[caption id="attachment_397246" align="aligncenter" width="562" caption="Presiden Joko Widodo. (Kompas.com/SABRINA ASRIL)"][/caption]
Kuasa hukum Komjen Budi Gunawan sudah mengambil ancang-ancang. Bila Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri, Presiden akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagaimana disampaikan OC Kaligis dan Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto (sumber). Hal yang sama dikemukakan Razman Arif Nasution (sumber). OC Kaligis menyampaikan pihaknya telah menyiapkan draf gugatan hukum ke PTUN. "Hari itu juga kami akan masukan gugatan ke PTUN," tukasnya (sumber).
Sebelumnya (16/1/2015), Egi Sudjana yang juga kuasa hukum Budi Gunawan akan menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke PTUN."Kalau berdasarkan ilmu hukum kami akan menggugat KPK ke PTUN, tapi itu nanti tergantung klien kami nanti," ujar Egi (sumber). Menjawab rencana gugatan itu, Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, maka Budi Gunawan mengukir sejarah. "Kalau iya, baru kali ini KPK digugat ke PTUN," kata Abdullah (22/1/2015) (sumber).
Perihal gugatan ke PTUN tersebut, sudah pernah saya tulis dalam artikel pada tanggal 5 Februari 2015 dengan judul Dapatkah Budi Gunawan Menggugat Jokowi?. Tulisan yang berangkat dari pertanyaan rekan Elde di tulisan saya berjudul Tindakan Presiden Jokowi Menyelamatkan KPK.Inti pertanyaan Elde adalah apakah Komjen Budi Gunawan (BG) bisa menuntut Presiden Jokowi apabila BG tidak jadi dilantik dan dibatalkan sebagai kapolri? Prediksi rekan Elde menjadi kenyataan. Kuasa hukum Budi Gunawan akan menggugat Presiden Jokowi ke PTUN.
Dalam tulisan ini ada beberapa hal yang saya ulang dari argumen yang pernah saya ajukan dalam artikel Dapatkah Budi Gunawan Menggugat Jokowi?. Tetapi sebagian besar pemikiran baru berhubung ada tergugat (KPK) lain yang jadi bahasan. Tetap dalam lingkup yang sama: gugatan ke PTUN.
Menggugat Presiden Jokowi
Sampai tulisan ini dibuat, tidak jelas penetapan Presiden apa yang akan digugat. Karena tidak jelas, saya menduga saja. Dugaan saya yang akan digugat: (1) pengumuman atau pernyataan lisan Presiden Jokowi yang tidak akan melantik BG; (2) Surat Presiden ke DPR tanggal 9 Januari 2015 perihal usulan BG sebagai calon Kapolri; (3) Surat Presiden ke DPR perihal usulan calon lain (di luar BG) sebagai calon kapolri; (4) Keputusan Presiden pengangkatan kapolri (di luar nama BG).Poin 1 dan 2 sudah ada dan terjadi sedangkan poin 3 dan 4 belum terjadi.
Anggap yang akan digugat adalah poin 1 pengumuman atau pernyataan lisan Presiden Jokowi yang tidak akan melantik BG. Tidak perlu dibahas terlalu panjang lebar jika hal ini yang dilakukan. Cukup menyatakan “pernyataan lisan” bukan obyek TUN. Tidak memenuhi unsur “tertulis” sebagai unsur obyek TUN (vide Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009).
Poin 2, Surat Presiden ke DPR tanggal 9 Januari 2015.Sama saja, bukan obyek TUN karena tidak terpenuhi unsur “Final”. Surat tersebut tidak bisa langsung dieksekusi karena masih membutuhkan persetujuan DPR.
Lalu bagaimana jika surat DPR yang menyatakan persetujuan atas usulan Presiden? Surat yang dikeluarkan oleh DPR dan dikirim ke Presiden. Ada dua masalah: (1) berarti yang digugat adalah DPR yang mengeluarkan Surat tersebut bukan Presiden. DPR tidak bisa digugat ke PTUN sebab DPR adalah lembaga legislatif bukan pejabat tata usaha negara; (2) andaipun bisa, Surat tersebut tidak terpenuhi unsur “Final” karena masih membutuhkan Keppres untuk mengeksekusinya.
Andai ada poin 3, Presiden mengeluarkan Surat ke DPR mengusulkan calon kapolri baru. Jawabannya sama dengan poin 1, tidak memenuhi unsur “Final”.
Andai ada poin 4, ada Keputusan Presiden tentang pengangkatan kapolri (di luar nama BG). Ini pun tidak termasuk dalam obyek perkara (objektum litis) TUN atau bukan kompetensi absolut. Kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
Ada tiga alasan, pertama, unsur “akibat hukum” tidak terjadi pada BG sebagai pihak penggugat. Sebagai calon kapolri, BG tidak kehilangan hak dan kewenangannya. Calon kapolri bukan jabatan yang punya hak dan wewenang tertentu. Contohnya Keppres pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai kapolri. Kapolri itu jabatan yang punya hak wewenang tertentu. Dengan diberhentikannya Sutarman, akibat hukumnya, dia kehilangan hak dan wewenangnya sebagai kapolri. Sedangkan calon kapolri bukan jabatan dan tidak punya hak dan wewenang. Terus, akibat hukum apa yang ditimbulkan dengan dilantiknya orang lain sebagai kapolri?
Alasan kedua,PTUN adalah lembaga peradilan yang mengadili kewenangan pejabat tata usaha negara. Sedangkan pokok perkara berupa Keppres pengangkatan Kapolri bukan kewenangan Presiden tapi hak Presiden. Dengan begitu PTUN tidak berwenang mengadili hak Presiden. Preseden yang dapat dirujuk, saat Keppres pemberian grasi kepada Corby tidak diterima oleh PTUN pada 4 Juli 2012.Putusan Hakim Yodi Martono saat itu menyatakan, bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus perkara yang berkaitan dengan hak Presiden.
Alasan ketiga, Presiden dalam mengeluarkan Keppres pengangkatan Kapolri bertindak sebagai Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan atau pejabat tata usaha negara. Tentang alasan ini bisa dibaca kembali tulisan terdahulu: Dapatkah Budi Gunawan Menggugat Jokowi?.
Menggugat KPK
Kesimpulannya Penetapan KPK tidak bisa digugat ke PTUN. Ada dua alasan yang mendasar. Pertama, KPK dalam hal ini penyidik bukan pejabat tata usaha negara. Penyidik tidak melakukan kegiatan “urusan pemerintahan”. KPK melakukan tugas dan wewenang sebagai bagian dari yudikatif (proses dari persidangan). Sama seperti DPR, penetapan KPK tidak dapat digugat karena merupakan pejabat legislatif dan yudikatif.
Kedua, PTUN mengenal apa yang disebut Pembatasan Langsung.Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Yakni penetapan yang dikeluarkan berdasarkan KUHP, KUHAPatau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Andai Sprindik KPK yang jadi obyek perkara, Sprindik tidak dapat digugat karena dikeluarkan berdasarkan KUHAP.
Tidak perlu panjang-panjang penjelasannya. Dan tidak perlu memeriksa pokok perkara yang akan diajukan ke PTUN. Melihat syarat formilnya saja gugatan itu sudah cacat.
Tapi terlepas dari itu semua, saya sungguh tercengang dengan perjuangan kuasa hukum BG yang membela mati-matian kliennya. Setelah mencoba praperadilan, akan mencoba lagi PTUN. Nanti setelah PTUN gagal, mungkin akan ajukan gugat Presiden ke pengadilan Agama atau pengadilan Hubungan Industrial. Tidak masalah juga, justru menguntungkan bagi saya dapat bahan untuk terus menulis artikel di Kompasiana.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H