Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jangan Hobi Menenggelamkan Kapal

7 Desember 2014   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:50 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas beranjak dari sinyalemen “jangan hanya panas-panas tahi ayam”. Awalnya saja gembar-gembor menenenggelamkan kapal, setelahnya nyaris tak terdengar lagi. Menurut saya, ini sinyalemen aneh bin ganjil. Mengapa mendorong pemerintah untuk menjadikan tindakan menenggelamkan kapal sebagai program. Pikiran ini seolah-olah ingin menyatakan bahwa tindakan menenggelamkan kapal harus dilakukan oleh pemerintah secara konsisten dan terus menerus, jangan hanya panas diawal. Lambat laun, tindakan menenggelamkan kapal jadi hobi. Sebentar-sebentar kapal ditenggelamkan. Tanpa menghiraukan tujuan dari tindakan itu. Ketika cara telah berubah menjadi tujuan, maka ujungnya tak terarah. Menenggelamkan kapal itu cara bukan tujuan. Sebagimana Roma sebagai tujuan, cara dan jalan menuju kearahnya banyak dan tidak hanya satu. Sehingga yang mesti dilihat tujuannya bukan caranya. Untuk itu perlu ada alat ukur untuk menentukan apakah tujuan sudah tercapai atau belum.

Tujuan menenggelamkan kapal untuk memberantas pencurian ikan oleh kapal asing. Artinya untuk memberantas pencurian ikan punya banyak cara tidak semata menenggelamkan kapal. Apa guna menenggelamkan kapal jika pencurian ikan tidak berkurang malah bertambah banyak. Faktanya, selama periode 2003-2014, tidak kurang dari 38 kapal penangkap ikan asing ditenggelamkan. Tetapi, justru pencurian ikan malah meningkat. Tentu ada yang salah, ketika suatu cara dipergunakan tujuan tak tercapai. Inilah perlunya evaluasi. Mengapa suatu tindakan yang merupakan suatu cara, tidak berpengaruh pada pencapaian tujuan.

Bisa jadi ada beberapa sebab. Seruan menenggelamkan kapal itu dianggap angin lalu. Kira-kira seperti analogi banyak para koruptor yang telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, tetapi korupsi malah bertambah banyak atau tidak berkurang. Karena menyangkut hubungan bilateral antar negara, seruan itu memang harus keluar dari mulut Presiden sebagai kepala negara. Agar pesan itu dapat diterima oleh kepala-kepala negara lain yang nelayannya tersangkut pencurian ikan di perairan Indonesia. Bila seruan itu hanya dinyatakan oleh Mentri seperti Susi, Freddy Numberi atau Fadel Muhammad, apa pentingnya kepala-kepala negara lain mengubrisnya. Menteri bisa dianggap tidak mewakili kepentingan negara.

Kedua, seruan oleh Presiden juga sebagai kepala pemerintahan. Membawahi semua jajaran pemerintahan dibawahnya. Apa mungkin KSAL atau Kapolri dapat tunduk atas seruan Menteri Kelauatan dan Perikanan yang menyerukan menenggelamkan kapal. Bahkan Menko Kemaritiman sekalipun tidak punya kuasa memerintahkannya. Bisa jadi Menko Polhukam, Panglima TNI dan Kapolri maju mundur dan masih mikir-mikir, sebab kapasitas Menteri Susi tidak dapat memerintah aparat penegak hukum. Berbeda halnya jika Presiden yang memerintahkan. Presiden punya kuasa untuk mengatasi hambatan. KSAL bilang, hambatannya kuota BBM untuk operasi laut hanya 27%.Lalu dinaikan oleh Presiden Jokowi jadi 41%. Bakamla lewat Menko Polhukam bilang, kapal pengawas kurang cuma punya 3 biji. Lalu ditambah sekarang jadi 30 biji.

Tetapi yang lebih penting dari itu semua, apakah pencurian ikan oleh kapal asing sudah turun? Kira-kira seperti analogi: polisi menembak kaki seorang kriminal tindak pencurian. Maksudnya agar ada efek jera dan pesan sampai kepada calon-calon kriminal lain. Tetapi kalau sebentar-sebentar menembak kaki kriminal itu lantas angka tindak pencurian tidak menurun, artinya ada yang salah dalam penerapannya. Nah, ukuran untuk menentukan drajat pencurian ikan oleh kapal asing harus disepakati bersama. Apa ukuranya? Jika sudah dipublikasikan ke masyarakat. Ini lho, data kapal asing penangkap ikan yang tak memiliki izin sudah pada kabur setelah beberapa kapal ditenggelamkan. Mau kapal besar diatas 100GT atau hanya sampan perahu, mau hanya 1 kapal atau 100 kapal yang ditenggelamkan bukan itu ukurannya. Tapi, apakah kapal-kapal asing yang ilegal itu sudah pada kapok mencuri ikan di perairan Indonesia.

Saya katakan cara, karena ada cara lain yang sudah dijalankan dan pengaruhnya justru lebih signifikan. Yakni moratorium perizinan hingga April 2015. Baru satu bulan dikeluarkan moratorium dari pantauan sekitar 984 kapal asing di wilayah ZEEI, kini hanya tersisa 163 kapal lagi. Tapi, harus diperiksa lagi, kenapa mereka pada kabur? Jangan-jangan sedang menghadapi musim penghujan dan agin muson dimana banyak kapal tidak melaut karena badai.

Cara lain masih banyak. Misalnya menjatuhkan vonis denda hingga Rp 5 miliar. UU Perikanan hanya menyebut denda maksimal Rp 20 miliar. Nyatanya kasus-kasus pencurian ikan yang divonis rata-rata dibawah Rp 1 miliar. Ini sudah masuk ke soal mafia peradilan. Pengakuan hakim-hakim adhoc peradilan perikanan bilang kalau mereka sering didatangi para jendral berbintang tiga, anggota DPR, pemilik Bank atau pengusaha besar untuk meringankan vonis. Belum lagi ditingkat penuntut yang bisa memilih pakai KUHP atau UU Perikanan. Pidana denda KUHP lebih rendah ketimbang UU Perikanan.

Tetapi siapa yang dapat melindungi para hakim ini dari intervensi para mafia. Menteri saja bisa diteror. Makanya sebelum Menteri Susi mengambil tindakan tegas, dia minta kepada Presiden agar dilindungi dari intervensi. Ini bukan cerita khayal, pengakuan Menteri Fadel Muhammad yang pernah diteror oleh para mafia itu. Kalau para mafia itu dapat mengancam Menteri, dapat dibayangkan seberapa kuat pengaruhnya dengan backing.

Baru-baru ini terjadi aksi demo nelayan di Sumatera Utara yang menolak kebijakan pemerintah memberlakukan pelarangan alih muat hasil tangkapan di tengah laut. Dan mewajibkan menggunakan VMS di kapal. Padahal kebijakan ini berlaku untuk kapal diatas 30 GT. Apakah nelayan-nelayan tradisional mampu memiliki kapal diatas 30GT.Harganya saja sekitar Rp 1,5 miliar per biji. Hanya pengusaha perikanan (yang menyatakan diri sebagai nelayan tradisional) mampu memiliki kapal seharga Rp 1,5 miliar itu. Sebagai tameng, nelayan-nelayan tradisional disuruh demo menolak kebijakan tersebut. Pengalaman saya, mendampingi kelompok nelayan tradisional untuk membeli kapal bagan dengan jaring angkat seharga Rp 80 juta harus patungan dan dilakukan secara berkelompok. Apalagi harus memiliki kapal seharga Rp 1,5 miliar. Seperti mimpi saja, kecuali ada hibah atau bantuan dari pemerintah.

Nah, jika dari pelbagai cara kapal-kapal asing yang hendak mencuri ikan itu sudah pada kabur, lantas apa? Ibarat pekarangan rumah Indonesia ditumbuhi banyak buah mangga, setelah para maling mangga dapat dihalau, lantas apa? Diminta nelayan-nelayan kita mengambil ikan itu, teknologi kapal tak sanggup. Ibarat tak punya tangga atau galah untuk mengambil mangga itu. Harta berupa ikan yang bernilai tinggi berada di perairan ZEEI yang jaraknya 200 mil dari garis pangkal. Sedangkan 90% armada laut kapal nelayan Indonesia paling jauh hanya 30 mil atau masih disekitar zona tambahan.

Kalau kekayaan laut tidak bisa dijangkau oleh nelayan-nelayan kita, bagaimana mungkin negara dapat meningkatkan devisa dari hasil tangkapan itu. Target Kementrian Kelautan dan Perikanan atas PNBP dari Rp 250 miliar menjadi Rp 1,25 triliun tahun 2015, bagaiman cara mendapatkannya. Karena daerah itu kosong tak berpenghuni karena nelayan kita tak menjangkaunya, para pencuri ikan masuk lagi.

Dari mantan Menteri Rochmin Dahuri sampai pengamat perikanan bilang, pemerintah harus membantu nelayan dengan memodernisasi armada kapal dan alat tangkap. Lha, kan sudah dilakukan. Ada 1000 kapal yang seharga Rp 1,5 miliar per biji itu dibagikan kepada nelayan. Terus ? Ya, dikorupsi lagi. Dari realisasi bantuan KKP pada tahun 2010 tercatat sekitar 500an kapal yang tertulis. Nyatanya hanya 200an kapal yang diterima nelayan. Itupun peralatan tidak lengkap. Ujung-ujungnya kapal tidak bisa beroperasi bahkan dibeberapa tempat ditenggelamkan jadi rumpon. Sementara Satgas Mafia dan KPK belum memasukan pemberantasan mafia perikanan sebagai prioritas pemberantasan korupsi.

Jadi fokusnya pada peningkatan pendapatan negara lewat sektor perikanan. Meningkat 2x lipat pada tahun 2015 mendatang saja sudah syukur. Ya, minimal bisa imbang lah antara pengeluaran dengan pendapatan di KKP. Anggaran negara untuk KKP yang setiap tahun meningkat hingga Rp 18 triliun, masa PNBP hanya Rp 250 miliar. Pantas saja, Menteri Susi yang memang berlatarbelakang pengusaha geram. Ini bukan lagi tekor tapi mendekati bangkrut kalau dilihat dari prespektif bisnis.

Untuk mencapai meningkatnya pendapatan negara itu ditempuh salah satunya menyikat para maling ikan di laut. Untuk memberantasnya, salah satu caranya (sekali lagi hanya salah satu cara), tenggelamkan kapal kriminal itu. Jika sudah banyak kapal ditenggelamkan entah yang besar atau kecil, pendapatan negara dari sektor perikanan laut tidak beranjak naik, masa harus melakukan tindakan menenggelamkan kapal terus menerus. Itu hobi namanya.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun