Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengenali Kisruh Politik dengan Petuah Tiongkok

29 Januari 2015   17:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Kisruh politik yang saat ini disebut pertikaian Polri-KPK dapat diulas dari prespektif pertempuran. Pihak manakah yang akhirnya memenangkan perang ini? sangat tergantung pada kemenangan-kemenangan kecil di setiap pertempuran. Bahkan bila ditarik ke tataran yang lebih luas, pertikaian Polri-KPK adalah pertempuran semata dari bagian perang dengan tujuan yang lebih besar. Untuk mengulasnya, saya menggunakan strategi kemiliteran Tiongkok yang lebih dikenal dengan sebutan Tiga Puluh Enam Strategi (Hanzi). Suatu kompilasi dari 36 skenario perang dalam sejarah Tiongkok yang dikumpulkan dari fabel cerita dari mulut ke mulut. 36 strategi ini kerap dihubungkan dengan seni perang Sun Tzu. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca di 36 Strategi. Saya hanya menggunakan 9 (sembilan) strategi tersebut untuk dijadikan dasar ulasan kisruh politik yang terjadi saat ini. Mengapa sembilan? tebak saja sendiri.

Strategi 14: Pinjam mayat orang lain untuk menghidupkan kembali jiwanya(Menghidupkan kembali orang mati).

Musuh-musuh KPK hidup dan dihidupkan kembali. Omongan Anas Urbaningrum, Nazarudin, pencara Luthfi Hasan Ishaq dibuka dan diingat kembali menjadi senjata untuk menyerang KPK. Baik KPK secara lembaga maupun pimpinan KPK. Pun demikian halnya, musuh-musuh Jokowi yang pernah berseteru sebelumnya, hidup kembali. Dengan kutipan omongan “sudah saya ingatkan dulu”. Mayat-mayat yang telah mati kini hidup kembali. Menggunakan ide-ide masa lalu dengan terjemahan kontemporer yang bertujuan menghancurkan musuh yang dahulu memenangkan pertempuran. Pelajaran yang dapat dipetik: perang tidak pernah usai. Pihak yang kalah dalam pertempuran masa lalu, akan kembali hidup dan turut bertempur saat ini. Demikian halnya pihak yang kalah dalam pertempuran hari ini, punya kesempatan untuk dihidupkan kembali di masa depan dalam medan pertempuran yang berbeda.

Strategi 3: Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. Membunuh dengan pisau pinjaman.

Falsafah Tiongkok ini hampir mirip dengan falsafah Jawa “nabok nyilih tangan”. Namun ada perbedaannya. Falsafah Jawa yang berarti Tumindak ala kanthi kongkonan wong liya, memberi penekanan pada wong liya (orang lain). Sedangkan falsafah Tiongkok, pengertian orang lain bisa berarti sekutu bahkan musuh sendiri. Untuk menyerang Polri atau KPK akan digunakan cara memanfaatkan orang dalam sendiri. Memanfaatkan situasi adanya konflik kepentingan dan friksi dalam kubu musuh. Bagi pihak yang diserang, biasanya kata yang lazim digunakan adalah penghianatan. Demikian juga halnya ketika ingin menjatuhkan kredibilitas Megawati di PDIP, kader-kader PDIP yang memiliki konflik kepentingan di dalam, dipergunakan untuk membuat pernyataan untuk menyerang. Cara ini efektif karena musuh tidak membutuhkan sumberdaya yang dimilikinya untuk menyerang. Pelajarannya: Walaupun nampaknya dalam organisasi manapun terlihat adem ayem, selalu saja ada konflik kepentingan didalamnya. Terlebih institusi politik. Konflik kepentingan itu bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan musuh sebagai “pisau pinjaman”.

Strategi 10: Pisau tersarung dalam senyum.

Cara ini kebalikan dengan Strategi 3 di atas. Orang-orang yang memiliki kepentingan dalam tubuh organisasi akan memberi pujian dan menjilat sebagai siasat. Hampir mirip dengan “musuh dalam selimut”. Orang-orang ini pada dasarnya punya tujuan membunuh atau menyerang dikemudian hari. Namun, jarak dan momentum saat ini yang tidak memungkinkan. Dengan cara memberi pujian dan menjilat, berharap akan mendapat kepercayaan sehingga jarak akan semakin dekat. Bisa jadi orang-orang yang “mencari muka” saat ini punya tujuan tertentu dikemudian hari. Membela habis Polri, mengagungkan Jokowi, atau memuji KPK yang tidak pernah salah. Padahal orang-orang ini tidak dikenal sebelumnya atau yang disebut “penumpang gelap”. Tentu sangat janggal, jika ada rekan sejawat para koruptor, saat ini membela KPK.

Strategi 20: Memancing di air keruh.

Cara Tiongkok ini agak beda dengan pengertian awam yang mengartikan upaya memanfaatkan situasi. Adanya para “penumpang gelap” yang turut campur dalam pertikaian. Cara ini dengan sengaja membuat kekacauan, hal yang aneh, tidak biasa dan tak pernah dipikirkan musuh sebelumnya. Dimaksudkan untuk memperlemah persepsi dan mengacaukan pikiran musuh. Musuh yang bingung akan lebih mudah untuk diserang. Hal-hal lazim dan biasa seperti norma dan prosedur yang dipikirkan musuh yang akan diperbuat lawannya, dibalik dengan membuat cara-cara yang tidak lazim dengan sengaja. Tindakan KPK yang menetapkan BG sebagai tersangka dan cara Komisi III DPR yang meloloskan BG adalah salah satu bentuk memperkeruh situasi. Hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ini juga bentuk serangan.

Strategi 5: Gunakan kesempatan saat terjadi kebakaran untuk merampok lainnya.

Memanfaatkan situasi dan momentum dipergunakan saat musuh sibuk dan terfokus pada satu masalah. Saat semua orang terfokus untuk memadamkan kebakaran, pihak lain mengambil kesempatan untuk merampok. Bila hal ini disengaja, maka ada yang mengatakan “pengalihan isyu”. Tapi jika tidak diskenariokan, strategi ini dilancarkan. Pada akhirnya semua orang akan lupa akan kerja Satgas Mafia Migas karena sibuk memadamkan kobaran api pertikaian Polri-TNI. Bidang-bidang strategis seperti rekruitmen Dirjen Pajak menjadi terabaikan. Pelajarannya: saat semua orang terfokus pada satu medan pertempuran, tetap waspada pada benteng pertahanan yang tidak terjaga.

Strategi 6: Berpura-pura menyerang dari timur dan menyeranglah dari barat.

Ada perbedaan dengan ulasan majalah Tempo yang menyebut Jokowi diserang dari empat penjuru mata angin. Cara Tiongkok ini lebih menekankan dengan serangan kejutan, dengaan melakukan tindakan berpura-pura sebelumnya. Berharap musuh lengah dengan menyodorkan tipu muslihat dan pengalihan pandang. Istilah umum yang dikenal “jebakan betmen”. Berpura-pura menyerang KPK untuk menjebak Jokowi dapat di-interpelasi sebagai bagian skenario impeach oleh DPR.

Strategi 2: Kepung Wei untuk menyelamatkan Zhao.

Serangan terhadap musuh pada kelemahan atau celah yang dimilikinya. Tujuan untuk membubarkan KPK yang dilakoni oleh calon-calon koruptor tidak mungkin dilakukan karena benteng dukungan yang begitu kuat. Tapi, sekuat apapun benteng itu pasti ada celah kelemahan. Dahulu KPK diserang dengan mempersoalkan prosedur penyadapan, merevisi UU KPK, membatasi anggaran dan manarik penyidik dari unsur kepolisian. Kelemahan saat ini yang diserang pada profil pimpinan KPK. Melemahkan pimpinan KPK secara psikologis akan mengganggu kinerja KPK. Pelajarannya: sekuat apapun benteng pertahanan dibangun, pasti ada celah musuh untuk menyerang. Oleh karena itu, kelemahan KPK seperti integritas dan kredibilitas pegawai KPK (termasuk pimpinan) harus benar-benar diseleksi secara ketat.

Strategi 9: Pantau api yang terbakar sepanjang sungai.

Cara ini menunda penyerangan sampai seluruh pihak yang bertikai mengalami kelelahan. Pihak-pihak yang saat ini berdiam diri, diantaranya KMP bukan berarti tidak akan melakukan serangan. Memantau setiap pertempuran adalah cara yang digunakan hingga akhirnya ditemukan momentum untuk melakukan serangan dengan kekuaatan penuh. Pelajarannya: pihak musuh yang tidak turun gelanggang saat ini, patut diwaspadai.

Strategi 15: Giring macan untuk meninggalkan sarangnya.

Nasihat utamanya: jangan pernah menyerang secara langsung musuh yang memiliki keunggulan akibat posisinya yang baik. Semua orang tahu, bahwa kekuatan utama Jokowi bukan pada partai pengusungya tetapi dukungan relawan dan pemilihnya yang sangat antusias dan militan. Oleh karena itu Jokowi harus diputuskan hubungannya dengan para relawan. Ini siasat jangka pendek, untuk memuluskan tujuan jangka panjang. Membenturkan Jokowi dengan relawan pendukungnya adalah cara yang paling jitu untuk melemahkan tiang pondasi utamanya. Para relawan yang naif dan culun, bisa tanpa sadar terjebak pada skenario ini dengan alasan “mengkritisi”. Berharap jadi dalang, padahal sesungguhnya hanya sekedar wayang.

Akhirnya, ingatlah selalu petuah Sun Tzu Kenali musuhmu, kenalilah diri sendiri, maka kamu akan berjaya dalam 100 pertempuran tanpa resiko kalah.”

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun