[caption id="attachment_392987" align="aligncenter" width="600" caption="Bambang Widjojanto/Kompas.com"][/caption]
Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (panggilan akrab: BW) oleh Bareskrim Polri sarat dengan tendensi politik. Secara nalar penangkapan BW erat kaitannya dengan ditetapkannya Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap/gratifikasi oleh KPK. Bahkan saya secara tegas mengatakan penetapan BW sebagai tersangka adalah wujud kriminalisasi. Polri mencari-cari alasan hukum untuk memberi pembenaran atas tidakannya tersebut. Bisa jadi kesimpulan saya yang menjadi judul tulisan ini dianggap tidak valid, mengada-ada dan omong kosong. Oleh karena itu, saya akan paparkan argumen hukum hingga saya menarik kesimpulan di atas.Argumen ini, saya lepaskan dari konteks situasi politik yang mengitarinya.
Pertama, alasan formil, Surat Perintah Penangkapan Nomor Sp.Kap/ 07/ I / 2015 / Dittpideksus tanggal 22 Jan 2015 yang ditunjukan ke BW saat disidik berbeda dengan yang ditunjukan saat BW ditangkap di depan toko Ceriamart, Cimanggis, Depok pada pukul 7.30 tanggal 23 Januari 2015. Perbedaan itu tertera pada alamat tersangka. Saat ditangkap, BW ditunjukan surat penangkapan dengan alamat kelurahan Sukamaju, kecamatan Sukmajaya. Sedangkan saat disidik, surat penangkapan yang ditunjukan beralamat kelurahan Cilodong, kecamatan Sukmajaya. Kesimpulannya: ada kesengajaan pihak Polri mengubah surat perintah penangkapan. Lebih dari itu, alamat yang tertulis dalam surat penangkapan tersebut pun salah. Yang benar adalah Kelurahan Sukmajaya, kecamatan Cilodong. Dengan merujuk pada Pasal 18 ayat (1) KUHAP, identitas tersangka harus tertulis jelas. Dengan alamat tersangka yang kabur, Polri bisa dianggap melakukan tindakan salah tangkap. Hal ini dapat membuka peluang praperadilan.
Kedua, alasan formil tanggal daluwarsa surat penangkapan. Surat perintah penangkapan tidak mencantumkan tanggal daluwarsa atau masa berakhirnya. Padahal menurut Pasal 19 ayat (1) KUHAP, surat perintah penangkapan hanya dapat dilakukan paling lama satu hari.
Ketiga, proses penangkapan. Saat ditangkap, BW diborgol. Awalnya BW akan diborgol dengan tangan ke belakang.Karena BW mengenakan sarung kemudian borgol dengan tangan di depan. Ini tindakan berlebihan. Saat itu BW tidak sedang melakukan perlawanan atau ada indikasi melarikan diri. Seperti yang diterangkan saksi mata, Arta pemilik toko kelontong yang melihat peristiwa penangkapan BW (sumber).
Dalam keterangan BW saat disidik, dia mengatakan anaknya Izzhar Nabila (20) yang dibawa serta ditanya oleh anggota Polri identitas di sekolah yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perkara ini.
Keempat, alasan materiil Sprindik. Sebelumnya, saya uraikan sekilas perihal penyidikan. Melalui Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/53/I/2015/Dittipideksus tanggal 20 Januari 2015, BW disangka melakukan tindak pidana memberi keterangan palsu di bawah sumpah. Ketentuan yang dikenakan Pasal 242 KUHP Jo Pasal 55 KUHP. Dengan Sprindik itu, kantor Bareskrim Polri menunjuk empat orang penyidik AKBP Dani Arianto, AKP Nur Said, AKP Imam Suhodo dan AKP Hendro Sutrisno. Berdasarkan laporan tanggal 15 Januari 2015 atas nama H. Sugianto Sabran.
Dalam surat itu tertulis “yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto dkk”. Kata “dkk” terasa ganjil dalam surat itu. Seharusnya identitas tersangka “dkk” harus tertulis jelas. Siapakah “dkk” itu?. Bila ada kata “dkk”, mengapa hanya BW yang disidik?
Surat perintah penyidikan hanya menyebut norma dugaan “memberi keterangan palsu di bawah sumpah”, tanpa menyebutkankan secara ringkas dan jelas peristiwa tindak pidana terjadi (tempat dan waktunya). Ketidak jelasan peristiwa tindak pidana itu, berakibat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik pada BW sama sekali tidak relevan.
Kelima, alasan materiil pertanyaan penyidik. Isi pertanyaan penyidik pada BW point 4.d. “Apa isi petitum dari permohonan di PHPU Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi.?” Pertanyaan “apa” tidak menjawab kapan dan dimana terjadinya peristiwa tindak pidana yang dimaksud. Padahal, proses penyidikan yang dilakukan pada tanggal 23 Januari 2014 adalah penyidikan awalyang menjadi pokok adanya peristiwa tindak pidana terjadi. Berbeda halnya, jika pertanyaan itu adalah pengembangan dari proses penyidikan sebelumnya. Andaipun pertanyaan itu dijawab oleh BW, apa korelasinya dengan dugaan “memberi keterangan palsu di bawah sumpah”.
Bisa jadi peristiwa tindak pidana itu dikaitkan dengan acara persidangan kedua MK pada tanggal 28 Juni 2010. Dimana salah satu saksi yang memberi keterangan adalah Ratna Mutiara. Kenapa tidak langsung ditanyakan “Tanggal berapa Ratna Mutiara memberi keterangan saksi di depan sidang MK?”. Pengembangan pertanyaan bisa menjadi “Apa isi dari keterangan itu?. Artinya, pihak Polri tidak menemukan peristiwa tindak pidana terjadi. Jika tidak ditemukan (baik yang tertulis dalam Sprindik maupun pertanyaan penyidik), lalu apa korelasinya dengan “katanya” ditemukan alat bukti yang cukup. Bukankah alat bukti terkait dengan peristiwa tindak pidana yang disangkakan.
Keenam, alasan materiil pasal yang digunakan. Pasal 242 KUHP pada pokoknya tindak pidana memberi keterangan palsu dibawah sumpah baik lisan atau tertulis secara pribadi maupun oleh kuasanya. Pertanyaannya, kapan BW melakukan tindakan ini? Berkait dengan pertanyaan penyidik diatas, kemungkinan (karena tidak jelas kapan peristiwanya), peristiwa itu terjadi pada saat sidang MK tahun 2010. Menjadi aneh, saat itu BW berperan sebagai kuasa hukum pemohon. Dalam sidang MK, kuasa hukum tidak memberi keterangan. Keterangan dibawah sumpah hanya untuk saksi dan ahli. BW tidak berperan sebagai saksi maupun ahli dalam sidang MK itu. Lalu mengapa bisa diduga melakukan tindak pidana memberi keterangan palsu?
Ketujuh, alasan materiil delik penyertaan (deelneming). Pasal 55 KUHP inilah yang dijadikan dasar. Unsur yang dikenakan “yang menyuruh melakukan”. Pertanyaan dasarnya: siapakah yang disuruh oleh BW?. Tidak jelas !. Tetapi, baiklah kita periksa apa yang dimaksud dengan norma ini. Mereka yang menyuruh melakukan yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Dalam delik penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana. Pada hal ini pelaku atau dader, disebut alat dari yang menyuruh melakukan atau doen plegen.Sebutan lainnya dader adalah manus ministra (tangan yang dikuasai) sedangkan doen plegen adalah tangan yang menguasi atau manus domina. Ukuran obyektifnya, doen plegen yang harus bertanggungjawab bukan dader, karena alasan seperti Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP: diancam dengan kekerasan, ditipu, diberi janji, atau doen plegen menekan dader dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Pertanyaan mendasarnya, siapakah dader atau pelaku yang melakukan tindak pidana memberi keterangan palsu itu? Ini dulu yang harus jelas dan ditemukan. Ratna Mutiara kah ? Jika ya, sungguh menyesatkan. Dengan kostruksi delik penyertaan diatas seharusnya : (1) Ratna Mutiara tidak dijatuhi vonis bersalah karena dia hanya manus ministra; (2) dalam setiap delik penyertaan yang diasumsikan dilakukan lebih dari satu pelaku, Majelis hakim akan membuat penetapan pengadilan. Penetapan pengadilan yang bersumber dari pengakuan terdakwa atau saksi di persidangan bahwa ada tersangka lain sebagai doen plegen. Dengan penetapan pengadilan itu, pihak kepolisian baru melakukan penyidikan. Karena ada dua prosedur untuk menggunakan delik penyertaan ini. Melalui proses penyidikan, dimana ada pengakuan tersangka sebagai pelaku atau dader. Misalnya, seorang pelaku pembunuhan, memberi keterangan didepan penyidik, dia melakukan perbuatan itu karena disuruh si A. Jika sudah dilimpahkan ke pegadilan, pelaku dalam hal ini terdakwa memberi keteranggannya. Keterangan yang diverifikasi hakim sebagai kebenaran, oleh majelis dibuat surat ketetapan pengadilan untuk memerintahkan kepolisian menyidik si A.
Lalu apa yang terjadi pada kasus BW ini? Sebelumnya, pihak kepolisian tidak pernah menyidik tersangka lain sebagai pelaku. Jika dikaitkan dengan Ratna Mutiara. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak pernah mengeluarkan surat penetapan. Satu-satunya instrumen yang digunakan kepolisian hanya laporan dari H. Sugianto Sabran tanggal 15 Januari 2015. Bukan berdasarkan pengakuan pelaku dalam proses penyidikan maupun ada penetapan pengadilan yang berdasarkan keterangan saksi atau terdakwa.
Kedelapan, inilah perkara pertama dan satu-satunya yang terjadi di Indonesia sejak Indonesia merdeka. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka yang dikenakan delik penyertaan (deelneming)dalam memberikan keterangan palsu. Saya kira semua ahli hukum di Indonesia, harus belajar lagi dengan Bareskrim Polri yang maha hebat itu.
Salam Kompasiana
Sumber rujukan:
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama Bambang Widjojanto, 23 Januari yang dimulai pukul 15.40 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H