Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hakim Sarpin Lebih Cocok Tinggal di Inggris

25 Februari 2015   04:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan pelengkap dari artikel sebelumnya yang berjudul Putusan Praperadilan Bukan Yurisprudensi. Tulisan ini akan menguji putusan praperadilan yang dibacakan oleh hakim Sarpin, apakah dapat disebut penemuan hukum (rechtsvinding). Di tulisan sebelumnya saya sudah menyatakan bahwa “hasil kreasi” hakim Sarpin itu bukan rechtsvinding tapi judge made law/ rechtscheppingatau penciptaan hukum. Tetapi sebelumnya saya akan meluruskan akan salah kaprah tentang judge made law = rechtsvinding.

Dalam tulisan sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa penciptaan hukum atau judge made law hanya ada di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat. Aliran yang digunakan adalah freie rechtslehre atau rechtsschule. Aliran ini adalah kebalikan dari cara pandang dengan aliran legisme.Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini beranggapan bahwa hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusanberdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Putusan-putusan hakim berupa preseden merupakan hal primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. Dengan kata lain, hukum berarti hakim itu sendiri yang memiliki kebebasan dalam membentuk norma hukum tanpa terikat pada undang-undang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Aliran hukum apa yang dianut? Seperti kebiasaan penggunaan sistem ekonomi dan politik di negara kita, Indonesia selalu mengambil prinsip jalan tengah. Tidak ke kiri atau ke kanan, tidak ini dan tidak itu. Cukup ditengah-tengah saja. Tidak legisme dan juga tidak freie rechtslehre. Indonesia menganut aliran rechtsvinding. Jadi kalau ada orang yang bilang “oh, itu pendapat pakar hukum aliran legisme” itu sama dengan pernyataan “oh, itu pendapat pakar sosialisme”. Anehnya, tudingan itu diucapkan oleh orang yang menganut aliran freie rechtslehre. Padahal Indonesia tidak mengenal atau tidak menggunakan aliran keduanya. Seperti lagu populer “ditengah-tengah saja”.

Karena aliran ditengah-tengah saja, hakim terikat pada undang-undang tapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran legisme, sebab hakim juga mempunyai kebebasan. Sebaliknya hakim punya kebebasan tapi tidak sebebas aliran freie rechtslehre. Sehingga dikenal dengan istilah kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Pada pokoknya, tugas hakim dalam melakukan rechtsvinding dengan menyelaraskan undang-undang yang mempunyai arti luas. Wujudnya hakim punya kebebasan untuk melakukan interprestasi norma hukum tertulis. “Kreasi hakim” dalam penemuan hukum itu kemudian menjadi Yurisprudensi. Jadi Yurisprudensi sebagai sumber hukum lahir dari aliran rechtsvinding. Sedangkan putusan hakim yang berupa preseden lahir dari aliran freie rechtslehre.

Meskipun hakim punya kebebasan melakukan penemuan hukum, namun kebebasan itu terikat(gebonden vrijheid). Jadi jangan samakan dengan hakim di Inggris yang menganut freie rechtslehre dimana hakim bebas sebebasnya. Pun tidak seperti aliran legisme, dimana hakim hanya peniup trompet undang-undang yang tidak punya kebebasan. Keterikatan hakim dalam penemuan hukum dibatasi pada sumber-sumber hukum yang menjadi bahan pertimbangannya. Apa saja sumber-sumber hukum itu? Ada lima: (1) perundang-undangan ; (2) hukum kebiasaan; (3) Yurispridensi; (4) traktat; (5) konvensi Internasional. Penemuan hukum secara operasional menggunakan metode interprestasi dan kontruksi hukum (metode eksposisi).

Sekarang kita uji putusan hakim Sarpin yang katanya rechtsvinding. Saya tidak perlu sampai jauh untuk menguji pada metode interprestasi apa yang digunakan dan kontruksi hukum yang dipakai. Cukup mengkonfirmasi atas sumber-sumber hukum yang digunakan.

Apa dasar perundang-undangan yang digunakan oleh hakim Sarpin yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan? Setelah membaca pertimbangan putusan itu, tidak ada satupun perundang-undangan (lain) yang digunakan.

Di tulisan lain sebelumnya, saya pernah memberi contoh penemuan hukum berdasarkan perundang-undangan. Contoh dalam UU KPK tidak ada mekanisme penjebakan (entrapment). Hakim kemudian menggunakan argumentum per analogiampada Pasal 55 UU Psikotropika dan UU 7 Tahun 2006 yang memberi wewenang penyidik melakukan penjebakan. Ditambah dengan Pasal 350 UNCAC sebagai konvensi Internasional. Sementara dalam pertimbangan putusan Sarpin tidak ada sumber hukum berupa perundang-undangan maupun konvensi Internasional yang dirujuk. Padahal dalam upaya penemuan hukum, hakim disyaratkan untuk menyebut pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Vide Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).

Pun tidak ada hukum kebiasaan (tidak tertulis) yang dijadikan rujukan. Saya pernah memberi contoh hakim dalam melakukan interprestasi Pasal 362 KUHP atas “pencurian barang” adalah juga “pencurian mayat”. Sumber hakim melakukan penemuan hukum menggunakan hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dimana pencurian mayat termasuk juga kejahatan serupa dengan pencurian mayat. Ini yang disebut hakim menggali nilai-nilai di masyarakat. Lalu, apa nilai-nilai masyarakat yang digali oleh hakim Sarpin untuk memberi pembenaran bahwa penetapan tersangka masuk dalam obyek perkara praperadilan? Tidak disebut dalam pertimbangan putusan praperadilan itu, hukum kebiasaan (tidak tetulis) apa yang digunakan sebagai rujukan.

Nah, beberapa orang mengatakan bahwa hakim Sarpin menggunakan yurisprudensi. Pertanyaannya yurisprudensi apa? Lalu pihak yang sotoy merujuk pada putusan PN Jakarta Selatan No.: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tanggal tanggal 27 November 2012. Lho? Orang ini ngerti ngga apa yang disebut yurispridensi. Gampangnya, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap setelah dieksaminansi oleh Mahkamah Agung dan diregistrasi barulah menjadi yurisprudensi. Dalam pertimbangan hakim dalam putusannya, judul, nama dan nomor registrasi yurisprudensi (oleh MA) disebutkan. Artinya putusan PN Jakarta Selatan tahun 2012 itu bukan yurisprudensi tapi preseden. Sedangkan sistem hukum kita tidak mengenal dan mengacu pada preseden. Lebih dari itu, dalam pertimbangan putusan praperadilan hakim Sarpin tidak menyebut sedikitpun tentang yurisprudensi yang dijadikan sumber hukum untuk melakukan penemuan hukum.

Jika hakim Sarpin tidak merujuk satupun dari 5 (lima) sumber hukum yang ada (baik tertulis maupun tidak tertulis) lalu menggunakan sumber hukum apa? Padahal rujukan sumber hukum dalam penemuan hukum adalah kaedah baku.

Satu-satunya argumen yang bisa menjelaskan “kreasi” Sarpin itu beranjak pada asas bahwa hakim benar-benar sebagai pencipta hukum. Semua keputusan hakim berdasarkan keyakinan hakim semata tidak memperdulikan sumber-sumber hukum baik tertulis maupuntidak tertulis. Jika demikian benarlah, bahwa apa yang dilakukan oleh Sarpin adalah pencipta hukum (judge made law) bukan penemuan hukum (rechtsvinding). Dimana letak pelanggarannya? Model yang dilakukan oleh hakim Sarpin itu tidak diperkenankan dalam aliran rechtsvinding yang dianut oleh Indonesia.

Jika anda tidak percaya, bisa kita lihat nanti. Apakah putusan Sarpin yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan dieksaminasi dan diakui oleh Mahkamah Agung sebagai Yurisprudensi. Nasibnya akan sama seperti putusan praperadilan tahun 2012, yang tidak diakui oleh MA sebagai yurisprudensi hasil dari penemuan hukum. Sebaliknya hakim yang “maha kreatif” itu diganjar sanksi demosi. Hakim seperti Suko dan Sarpin tidak cocok tinggal di Indonesia, pasnya menjadi hakim di Inggris karena “kreasi”nya dibenarkan oleh aliran freie rechtslehre.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun