Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Ibu bukan Mother's Day

22 Desember 2014   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sejak kapan peringatan tanggal 22 Desember telah kehilangan maknanya. Ditandai dengan pelbagai kegiatan dan ucapan. Di sekolah-sekolah diadakan lomba peragaan busana tradisional. Para siswi mengenakan kebaya. Lomba memasak juga turut meramaikan. Dan ucapan kepada ibu (sendiri) menyeruak. Memberi bingkisan dan kado istimewa kepada ibu dan istri. Membebastugaskan istri dari kegiatan domestik rumah tangganya. Pada pokoknya, pada hari itu (22 Desember), ibu menjadi sosok yang istimewa.

Saya bukan hendak mengecilkan penghormatan terhadap ibu. Tetapi apa guna penghormatan itu jika hanya terjadi setahun sekali. Tak ubahnya seperti peringatan hari ulang tahun ibu sendiri. Dalam tradisi ketimuran yang saya yakini, penghormatan kepada ibu berlangsung selama hayat masih dikandung badan. Setiap saat, setiap waktu. Mungkin (sekali lagi mungkin) bagi tradisi masyarakat di Amerika Serikat, penghormatan pada ibu memang berlangsung hanya setahun sekali. Dirayakan pada hari minggu di pekan kedua bulan Mei. Hal itu tidak salah. Sebab anak perempuan Anna Jarvis menetapkan tanggal wafat ibunya sebagai Mother’s Day. Seorang ibu yang menginisiasi gerakan untuk menyatukan kembali keluarga-keluarga yang tercerai berai akibat perang saudara di Amerika. Bila kemudian anak-anak Amerika memberi penghormatan khusus pada ibunya pada hari itu, tak ubahnya seperti penghormatan anak perempuan Anna Jarvis pada ibunya. Lalu mengapa tradisi itu justru masuk dalam masyarakat Indonesia setiap tanggal 22 Desember?

Padahal tanggal 22 Desember 1928 bukanlah Kongres ibu-ibu atau Kongres para istri. Hari itu berlangsung Vrouwencongres (Kongres Perempuan). Fokusnya perempuan, perempuan dan perempuan. Perempuan lebih bermakna inklusif, sebaliknya Ibu lebih eksklusif. Bila setiap tanggal 22 Desember hanya ditujukan secara eksklusif kepada ibu, bagaimana perempuan yang belum berstatus sebagai ibu?Bahkan bila melihat status, Ketua Pelaksana Kongres saat itu, Soejatin (Poetri Indonesia)statusnya nona, belum menikah dan belum menjadi ibu atau istri.

Agenda dan rekomendasi kongres terarah pada isyu perempuan secara umum. Termasuk ibu, istri dan nona. Tidak ada hubungannya dengan kerja-kerja domestik kaum perempuan di rumah tangga. Tak ada hubungannya dengan peragaan busana, dan lomba masak-memasak. Point utamanya di setiap kongres Perempuan sejak tahun 1928 adalah Perjuangan kaum perempuan. Perjuangan melawan kebijakan kolonialisme, perjuangan melawan budaya patriarki yang berdiri di atas nilai-nilai feodal, perjuangan akan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan dalam melaksanakan kongres itu sendiri.

Perjuangan itu ditampakan dengan tuntutan dan rekomendasi. Menuntut diberikan beasiswa bagi siswa perempuan; memberikan tunjangan kepada para janda; mendirikan kursus pemberantasan buta huruf. Perjuangan yang menuntut pemberantasan perdagangan perempuan dan anak; menghapuskan kawin paksa, pergundikan dan perkawinan anak dibawah umur. Pejuangan untuk dapat mejadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Perjuangan untuk membela buruh perempuan di pabrik batik Lasem. Perjuangan untuk meneriakan yel “Merdeka, Sekarang !”, ditengah penjagaan polisi Belanda yang hendak membubarkan Kongres. Perjuangan yang menuntut agar Bung Karno dibebaskan setelah ditangkap di Yogyakarta. Perjuangan Raden Ayu Siti Sundari (istri Muhammad Yamin) yang harus terbata-bata berpidato menggunakan bahasa Indonesia. Hanya untuk menunjukan rasa nasionalismenya. “Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak.Kata Sundari lewat pidatonya berjudul “Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”.

Perjuangan seperti Ina Tuni yang harus berhari-hari pulang pergi menggunakan kapal laut dari Ambon ke Mataram (sekarang bernama Yogyakarta) hanya untuk menghadiri Kongres. Perjuangan para ibu dan istri yang harus meninggalkan suami dan anak di rumah hanya untuk mengikuti Kongres. Delegasi kongres yang dihadiri sekitar 1000 orang dari 30 perkumpulan tinggal bersama kerabat atau kerabat panitia. Tidak di hotel atau societiet (gedung bola). Fasilitas dan peralatan kongres dipinjam dari Aisyiyah dan perguruan Taman Siswa. Cukup kursi dan meja kayu bertaplak hijau. Peserta dengan kesederhanaan berkebaya, berselendang, atau berkerudung (tidak bercelana panjang). Duduk sejajar dengan undangan lain dari organisasi pergerakan seperti: Boedi Oetomo, PNI, Partai Syarikat Islam, dan Muhammadiyah.

Sebagaimana penuturan Nn. Sujatin, salah seorang inisiator kongres, “Perjuangan kemerdekaan dan perbaikan hak serta nasib wanita menjadi titik utama dalam hidupku sebagai orang muda... Di bulan Oktober 1928, tepatnya tanggal 28, diadakan Sumpah Pemuda... Pada saat itu pulalah timbul sebuah hasrat di antara kami kaum wanita muda, mengadakan sebuah pertemuan antar-wanita se-Indonesia demi persatuan nasional,”. Pada dasarnya delegasi /peserta kongres menyuarakan hal yang sama: Perempuan harus maju; perempuan tidak boleh diperdagangkan; perempuan bebas bekerja; perempuan berhak terdidik; perempuan berhak terampil; perempuan berhak tolak poligami danberhak tolak perkawinan dibawah umur.

Salam Kompasiana.

Sumber Bacaan:

Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Kongres Perempuan Indonesia sebuah Gerakan Perempuan 1928 - 1941

Hari Ibu

Hari Ibu 22 Desember Pidato Putri Solo Memukau

Perempuan Bersahaja 1928

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun