Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Salah Obyek, Membatalkan Sprindik KPK

17 Februari 2015   04:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kali kedua saya menulis Anotasi Hukum atas putusan praperadilan. Setelah sebelumnya saya menulis Putusan Praperadilan Melawan Hukum. Dalam tulisan terdahulu saya memberi catatan hukum dari segi formil. Atas amar putusan yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan. Kali ini saya akan mengambil 1 (satu) amar putusan lainnya, yakni, putusan praperadilan yang membatalkan surat perintah penyidikan (Sprindik) KPK.

Sebagaimana kutipan berita “Surat perintah penyidikan tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan tersangka terkait peristiwa pidana tentang pemberatasan korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum. Tidak mempunyai kekuatan mengikat," kata Sarpin (sumber). Kutipan berita ini masih ambigu. Yang dianggap tidak sah itu apakah Sprindik atau penetapan tersangka?. Mungkin kutipan berita dari media lain dapat dijadikan pembanding. “menyatakan surat perintah penyidikan nomor 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari yang tetapkan pemohon sebagai tersangka terkait peristiwa pidana terkait UU tentang pemberantasan korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum karenanya penetapan a quo tak punya kekuatan mengikat” (sumber). Dari dua kutipan berita itu jelas bahwa hakim menyatakan Sprindik KPK itu tidak sah dan tidak berdasar hukum. Akibat hukumnya dari tidak sahnya Sprindik tersebut maka “penetapan a quo tak punya kekuatan mengikat.Suatu hubungan kausal. Karena Sprindik tidak sah maka penetapan tersangka Budi Gunawan juga otomatis tidak sah.

Dari bunyi amar putusan itu, hakim telah melakukan ultra petita, mengabulkan permohonan pada petitum yang tidak dimohonkan. Pemohon meminta hakim membatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Bukan membatalkan Sprindik. Dua obyek hukum yang berbeda antara penetapan sebagai tersangka dengan terbitnya Sprindik. Karena akibat hukum dari pembatalan dua obyek itu berbeda satu sama lain. Penetapan sebagai tersangka bisa gugur jika tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup diartikan setelah sekurangnya ditemukan dua alat bukti yang sah.

Lalu apakah pengadilan dapat membatalkan Sprindik? Secara normatif Sprindik dan proses penyidikan dapat dibatalkan dengan upaya penghentian penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dasar hukum: Pasal 7 ayat (1) huruf i jo pasal 109 ayat (2) KUHAP. SP3 adalah otoritas penyidik bukan otoritas hakim. Setelah penyidik menilai tidak cukupnya bukti, peristiwa yang disidik peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau ditutup (perkaranya) demi hukum. Alasan ditutup (perkaranya) demi hukum apabila tindak pidana tersebut dinyatakan gugur. Gugurnya suatu tindak pidana disebabkan antara lain:nebis in idem, tersangka/terdakwa meninggal dunia, telah lewat waktu, penyelesaian di luar proses (damai), dan adanya Abolisi atau Amesti. Ringkasnya, pengadilan dalam hal ini hakim tidak punya wewenang untuk membatalkan Sprindik.

Apa konsekwensi dan implikasi dari putusan praperadilan yang menyatakan Sprindik “tidak sah dan tidak berdasar hukum”?.

Pertama, para penyidik yang namanya tercantum dalam Sprindik seperti Iguh Sipurba tidak punya kewenangan (lagi) sebagai penyidik.

Kedua, karena tidak ada penyidik semua proses penyidikan dan kewenangan penyidik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU KPK dan Pasal 7 KUHAP dianggap tidak sah dan tidak bisa dilakukan. Diantaranya, melakukan penyadapan, meminta keterangan kepada Bank dan PPATK, melakukan penangkapan, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksiatau ahli. Termasuk penyidik membuat rencana jadwal kegiatan penyidikan dan laporan pengembangan penyidikan.

Ketiga, hakim Sarpin telah melanggar hukum. Dengan diputuskan bahwa Sprindik dinyatakan tidak sah, akan mendorong penyidik dalam hal ini KPK akan mengeluarkan SP3 untuk menghentikan penyidikan. Padahal secara umum, hanya penyidik yang punya otoritas menghentikan penyidikan (vide Pasal 7 ayat (1) huruf I KUHAP). Dan secara kelembagaan KPK tidak berwenang menerbitkan SP3 (vide Pasal 40 UU KPK).

Keempat, putusan itu akan membenturkan kepentingan pemohon Budi Gunawan dengan KPK. Budi Gunawan akan berpegang pada putusan praperadilan dengan beranggapan bahwa proses penyidikan tidak bisa dilanjutkan. Sedangkan KPK berpegang pada UU KPK. Meskipun tersangka tidak atau belum ditetapkan atau dinyatakan tidak sah, tapi proses penyidikan tidak bisa dihentikan. Bila KPK tetap melakukan proses penyidikan, maka sudah dapat diduga akan menimbulkan konflik baru.

Kelima, andai ada SP3 atas perkara ini, maka akan terbuka peluang akan digugat lagi ke praperadilan. KUHAP secara terang memasukan SP3 sebagai obyek praperadilan. Pihak penggugat bisa datang dari penuntut KPK atau pihak ketiga dalam hal ini saksi pelapor. Maksud hati ingin menyelesaikan masalah dengan membatalkan Sprindik, tapi justru menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan.

Salah sasaran atau salah obyek itulah judulnya. Hendak membatalkan penetapan sebagai tersangka tetapi yang dituju justru membatalkan Sprindik yang menimbulkan akibat hukum yang lebih luas.

Untuk diketahui Sprindik pada dasarnya tidak otomatis adanya tersangka. Sprindik adalah penugasan kepada penyidik yang ditunjuk untuk mengumpulkan sejumlah bukti atas peristiwa tindak pidana yang sudah dilakukan pada proses penyelidikan. Contohnya Sprindik yang dikeluarkan oleh Polri atas peristiwa tindak pidana penyalahgunaan wewenang Abraham Samad. Hingga sekarang AS belum ditetapkan sebagai tersangka, meskipun Sprindik telah diterbitkan.

Secara normatif, penetapan sebagai tersangka telah diatur dalam KUHAP dengan ketentuan “bukti permulaan yang cukup”. Sehingga hakim dapat memperdalam dan memeriksa “bukti permulaan yang cukup” itu. Sedangkan penerbitan Sprindik tidak diatur dalam KUHAP. Bagaimana cara mengukur sah dan tidaknya Sprindik jika ukuran normatifnya tidak ada. Ukuran normatif itu ada di masing-masing lembaga penyidik yang berbentuk pedoman, SOP, atau peraturan. Termasuk format Sprindik. Salah satu prosedurnya, Sprindik dikeluarkan setelah dilakukan gelar perkara. Pertanyaannya, sudahkah hakim Sarpin menggunakan SOP dan Peraturan KPK untuk dijadikan tolok ukur dan menilai Sprindik yang dikeluarkan itu, sah atau tidak sah?

Lebih daripada itu, bagaimana hakim Sarpin merumuskan isi putusannya untuk membatalkan Sprindik, yang jelas-jelas tidak ada dalam ketentuan dalam Pasal 82 ayat (3) KUHAP. Isi putusan yang sekaligus memuat konsekwensi yang harus dilakukan. Misalnya Pasal 82 ayat (3) huruf a “dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing masing harus segera membebaskan tersangka”. Ketika ada amar putusan yang pada pokoknya berbunyi Sprindik tidak sah, apa konsekwensi hukumnya? Padahal bentuk dan isi putusan seperti ini tidak ada dalam KUHAP.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun