Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Batasan Kewenangan DPRD Bidang Anggaran

1 Maret 2015   23:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 3989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425208767634127304

[caption id="attachment_400349" align="aligncenter" width="624" caption="Gedung Wakil Rakyat/kompasiana(kompas.com)"][/caption]

Tulisan berikut ini adalah lanjutan dari dua artikel sebelumnya yang berjudul Mempertanyakan Kewenangan DPRD DKI Jakarta dan DPRD Tidak Punya Hak Budgeting. Tulisan ini kembali menegaskan bahwa DPRD tidak berwenang memberi usulan rincian jenis kegiatan beserta besaran alokasi anggaran (satuan tiga) dalam rancangan APBD. Contoh usulan yang dimaksud berupa proyek pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) SMKN 35 senilai Rp 5.832.750.000. Atau bahasa media sekarang disebut “anggaran siluman” atau titipan proyek dari anggota DPRD DKI Jakarta. Saya katakan tidak berwenang, karena tidak ada satu aturan hukum pun yang memberi kewenangan tersebut kepada DPRD. DPRD yang dimaksud meliputi pimpinan dan anggota DPRD maupun alat kelengapan DPRD seperti Badan Anggaran (Banggar) atau Komisi. Kewenangan yang tertulis secara gamblang atas kata “wewenang” atau tugas atau ditafsirkan sebagai hak atau kewajiban.

Aturan dan ketentuan hukum meliputi undang-undang yang terkait diantaranya UU MD3 atau UU Pemerintahan Daerah; Peraturan Pemerintah; Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan DPRD sendiri yang bernama Tata Tertib DPRD. Dari semua aturan tersebut tidak ada satu ketentuan yang memberi kewenangan DPRD untuk mengusulkan suatu jenis kegiatan tertentu beserta besaran alokasi anggaran dalam rancangan APBD.

Salah satu penyebab terjadinya pelanggaran kewenangan tersebut, adanya persepsi yang keliru atas kedudukan DPRD dengan DPR. Kedudukan DPRD dan DPR berbeda dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang yang dimilikinya. DPRD sebagai bagian dari unsur pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi, tugas dam wewenangnya selain berdasarkan undang-undangjuga harus berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai tatanan, patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. NSPK yang dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi lainnya. Sedangkan DPR tidak terikat dan tidak tunduk pada NSPK.

Satu contoh penerapan norma UU MD3 dan UU Pemda, DPRD mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP). Diantaranya PP No.16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Semua Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD mengacu kepada PP No. 16 Tahun 2010. Hampir bisa dikatakan isi dari PP 16 tahun 2010 di copy paste oleh seluruh DPRD seluruh Indonesia dalam menyusun dan melaksanakan Tata Tertib DPRD.

Relevansinya dengan topik tulisan ini, dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, DPRD mengacu kepada Tata Tertib DPRD (berupa Peraturan DPRD) yang dibuatnya sendiri. Dalam Tatib DPRD tersebut, berisi sejumlah tugas dan kewenangan komisi dan Banggar dalam pembahasan rancangan APBD.

Dalam Tatib DPRD yang disadur dari PP 16/2010, tugas komisi DPRD hanya sebatas “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD sesuai denganruang lingkup tugas Komisi”. Atau “melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan keputusan DPRD”.

Bila dikaitkan bahwa rancangan APBD juga adalah wujud dari rancangan Perda. Dalam kasus di DKI Jakarta, masuknya “anggaran siluman” berkaitan dengan lingkup kerja Komisi D yang menaungi bidang pendidikan. Namun Komisi D DPRD DKI Jakarta tidak berwenang memberi usulan proyek pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) SMKN 35 senilai Rp 5.832.750.000 karena Tata Tertib DPR tidak memberi kewenangan itu.

Salah persepsi yang saya maksud diatas, karena meniru kewenangan yang dimiliki oleh DPR.Dalam Pasal 58 ayat (2) Tatib DPR menyebutkan secara gamblang tugas komisi dalam bidang anggaran. Diantaranya dalam huruf c “ membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan programkementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi “. Tugas di huruf e “ membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran; Tugas di huruf g “ membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan. Frasa “menetapkan alokasi anggaran per program” disebut secara jelas.Apa yang dinyatakan dalam Tatib DPR tersebut merupakan turunan atau salinan dari Pasal 98 ayat 2 UU MD3. Sehingga kewenangan komisi di DPR cakupannya begitu luas, hingga dapat memberi usulan alokasi anggaran per program. Sementara kewenangan komisi di DPRD tidak.

Lalu bagaimana dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD ?. Tugas Banggar DPRD disebut dalam Pasal 55 PP 16/2010 yang kemudian disalin dalam Tata Tertib DPRD. Ada sejumlah tugas (jika dibaca sebagai wewenang) Banggar dalam memberi usulan atau saran. Pertama, memberi saran atau pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD. Maksud dari ketentuan ini, saran dan pendapat Banggar disampaikan pada tahap pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA). KUA adalah tahap pertama dari 11 tahapan yang harus dilalui dalam proses penetapan APBD. Saran dan pendapat Banggar diformulasikan dalam bentuk pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh masing-masing fraksi dalam Banggar. Biasanya pembahasan KUA dilaksanakan setiap bulan Juni.

Kedua, tugas Banggar melakukan konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara. Jika ketentuan ini juga dibaca sebagai wujud memberi saran, usulan dan masukan, hal ini terjadi pada tahap pembahasan prioritas dan plafon anggaran sementara yang disebut PPAS. Pembahasan PPAS adalah tahap ketiga dari serangkaian proses dan biasanya dilakukan antara bulan Juli-Agustus.

Selebihnya tugas dan wewenang Banggar tidak ada lagi yang berkaitan dengan memberi usul, pendapat, masukan atau saran atas rancangan APBD. Saran dan pendapat kembalidimiliki oleh Banggar dalam (1) rancangan APBD perubahan ; dan (2) pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Bahkan dalam Pasal 55 PP 16/2010, kewenangan Banggar dalam melakukan pembahasan bersama dengan tim anggaran pemerintah daerah sebatas tahapan pembahasan KUA dan PPAS. Seperti diketahui dalam pembahasan KUA dan PPAS, rincian jenis kegiatan dan alokasi anggaran belum ada, karena baru bersifat umum untuk dijadikan dasar atau pedoman penyusunan rancangan APBD.

Rancangan APBD yang dimintakan persetujuan pada DPRD dilaksanakan pada tahap akhir atau tahap ke-11 yang biasanya dilaksanakan pada akhir bulan Desember. Dalam rancangan APBD tersebut memang sudah termuat rincian kegiatan beserta nilai anggaran. Namun, DPRD tidak memiliki kewenangan untuk membahas secara terperinci hingga jenis dan kegiatan atau sampai satuan tiga. Apalagi memberi saran, pendapat, usulan, atau masukan perihal pelbagai macam kegiatan beserta besar anggarannya. Kewenangan DPRD dalam hal ini Banggar atau Komisi yang memberi saran, usulan, pendapat dan masukan hanya sebatas pada tahap pembahasan KUA dan PPAS. Atau hal-hal yang bersifat umum, makro dan kebijakan. Bukan masuk pada tahapan teknis, dan macam-macam kegiatan.

Andaipun komisi terkait misalnya Komisi D memanggil Kepala Dinas Pendidikan hanya dalam rangka meminta penjelasan lebih lanjut. Keterangan atau penjelasan Kadis Pendidikan itu menjadi pertimbangan Komisi untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas rancangan APBD yang diajukan. Bukan memberi usulan berupa jenis kegiatan tertentu beserta besaran anggarannya.

Tetapi dugaan saya, anggota DPRD saat ini termasuk anggota DPRD DKI Jakarta adalah “orang baru/ wajah baru” yang dilantik pada 1 Oktober 2014. Dimana proses pembahasan KUA dan PPAS yang sudah terjadi sejak bulan Juni 2014 tidak seluruhnya diikuti dan dipahami. Khusus DPRD DKI Jakarta, ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudiyang merangkap sebagai Ketua Banggar dan Wakil Ketua M. Taufik dari fraksi Gerindra yang juga merangkap sebagai Wakil Ketua Banggar adalah “wajah baru”.Mereka tidak terlibat dalam proses pembahasan KUA dan PPAS sebelumnya. Padahal KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Gubernur DKI Jakarta dengan pimpinan DPRD– yang saat itu dijabat oleh Ferriyal Sofyan. Dengan kata lain, anggota DPRD DKI Jakarta yang 70 persen adalah wajah baru hampir tidak mengikuti proses pembahasan draft APBD 2015 yang sudah dilakukan sejak bulan Juni 2015. Dan baru ikutserta di ujung tahapan. Oleh karena itu, peluang memberi usulan proyek “siluman” dilakukan pada tahapan akhir proses penetapan APBD.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun