[caption id="attachment_391681" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Joko Widodo mengumumkan menunda melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015) malam. Sebagai gantinya, Jokowi menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas sebagai Kapolri. (KOMPAS.com/INDRA AKUNTONO)"][/caption]
Seperti sudah diketahui umum, pada 16 Januari 2014 pukul 20.15 WIB, Presiden Joko Widodo mengumumkan Jendral Pol Sutarman diberhentikan dari jabatannya sebagai kapolri. Presiden mengumumkan hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (maaf saya belum membaca salinan Keputusan Presiden tersebut). Dari pemberitaan di media massa, Jendral Sutarman diberhentikan dengan hormat. Seperti yang diucapkan Presiden Joko Widodo "Tadi sore saya tanda tangani tersebut. Pertama tentang pemberhentian terhormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri," ujar Jokowi (sumber). Secara sekilas, tidak ada masalah apa pun atas teks tersebut. Namun, dalam konteks hukum tata negara, pilihan frasa yang tertuang dalam produk hukum seperti Keputusan Presiden tidak bisa dianggap suatu yang biasa saja. Saya menyoroti penggunaan frasa “pemberhentian dengan hormat”.
Dalam aturan hukum tata negara, penggunaan frasa “diberhentikan”, “diberhentikan dengan hormat”, “diberhentikan dengan tidak hormat”, dan “diberhentikan sementara” memiliki akibat-akibat hukum sendiri. Hukum tata negara yang dimaksud adalah Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 2/2002) dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut PP 1/2003).
Menurut pendapat saya, Keputusan Presiden itu keliru dan tidak tepat! Dengan menuliskan frasa “diberhentikan dengan hormat”. Pasal 11 ayat 1 UU 2/2003 berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Tidak ada penambahan kata “dengan hormat”. Kata “diberhentikan” khusus ditujukan pada kapolri sebagai jabatan tertinggi di Kepolisian RI. Sebab atau alasan seorang kapolri diberhentikan adalah hak Presiden sepenuhnya. UU 2/2003 tidak mengaturnya, alasan-alasan pemberhentian seorang kapolri. Akibat hukumnya, seorang yang telah diberhentikan tidak lagi memiliki tugas dan wewenang sebagai kapolri.
Frasa “diberhentikan dengan hormat” terdapat dalam Pasal 30 ayat (1) berbunyi “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat”. Artinya frasa “diberhentikan dengan hormat” melekat pada anggota Polri. Siapakah anggota Polri itu? Pasal 1 angka 2 menyebutkan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Sedangkan alasan-alasan anggota Polri dapat diberhentikan dengan hormat merujuk pada Pasal 2 PP 1/2003. Yakni: (a) mencapai batas usia pensiun; (b) pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas; tidak memenuhi syarat jasmani dan/atau rohani; dan (d) gugur, tewas, meninggal dunia atau hilang dalam tugas. Tentang batas usia pensiun tertuang dalam Pasal 3 PP 1/2003, yaitu maksimum 58 tahun yang berlaku untuk semua golongan kepangkatan. Akibat hukumnya, seorang yang telah diberhentikan dengan hormat, tidak lagi menyandang status sebagai anggota Polri.
Pertanyaannya: apakah Jendral Sutarman diberhentikan dengan hormat sebagai Kapolri atau sebagai anggota Polri? Bila merujuk pada opini umum, bahwa Jendral Sutarman telah memasuki usia pensiun, artinya dia diberhentikan dengan hormat sebagai anggota Polri bukan sebagai Kapolri. Dikaitkan dengan Keputusan Presiden di atas, memang Presiden berwenang memberhentikan anggota Polri untuk pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) atau yang lebih tinggi (vide Pasal 15 huruf a PP 1/2003). Tak terkecuali Kapolri yang berpangkat Jendral.
Lalu, jika dikaitkan dengan alasan pemberhentian dengan hormat sebagai anggota Polri, Jenderal Sutarman genap berusia 58 tahun, nanti di bulan Oktober 2015 atau memasuki usia pensiun. Jadi alasan Jenderal Sutarman telah masuk usia pensiun tidak dapat terpenuhi untuk diberhentikan dengan hormat sebagai anggota Polri. Pengecualiannya ada dalam Pasal 6 ayat (1) PP 1/2003 berbunyi “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri sebelum mencapai batas usia pensiun maksimum dapat diberhentikan dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Dengan konstruksi norma hukum di atas, Jenderal Sutarman mengundurkan diri dari dinas kepolisian sehingga menjadi dasar keluarnya Keputusan Presiden tentang Pemberhentian dengan hormat. Karena alasan pemberhentian dengan hormat yang disebut dalam Pasal 2 PP 1/2003, opsinya yang masuk akal hanya mengundurkan diri (atau permohonan berhenti atas permintaan sendiri).
Namun demikian, seluruh norma yang termuat dalam PP 1/2003 secara umum ditujukan pada anggota Polri, bukan untuk jabatan Kapolri. Karena PP 1/2003 turunan teknis dari Pasal 30 ayat (3) UU 2/2002 dalam Bab Anggota Polri.
Ringkasnya, Presiden tidak bisa memilih frasa “pemberhentian dengan hormat” pada jabatan kapolri. Cukup dengan kata “diberhentikan”, tanpa ada tambahan kata “dengan hormat”. Apa alasan-alasan pemberhentian itu, aturan hukum tidak mengaturnya. Semua kembali kepada hak Presiden secara penuh. Berbeda dengan anggota Polri, secara teknis prosedural, pemberhentian dengan hormat diatur dengan jelas.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H