Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Publik Dikecoh Politisi

20 Januari 2015   16:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, semua fraksi di Komisi II DPR menyatakan setuju untuk menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu 2 Tahun 2014 untuk disahkan menjadi undang-undang. Rapat mini fraksi Komisi II DPR dan pemerintah berlangsung, kemarin 19/1/2015 sore. Hari ini (20/1/2015) akan digelar rapat paripurna DPR untuk mengesahkan kedua perppu ini menjadi undang-undang (sumber). Melihat jalannya proses rapat di Komisi II, diperkirakan tidak ada perdebatan berarti dalam rapat paripurna. Sebab 10 fraksi satu suara menyatakan setuju. Persetujuan DPR untuk menggunakan sistem pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD.

Perbedaan pandangan antar fraksi dalam komisi II kemarin, hanya menyangkut beberapa hal teknis dan prosedural. Diantaranya tentang uji publik, redaksi dalam pasal 40, penetapan jadwal pilkada serentak tahun 2015, penyelesaian sengketa di Mahkamah Agung dan syarat calon kepala daerah. Sembilan fraksi diluar partai Demokrat setuju, revisi hal-hal tersebut akan dilakukan setelah perppu disahkan menjadi undang-undang (sumber). Namun, apapun usulan revisi dan perbedaan pandangan antar fraksi itu, semua fraksi setuju pilkada menggunakan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Apa pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa politik ini?

Pertama, politik itu dinamis. Praktek politik yang dimainkan oleh politisi bukanlah harga mati, kaku, pasti, dan permanen. Awam menyatakan tindakan macam ini dianggap inkonsisten, munafik dan menjilat ludah sendiri. Pada dasarnya konsistensi dalam politik adalah inkonsistensi itu sendiri. Sehingga ukuran norma hukum atau norma sosial (kepatutan) tidak dapat disangkutkan pada praktek politik yang tengah dimainkan oleh politisi. Faktanya, semua fraksi satu suara. Bukan hanya pada persetujuan perppu pilkada menjadi undang-undang namun barusan saja terjadi, satu suara pada persetujuan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Tidak ada lagi kubu KMP atau KIH. Tidak ada lagi yang pro Jokowi, pro SBY atau pro Prabowo. Fakta dalam minggu ini, semua itu mencair. Publik telah dikecoh dengan permainan politisi. Anggota DPR yang dalam empat bulan lalu bersitegang dalam dua kubu yang diametral, kini satu suara, berangkulan, dan satu pandangan. Karena satu kepentingan. Sementara masyarakat diluar lingkaran itu masih saja terpolarisasi dengan ikutan kubu-kubuan. Bagaimana tidak aneh, jika sang pencipta dua kubu itu saling berangkulan sementara followers dan jamaah masih bersitegang mempertahankan posisi masing-masing. Bukankah publik sudah dikecoh dan dipermainkan ?

Kedua, pernyataan politik yang dikemukakan politisi tidak dapat diartikan suatu yang pasti, lurus, dan benar. Pernyataan politik selalu bermakna banyak, tersurat dan penuh tendensi. Masih ingatkah kita pada perdebatan tentang Pilkada langsung dan lewat DPRD? Pernyataan politik itu diartikan suatu argumen yang pasti. Berhamburan dalil dan alasan pembenar yang menyertainya. Dari argumen konstitusi, alasan filosofis sila keempat Pancasila sampai pertimbangan teknis teknokratis hanya untuk menyatakan bahwa Pilkada lewat DPRD adalah suatu yang benar. Naifnya, dari para pengamat politik, netizen sampai warga biasa mengamininya dan memperkuat dalil-dalil itu. Lalu bagaimana dengan kejadian sekarang? Politisi senayan sang pengarang cerita itu telah mencampakan argumen-argumen yang pernah dikemukakan sebelumnya dengan menyetujui Pilkada langsung oleh rakyat.Bagaimana dengan followers dan jamaah mencantolkan pegangannya? Tetap bersikukuh pada argumen sebelumnya, sedangkan sang pembuat dogeng sudah mencampakannya. Inkonsistenkah politisi itu? Tidak !. Karena sekali lagi, konsistensi dalam panggung politik adalah inkonsistensi itu sendiri. Pelajaran pentingnya: pernyataan politik entah itu bernama argumen atau dalil tidak dapat dijadikan pedoman yang pasti. Kita akan kecewa nantinya, jika sang pendongeng itu ingkar atas ucapannya dikemudian hari.

Hari-hari mendatang, peristiwa-peristiwa politik akan terus berlangsung dan akan terjadi terus menerus. Sikap yang sebaiknya diambil mengisyaratkan dua hal seperti pelajaran di atas. Tidak ada pro dan kontra, tidak ada kubu permanen dalam dunia politik. Semua bisa mencair dan tercipta polarisasi baru. Pro dan kontra hanya berlandaskan titik persinggungan kepentingan. Jika satu kepentingan, bersatulah, sebaliknya jika kepentingan tak terakomodir, bersebranganlah. Kepentingan umum politisi hanya dua: uang dan tahta. Lalu, para jamaah yang terlanjur ikutan dalam polarisasi itu, apa yang diperoleh? Uang tidak, jabatan apa lagi. Tak terkecuali orang yang mengatasnamakan dirinya pengamat politik yang kerap menadapat sorotan kamera. Bisa dapat uang, dari honor narasumber talkshow di televisi. Lebih jauh lagi, sedang mempromosikan diri sebagai ahli, semoga saja bisa ditarik menjadi staff ahli di pemerintahan.

Demikian pula dengan pernyataan politik yang dikemukakan oleh politisi.Tidak ada kepastian dan kebenaran dari apa yang diucapkan. Dalam permainan politik, lazim menggunakan taktik “polisi baik – polisi jahat”. Ada orang-orang tertentu yang disengaja membuat pernyataan tolol, blunder, kontroversial demi memancing dan mengumpan. Sebaliknya, ada yang menggunakan dalil-dalil moral dan norma sosial. Pada konteks ini, semua argumen itu mengubah dalil menjadi dalih. Pointnya, apapun yang diucapkan oleh politisi, patut dicurigai motif dibalik ucapannya. Tidak bisa dia dihukum dengan stigma tolol atau alim. Karena pada dasarnya semua politisi itu cerdik (seperti kancil). Cerdik bukan berarti cerdas. Kenyataan politik seperti dunia hantu. Ada tapi tak kasat mata. Suatu pernyataan politik di media massa bagaikan sekelebat bayangan hantu yang kasat mata. Tidak merepresentasikan kenyataan yang sesungguhnya. Perdebatan yang lahir dari sumber kasat mata, bagaikan 7 orang buta mencirikan gajah.

Sebagai kompasioner, menulis adalah bagian dari menyatakan pendapat. Berada dalam dunia sendiri yang beranggotakan ribuan orang. Dalam dunia ini, pendapat yang dikemukakan berharap dapat mempengaruhi opini, sebatas ruang dunia blog Kompasiana atau lebih jauh dibagi ke jamaah di media sosial lain. Hanya saja pendapat itu tidak bisa asal jiplak dan copas pada pernyataan politik yang dikemukakan politisi dan dimuat di media massa. Bagaimana tidak, jika pernyataan politik yang dijiplak menjadi tulisan berasal dari ucapan politisi yang tolol, dianggap suatu kepastian dan kebenaran. Padahal bisa jadi dia sedang memerankan sebagai tokoh antagonis yang tolol, bukan tolol beneran.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah jangan mudah terkecoh dan tertipu oleh permainan politik politisi. Itu saja !

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun