Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Bukan Gus Dur

29 Januari 2015   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_393928" align="aligncenter" width="624" caption="Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan saling berpegangan tangan dengan anggota Dewan. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)"][/caption]

Jokowi bukan Gus Dur. Budi Gunawan bukan Bimantoro. Situasi tahun 2001 sangat jauh berbeda dengan saat ini. Hal ini saya kemukakan, karena ada pernyataan dan sinyalemen Jokowi mau “di-gus-dur-kan”. Maksudnya dimakzulkan gara-gara kisruh soal Kapolri. Bila melihat sekilas, mungkin saja itu terjadi. Namun jika menelisik lebih dalam perbandingan dua peristiwa politik itu, sangat tidak mungkin Jokowi dimakzulkan. Ada beberapa perbedaan prinsip keduanya, baik secara politik maupun hukum.

Benar Gus Dur dimakzulkan salah satu alasannya memberhentikan Kapolri Bimantoro tanpa meminta persetujuan DPR. Gus Dur telah melanggar Pasal 7 ayat (3) TAP MPR Nomor VII tahun 2000. Isinya hampir mirip dengan Pasal 11 ayat (1) UU Kepolisian yang menyatakan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Karena ulah ini, tujuh fraksi di DPR mendesak agar digelar Sidang Istemewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Gus Dur. Inilah pemicu terjadinya pemakzulan.

Tetapi pemicu utamanya bukan soal Bimantoro tetapi puncaknya saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan MPR/DPR dan membekukan Partai Golkar. Selain daripada itu ada akumulasi ketegangan politik antara Gus Dur dan DPR. Dalam perkara dana Yanatera Bulog, DPR telah dua kali melayangkan memorandum. Ketidakpuasan DPR atas jawaban Presiden atas dua memorandum itulah yang mendorong terselenggaranya Sidang Istimewa MPR.

Terlebih Gus Dur melakukan manuver politik dengan mengutak-atik kekuatan TNI saat itu. Wiranto yang masih menyandang jenderal aktif dicopot dari Menkopolkam. Gus Dur terikut arus dalam pertikaian internal TNI dengan berpihak pada kubu Agus Wirahadikusuma. Mencopot secara mendadak KSAD Jendral Tyasno Sudarto. Dan mengangkat Marsenal TNI AL Widodo AS sebagai panglima TNI pertama yang bukan berasal dari angkatan darat. Lemahnya dukungan TNI pada Presiden mengakibatkan Dekrit Presiden tidak didukung TNI. Berbeda halnya dengan Soekarno yang mengeluarkan Dekrit yang mendapat sokongan dari AH Nasution. Bahkan saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit, Panglima Kostrad dan pasukannya berkumpul di silang Monas menandakan suatu show of force yang bisa diartikan sebagai pembangkangan terhadap otoritas Presiden.

Pendek kata, pemakzulan Gus Dur lebih kepada alasan-alasan politik bukan atas alasan hukum (konstitusional). Para ahli hukum tata negara mengatakan pemakzulan Gus Dur di luar hukum dan konstitusi. Karena konstitusi tidak mengaturnya. Atau istilah lain terjadi “krisis konstitusional”. Satu-satunya alasan hukum yang digunakan oleh MPR, bahwa Gus Dur telah melanggar TAP MPR, melanggar GBHN sebagai mandataris MPR.

Bagaimana situasi saat ini? Masalah Budi Gunawan menjadi satu-satunya pemicu an sich. Tidak ada upaya Presiden untuk melemahkan TNI sebagai kekuatan penyokongnya. Jokowi pun tidak didakwa melakukan pelanggaran hukum seperti Gus Dur yang terlibat dalam bulloggate. Lebih dari itu Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 yang diamendem pasca dimakzulkannya Gus Dur telah melindungi Presiden. Presiden tidak dapat dimakzulkan atas alasan politik di luar alasan-alasan hukum yang secara limitatif telah disebutkan dalam konstitusi. Misalnya, Jokowi mengangkat calon Kapolri baru tanpa persetujuan DPR. Pelanggaran undang-undang ini tidak bisa dijadikan alasan pemakzulan. DPR bisa saja melakukan impeach tetapi masih jauh dari pemakzulan. Karena pengertian Impeachmentdan pemakzulan jelas berbeda.

Hanya pemakzulan yang dimaksud dalam tulisan ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Presiden bisa saja diturunkan atau didesak untuk dilengserkan. Seperti kudeta yang terjadi pada Soekarno dan Suharto yang didesak mundur oleh gerakan reformasi. Tentu dua peristiwa ini tidak lagi bicara hukum konstitusi. Artinya Jokowi bisa saja dikudeta atau bisa didesak mundur dengan kekuatan gerakan massa yang luas. Jika begitu maksudnya, bukan pemakzulan namanya. Kalau dalam pengertian konstitusi, atas peristiwa saat ini, DPR mungkin saja melakukanimpeach pada Jokowi tetapi masih jauh dari pemakzulan.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun