Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK Takut dengan TNI?

4 Februari 2015   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu waktu, saya bermain tebak-tebakan dengan teman-teman. Saya tanya, “Kenapa tidak ada tentara aktif yang ditangkap KPK, kenapa hayoo?” Lalu seorang teman menjawab, “Siapa bilang tidak ada. Buktinya ada yang dijadikan tersangka kasus menerima cek pelawat pemilihan Miranda Goeltom.” Saya sanggah, “Salah. Mereka itu purnawirawan. Yang saya tanya tentara aktif.” Teman lain bilang, “Mungkin KPK takut. Bahaya nanti bisa diserbu seperti kasus cebongan.”Saya hanya tertawa saja. Teman lain berujar, “TNI itu kan disiplinnya kuat, doktrinnya kuat, patuh sama pimpinan. Lagi pula apa juga yang mau dikorupsi.” Saya bilang, “Bisa saja begitu, tapi apa pimpinannya itu malaikat? Sayapernah dengar kalau para perwira TNI dapat saham kosong dari perusahaan-perusahaan. Sama saja mereka punya rekening gendut. Kenapa KPK tidak bisa mengawasi? Setelah ngomong ngalur-ngidul ke sana kemari, saya jawab sendiri tebak-tebakan itu, “Karena undang-undang yang tidak memungkinkan KPK menangkap tentara.”

Misalnya begini: apa perwira TNI tidak terindikasi punya rekening gendut seperti perwira Polri? Indikasi sederhana. Para perwira tinggi TNI setelah pensiun, dalam waktu yang relatif singkat (5 tahun) tiba-tiba punya harta kekayaan melimpah. Berapa sih gaji perwira TNI itu dan berapa uang pensiunnya? Katanya jadi pengusaha. Pengusaha mana yang dalam waktu relatif singkat punya harta kekayaan ratusan miliar. Tentulah harta dan uang itu disimpan dalam bentuk rekening saat menjadi pejabat negara. Pertanyaannya, apa PPATK tidak tahu atau tidak melakukan pengawasan?

Sebenarnya PPATK tahu itu. Mereka punya data transaksi yang mencurigakan semua pejabat negara termasuk perwira tinggi TNI. Biasanya setiap tahun PPATK membuat laporan. Laporan itu menyatukan rekening pejabat Polri dan TNI. Tapi permasalahan besarnya, laporan itu mau diserahkan ke mana?

Sebagai catatan isu rekening gendut yang populer dibincangkan belakangan ini, dalam kacamata PPATK disebut transaksi keuangan yang mencurigakan. Jumlah harta kekayaan pejabat itu tidak sesuai dengan profil dirinya sebagai penyelenggara negara. Dapat gaji bulanan Rp 50 juta tapi hartanya mencapai puluhan miliar. Dari data itu, patut diduga telah terjadi tindak pidana pencucian uang. Tetapi tindak pidana pencucian uang bukan tindak pidana yang berdiri sendiri, atau sekonyong-konyong ada. Harus ada apa yang disebut tindak pidana asal. Tindak pidana asal bisa korupsi, terorisme atau narkotika. Ringkasnya data dari PPATK tadi hanya untuk memperkuat tindak pidana asal. Kembali ke pertanyaan tadi, laporan PPATK tadi harus diserahkan ke mana?

Dengan berpedoman pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyebutkan setiap transaksi mencurigakan harus diteruskan PPATK ke penyidik terkait. Masalahnya, undang-undang ini hanya menyebut secara limitatif, siapa yang diberi kewenangan untuk menyidik perkara dugaan pencucian uang. Pasal 74 menyebut penyidik tindak pidana asal adalah Kepolisian, Kejaksaan, KPK, BNN dan Dirjen Pajak. Tidak disebut penyidik Polisi Militer (POM).

Kenapa dikaitkan dengan POM? Begini: berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana apa pun maka mereka akan disidik oleh Polisi Militerdan diadili di pengadilan militer. Hukum yang berlaku dimaksud adalah UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal 9 ayat (1) UU itu secara terang menyebut kewenangan Peradilan Militer untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI (aktif). Dan proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Militer (vide Pasal 1 angka 11 UU31/1997).

Itulah mengapa KPK tidak dapat menyidik tindak pidana korupsi atau pencucian uang yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI. KPK sebagai penyidik berkorelasi langsung dengan peradilan umum yang dalam tindak pidana korupsi disebut Pengadilan Tipikor. Sedangkan dalam tubuh TNI, apa pun tindak pidana yang dilakukan (termasuk korupsi), penyidikan dilakukan oleh pejabat Polisi Militer yang berkorelasi dengan Peradilan Militer. Apa yang dilakukan oleh KPK sebatas pengawasan pada semua pejabat penyelenggara negara termasuk prajurit TNI. Di antaranya kepatuhan untuk memberikan laporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Sebatas itu saja. Tidak bisa menyidik, menahan, apalagi menangkap.

Meskipun pengadilan militer (seharusnya) terbuka untuk umum, namun faktanya, hampir semua perkara di pengadilan militer tertutup. Dengan ketertutupan ini dan pembatasan undang-undang, terkesan kedudukan prajurit TNI tidak sama di depan hukum sebagaimana prinsip equality before the law. Dan tidak berdasarkan asas persamaan keadilan antara warga negara sipil dan militer.

Saya kira, sistem hukum kita mesti ada terobosan khususnya yang berkait dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Dalam perkara sejenis sebelumnya, tersangka korupsi melakukan perbuatan tidak sendiri, selalu menyertakan pihak lain yang kadang terkena delik penyertaan. Demikian juga saat perwira TNI yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, pasti melibatkan pihak lain. Dan pihak lain itu bisanya dari kalangan warga sipil. Di sinilah titik masuk untuk melakukan peradilan koneksitas.

Ketentuan dalam Pasal 89 KUHAP telah memberikan landasan kuat adanya peradilan koneksitas, yang pelakunya diperiksa dan diadili oleh peradilan umum dan peradilan militer secara bersamaan. Dan diperkuat dengan Pasal 198 UU 31/1997. Dengan demikian dapat menerobos sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Walaupun prajurit TNI tetap diperiksa dan disidang oleh Pengadilan Militer, dengan sistem koneksitas ini, masyarakat dapat mengikuti proses tindak pidana tersebut melalui pintu masuk terdakwa lain (warga sipil) yang terkena delik penyertaan dan disidang di pengadilan umum.

Lebih daripada itu, perbaikan sistem ini untuk menjawab kegelisahan masyarakat yang menuding bahwa KPK selama ini takut menangkap tentara.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun