Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hantu Itu Bernama Pemakzulan Presiden

18 Januari 2015   02:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap terjadi peristiwa politik yang menghebohkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditakut-takuti dengan hantu yang bernama pemakzulan. Karena kebiasaan menonton acara televisi bertema hantu, ketakutan itu makin menjadi-jadi. Lalu direkonstruksilah sosok hantu yang menyeramkan itu. Orang-orang yang meyakini adanya hantu itu, jadi kerasukan sendiri. Bicara tidak beraturan dan sesuka hati. Seolah-olah hantu yang bernama pemakzulan sudah ada didepan pintu. Anehnya, orang yang percaya hantu itu justru datangnya dari kaum terpelajar. Dari politisi di senayan sampai dengan orang yang mengatasnamakan dirinya pengamat politik. Beginilah kalau orang sudah kerasukan. Hanya ilusi yang menjadi pedomannya.

Seperti yang dialami oleh Tjipta Lesmana. Orang yang menyatakan diri sebagai akademisi dan pemerhati komunikasi politik. Tjipta menanggapi penolakan (bahasanya ditunda) pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Padahal sang calon sudah mendapat persetujuan dari DPR. "DPR tahu kalau persetujuan terhadap Budi Gunawan ditolak Presiden, itu dasar kuat untuk pemakzulan terhadap Presiden," ujarnya (sumber). Dia mengatakan, jika Jokowi menghentikan niatannya untuk melantik Budi sama halnya dengan melecehkan parlemen. Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi III asal fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman mengatakanjika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka hal itu dapat menjadi pintu masuk bagi pemakzulan presiden."Itu bisa jadi pintu masuk karena presiden akan dianggap melanggar sumpah jabatan, presiden bisa dianggap melanggar konstitusi karena mengangkat seorang berstatus tersangka korupsi menjadi Kapolri," ujarnya (sumber).

Ketakutan yang sama juga merundung Feri Amsari, Koordinator Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Dia mengatakan Jika Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan, oposisi akan memanfaatkannya sebagai langkah awal menurunkan Jokowi.Pengajuan tersangka kasus korupsi sebagai Kapolri jelas bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara terutama asas professional dan akuntabilitas. "Ketidak-profesionalan dan tidak akuntabel tersebut dapat menggiring Presiden melanggar konstitusi terutama syarat pelanggaran hukum dan perbuatan tercela sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD 1945. Pelanggaran Presiden terhadap ketentuan tersebut dapat menggiring kepada proses pemakzulan. Itu sebabnya dalam pengajuan calon Kapolri kali ini, Presiden harus mewaspadai persetujuan DPR. Jangan sampai persetujuan DPR itu adalah langkah untuk memakzulkan Presiden," urai dia panjang lebar (sumber).

Khawatir boleh saja namun menakut-nakuti Presiden dengan hantu pemakzulan tanpa dasar argumen yang jelas, sama saja omong kosong. Omongan orang yang kerasukan dengan hantu yang dibuatnya sendiri. Saya tidak akan menanggapi pernyataan Tjipta Lesmana, sebab dia bicara tanpa dalil dan argumen yang jelas. Beni K. Harman yang katanya paham hukum sekalipun, masih bicara seperti orang kerasukan. Menurutnya, alasan pemakzulan karena Presiden melanggar konstitusi. Jelasnya melanggar sumpah jabatan. Entah konstitusi mana yang dimaksud. Mungkin konstitusi negara lain. Jika dia baca baik-baik konstitusi Indonesia yang bernama UUD 1945, pelanggaran yang dimaksud termaktub dalam pasal 7A. Perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran konstitusi secara terang dan tegas diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Tidak ada yang namanya “melanggar sumpah jabatan”. Mungkin saudara Beny K Harman terlampau sibuk dan konsen pada Pilkada, jadi fokusnya pada kepala daerah. Benar, Kepala daerah dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan. Nah, kalau Presiden? Tidak ada kata dan frase pun dalam Pasal 7A yang menyebut “melanggar sumpah jabatan”.

Dari seluruhnya, pernyataan Feri Amsari masih masuk akal. Dengan memberi argumen “perbuatan tercela”. Lalu apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela itu? Perundang-undangan hanya memberikan pengertian umum tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang sedemikian rupa merendahkan martabat dan kedudukan seorang presiden (videPasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Namun demikian rumusan apapun perbuatan melanggar hukum dalam pasal 7A, secara keseluruhan dikatagorikan sebagai tindak pidana. Pertanyaan lanjutannya adalah: apa saja perbuatan tercela yang masuk katagori tindak pidana?Diantaranya tindak pidana mabuk ditempat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 492 KUHP. Meskipun delik tindak pidana ini adalah pelanggaran ringan. Namun bisa merendahkan martabat dan kedudukan seorang presiden. Sedangkan tafsir Feri Amsari atas frase “perbuatan tercela” merujuk pada ketentuan hukum tata negara yakni yang dia sebut bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara terutama asas professional dan akuntabilitas. Padahal rumusan Mahkamah Konstitusi secara gamblang menyatakan bahwa frase “perbuatan tercela” masuk dalam katagori tindak pidana.

Dengan merujuk pada Pasal 1 angka 10 Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009 yang mengelaborasi perbuatan melanggar hukum dalam Pasal 7A UUD 1945, secara keseluruhan dikatagorikan tindak pidana berat. Dapat dilihat pada semua rupa perbuatan itu: pengkhianatan terhadap negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela. Artinya secara keseluruhan, Presiden dapat dimakzulkan jika terbukti melakukan tindak pidana berat termasuk perbuatan tercela.Satu-satunya perbuatanyang tidak masuk dalam katagori pidana berat hanya “terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden”. Untuk hal terakhir ini, bila Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagaiman Pasal 6 UUD 1945.

Ringkasnya, apakah Jokowi yang mengabaikan persetujuan DPR atas pencalonan Komjen Budi Gunawan, dianggap melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana berat atau melanggar Pasal 6 UUD 1945? Sebaliknya, apakah Jokowi yang melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, juga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana berat atau melanggar Pasal 6 UUD 1945?

Harap dipahami Pasal 7A dan 7B UUD 1945 ditambahkan (adendum) dengan latarbelakang peristiwa pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid. Sejak tahun 2001, pemakzulan tidak dapat lagi dengan alasan-alasan politik. Namun harus didasari dengan alasan-alasan hukum yang menyertainya. Bila dahulu DPR dan MPR yang dapat menjatuhkan seorang Presiden dengan alasan-alasan politik, maka sejak tahun 2001, hanya Mahkamah Konstitusi yang dapat memutuskan apakah seorang Presiden dianggap telah melanggar hukum (konstitusi). Oleh karena itu, alasan-alasan hukum lah yang harus dikedepankan. Akan halnya DPR akan menggunakan hah-haknya berupa intepelasi, angket dan menyatakan pendapat, hanya satu bagian atau tahap awal saja. Bukan pemutus dari tiga proses yang harus dilalui hingga sampai pada pemakzulan.

Bahwa kehebohan saat ini, akan mendorong DPR menggunakan hak-haknya, seperti yang digertak oleh Desmon (Gerindra) dengan hak interpelasi, bisa jadi dapat terlaksana. Walaupunprosesnya tidak mudah. Namun, untuk sampai pada pemakzulan jauh panggang dari api. Atau apa yang saya sebut diatas seperti menciptakan hantu dipikiran sendiri.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun