Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Lahirnya Watimpres

21 Januari 2015   00:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:43 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin, 19 Januari 2015, Presiden Joko Widodo melantik sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Seperti biasa, peristiwa yang bersangkutpaut dengan Presiden Joko Widodo mendapat perhatian. Kali ini fokusnya tertuju pada Wantimpres. Beberapa komentar, tanggapan dan tulisan bertema Watimpres mulai bermunculan. Tulisan ini tidak akan masuk pada gelanggang perdebatan perihal anggota Watimpres yang baru saja dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Tulisan ini akan memberi laporan (reportase) sekilas perihal kelembagaan yang bernama Watimpres.Dengan pertanyaan mendasar, apa yang melatarbelakangi lahirnya Watimpres?

Watimpres pertama kali dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007. Nomenklatur Watimpres diambil dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 28 Desember 2006. Anggota Watimpres dilantik pertama kali pada 10 April 2007 dengan Ali Alatan sebagai Ketua (sumber). Dalam konsideran UU 19/2006 menggunakan dasar Pasal 16 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”. Melihat sejarahnya, Pasal 16 UUD 1945 yang aslitentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) masuk dalam Bab IV. Setelah amandemen ke empat UUD 1945 tahun 2002, Pasal 16 isinya berubah. Dan Pasal 16 dimasukan kedalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dari konstruksi konstitusi, Watimpres berada dibawah kelembagaan kepresidenan. Wantimpres berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.Sedangkan DPA (sebelum dihapus) adalah lembaga negara yang posisinya sejajar dengan lembaga kepresidenan.

Dengan membandingkan dua kelembagaan itu memiliki fungsi yang sama: memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden. Perbedaannya, Watimpres secara tegas disebut “bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan”. Sedangkan Pasal 16 ayat (2) yang lama disebut “berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Pertanyaannya, mengapa DPA dihapus dan digantikan dengan Watimpres?

Perdebatan dan pembahasan di MPR tentang apakah DPA akan dihapus atau tetap dipertahankan, sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR perubahan pertama tahun 1999. Tepatnya sejak sidang Panitia AdHoc III MPR tanggal 7 Oktober 1999. Pembahasan itu terus berlanjut pada SU MPR tahun 2000, 2001 hingga terakhir tahun 2002. Keputusan akhir terjadi pada saat Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR Ke-5, 9 Agustus 2002. Itupun hingga 19 Juli 2002, belum ada kata putus: apakah DPA dihapus atau tetap dipertahankan. Menilik dari rangkaian waktu, pembahasan tentang DPA bisa dikatakan panjang. Pada tahun 1999 saja, pembahasan berlangsung dari tanggal 7 Oktober hingga 10 Desember 1999. Ada sekitar sembilan kali sidang lebih pembahasan dilakukan. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2000, 2001 hingga 2002.

Melibatkan banyak unsur. Tentunya semua fraksi di DPR hasil Pemilu 1999 ditambah utusan daerah, utusan golongan fraksi TNI. Seluruh anggota DPA yang saat itu diketuai olehAchmad Tirtosudirohadir ikut memberi pandangan. Para ahli hukum tata negara seperti Sri Sumantri, Ismail Sunny, Harun Al Rasyid dan Jimmly Assidiqie turut serta termasuk pakar politik Affan Gafar. Pun demikian Lemhanas memberikan hasil study dan kertas kerjanya. Para pelaku sejarah seperti Ruslan Abdul Gani, ikut dimintakan pendapat. Lembaga negara lain juga diundang seperti: Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Lemhannas, dan Wantannas. Khususnya pada tahun 2000 dan 2001, anggota PAH III MPR melakukan kunjungan ke seluruh provinsi di Indonesia. Meminta pendapat akademisi, tokoh masyarakat dan aparatur pemerintahan. Hasil dari kunjungan ke daerah itu kemudian dilaporkan ke rapat dengan satu permasalahan tunggal: apakah DPA dihapus atau tetap dipertahankan. Tidak lupa, anggota PAH III MPR juga melakukan study banding ke luar negeri.

Pada saat itu terjadi dua polarisasi besar yang berimbang. Satu pihak tetap mempertahankan DPA, satu pihak ingin DPA dihapuskan. Dari dua polarisasi inilah, muncul alternatif “jalan tengah” dengan munculnya pelembagaan baru yang bernama Watimpres. Walaupun dalam Pasal 16 UUD 1945, tidak disebut nomenklatur itu, namun fungsinya hampir mirip dengan DPA.

Beberapa pandangan yang ingin DPA dihapuskan dengan mengajukan beberapa alasan. Selama ini (maksudnya sejak zaman Sukarno sampai Gus Dur), fungsi DPA tidak efektif. Apalagi pada era Suharto, DPA diplesetkan menjadi (Dewan Pensiuanan Agung). Tempat bermukim orang-orang buangan yang tidak disukai oleh Presiden. Atau pos untuk para mantan pejabat. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nasihat-nasihat DPA hampir tidak pernah digubris oleh presiden. Presiden tidak terikat dengan nasihat DPA. Padahal secara kelembagaan antara DPA dan Presiden setara, sama-sama lembaga tinggi negara. Sebagai lembaga tinggi negara, menjadi aneh pengangkatan dan pemberhentian anggota DPA dilakukan oleh Presiden. Sehingga secara kultural ada hambatan psikologis buat mereka memberi nasehat kepada Presiden.

Harun Al Rasyid mengatakan bahwa DPA itu warisan belanda. Dengan mengutip ucapan Soepomo bahwa DPA itu tidak diperlukan. Dulu namanya Raad van Nederlandsch-Indie. Karena lembaga negara yang ada dalam UUD 1945, sebagian besar hanya meniru warisan kolonial belanda. Seperti Gouverneur General menjadi Presiden; Raad van Gouverneur General menjadi Wakil Presiden; Algemene Reken Kamer menjadii BPK; Volksraad menjadi DPR; Hogerechthoft menjadi Mahkamah Agung dan Raad van Indie menjadi DPA. Raad van Nederlandsch-Indie bertugamenyampaikan usul-usul Gouverneur Generaal (GubernurJenderal). Bahkan ternyata tugas dan kewenangan Raad van Nederlandsch-Indie justru lebih luas daripada DPA, karenadalam beberapa hal, Gubernur Jenderal harus mendengarnasihat-nasihat Raad van Nederlandsch-Indie tersebut.

Oleh karena itu DPA dizaman Soekarno hampir tidak pernah difungsikan. DPA pertama diketuai Radjiman Widiodiningrat hingga tahun 1949, keberadaannya tidak jelas. Periode berikutnya posisi DPA makin tidak jelas. Kondisi ini berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. DPA Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22 Juli1959. Ketuanya dirangkap oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul pada 1967 melalui UU No. 3 Tahun 1967 yang disahkan pejabat Presiden Soeharto.

Ruslan Abdu Gani menambahkan bahwa kekuasan DPA sebagai advisory power tidak jelas dalam kerangka trias politica. Satu bentuk pemisahan kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendapat lain menyatakan keberadaan DPA sama seperti dewan penasehatsistem pemerintahan negara-negara Eropa Kontinentaldi abad XVIII-XIX. Apa yang disebutLe Conseil d’Etat di Perancis.

Situasi pemerintahan Gus Dur (saat itu masih menjabat sebagai Presiden) tak luput dari evaluasi. Para peserta sidang PAH III MPR mengatakan Presiden Gus Dur lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan nasihat para ulama dan kyai yang sengaja datang khusus, ketimbang DPA. Jika demikian, apa pentingnya DPA bila kenyataannya Presiden lebih mendengar nasihat dari orang-orang yang dia percayai.

Sebaliknya, pihak yang ingin tetap mempertahankan DPA mengatakan bahwa jikapun ada kesalahan dimasa lampau, kedepan kinerja DPA yang ditingkatkan bukan dihapus.Untuk mempertegas hal itu, Pasal 16 tentang DPA direvisi tentang kejelasan fungsi dan tugasnya. Seperti ada kewajiban Presiden untuk mendengarkan nasihat dan pertimbangan DPA. Lebih spesifik dengan menambah satu ayat, yakni ayat (3) dalam Pasal 16 eloborasi saran dan pertimbangan apa saja yang harus dilakukan DPA. Diantaranya memberi saran terhadap penerbitan Perppu, PP, Keppres, rancangan APBN, pelaksanaan otonomi daerah, dan hak presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian.

Draft usulan seperti pasal 16 yang saat ini, muncul pertama kali pada tahun 2001. Oleh Ali Masykur Musa dari dari fraksi PKB. Usulnya Presiden dapat membentuk badan penasehat, yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden, sesuai dengan kebutuhan menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Namun demikian, belum ada kata putus.

Hingga Rapat Badan Pekerja MPR ke IB, 2 Oktober 2001, hanya menghasilkan dua usulan alternatif. Alternatif pertama Bab IV tentang DPA dihapus dan dimasukan ke Bab III dengan mengubah redaksi Pasal 16 dengan istilah “Badan Penasehat”, bukan seperti yang saat ini tertulis “dewan pertimbangan”. Alternatif kedua DPA tetap dipertahankan, dengan menambah satu ayat (3) dan merevisi ayat (2). Tetap saja belum ada kata putus. Pembahasan tetap berlanjut.

Hingga rapat PAH I BP MPR ke-3 tanggal 28 Januari 2002, perdebatan masih terus berlangsung. Tetap seperti itu hingga 19 Juli 2002.Berlanjut lagi pada tanggal 24 Juli 2002, saat Panitia Ad Haoc I Badan Pekerja MPR melaporkan rumusannnya. Tetap pada dua alternatif pilihan. Setelah melakukan serangkaian rapat, lobi dan rumusan tim politik, tim hukum, pada tanggal 8 Agustus 2002, Ketua Komis A Jakob Tobing membacakan laporannya. “Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan: (1) menghapus Judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta menempatkannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. (2) Pasal 16, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.”; (3)Bab IV Dewan Pertimbangan Agung dihapus.”Laporan tersebut akhirnya disahkan pada Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 ke-6 Lanjutan-2, 10 Agustus 2002, yang dipimpin oleh M. Amien Rais dengan agenda Pengesahan Rancangan Putusan MPR Hasil Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.

Salam Kompasiana.

Sumber tulisan:

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 EdisiRevisi. Buku ke IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I halaman 691- 897,terbitan Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun