangkap dengan alasan melanggar batas wilayah berlayar. Padahal berdasarkan koordinast GPS yang aktif di kapal itu, masih berada di 4 mil dari garis pantai Tanjung Balai Karimun, Kepri. Sudah menangkap di perairan kami, terus nelayan kami, kalian tahan rumah tahanan Sungai Udang Melaka, Malaysia. Kalian memang tidak mengerti hukum. Terutama asa resiprikol.

Lalu mengapa juga kalian mesti reaksioner, setelah diselidiki rupanya 200 orang itu bukan warga negara Malaysia. Tanggal 27 November 2014, Dato Seri Zahrain, Duta Besar Malaysia menegaskan bahwa 200 nelayan yang ditangkap Indonesia bukanlah nelayan asal Malaysia."Mereka itu tidak punya identity card Malaysia dan mereka tidak bertutur Malaysia. Mereka juga tidak memahami budaya Malaysia," ujar Zahrain. Diduga mereka adalah orang laut atau yang dikenal orang Bajau adalah mereka yang biasa hidup di laut. Untuk menghidupi dirinya, biasanya mereka berpindah-pindah tempat dengan hasil tangkapan ikan yang didapatnya. Dubes Malaysia juga mengaku sudah mengkonfirmasi hal ini dengan Ketua Dewan Malaysia dan Kementerian Luar Negeri Indonesia, jika itu bukan warga negara Malaysia. Kalau sudah begini, apa kalian tak malu sudah banyak ludah terhambur hanya untuk meperolok-olok Presiden kami.

Urusan menghina Presiden kami sepertinya sudah jadi tabiat Utusan Online. Adab orang Malaysia yang sungguh “sopan dan beradab”. Apa kalian masih ingat tanggal 10 Desember 2012?. Dengan entengnya kalian bilang presiden Baharudin Jusuf Habibie sebagai penghianat bangsa. Omongan bangsa beradab melalui bekas Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin. Banyak cakap dan sok tau melebihi pengetahuan kami di Indonesia. Mengatakan Presiden Habibie berhianat karena melepas Timor-Timur dan membebaskan berdirinya 48 partai ikut Pemilu 1999. Mengatakan banyaknya partai politik itu mengakibatkan keadaan politik Indonesia porak-poranda hingga saat ini.(sumber).

Itupun belum cukup rupanya. Perangai penghasut dan penghina sudah jadi syndrome. Tanggal 15 Desember 2012, kembali kalian hina Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui mulut yang katanya beritel doktor politik Malaysia, Paridah Abdul Samad, "Pengkajian dan pemahaman yang mendalam tentang senario politik Indonesia, saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Suharto hingga kuasa politik negara diambil alih oleh seorang pemimpin yang cacat penglihatannya bertaraf ulama, Gus Dur. Walaupun hampir buta, Presiden seperti ini yang dikehendaki oleh golongan minoriti Cina Indonesia dan masyarakat antarabangsa," tulis Paridah di tajuk Harian Utusan Online (sumber)

SALAM KOMPASIANA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun