(Golput Masih Tinggi)
(Oleh : Hendra Poetra Hista)
Rabu (9/4) kemarin adalah pesta demokrasi tepatnya yaitu hari PEMILU legislatif DPR RI, DPD, DPRD kabupten/kota, dan DPRD Provinsi. Pada hari itu, hampir seluruh rakyat Indonesia melakukan pemilihan para wakil rakyat ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
Di TPS 4 (Tempat Pemungutan Suara) yang berada di Desa Turus berjalan dengan kondusif. Tapi, sangat disayangkan untuk pemilu tahun ini hanya 72,44% saja yang memberikan hak suaranya atau sekitar 276 pemilih dari 381 yang tercatat di DPT (Daftar Pemilih Tetap) pada TPS 4 tersebut. Itu pun terdapat surat suara yang tidak sah. Untuk surat suara yang tidak sah DPR RI sebanyak 16 surat suara, DPD sebanyak 15 surat suara, DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 11 surat suara, dan DPRD Provinsi sebanyak 10 surat suara. Yang tidak memberikan hak pilihnya sekitar 27,56% atau sekitar 105 pemilih. Hal ini, menurut saya sangat besar sekali, karena masih saja masyarakat memilih untuk golput (golongan putih) ketimbang memberikan hak suaranya.
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan bahwa jumlah pemilih golput di Indonesia untuk tahun ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan angka golput dari tahun ketahun. Pada tahun 2004 pemilih yang golput sekitar 23,34%, tahun 2009 sekitar 29,14%, dan tahun 2014 sekitar 34,02%.
Adapun beberapa alasan yang saya dapatkan diantaranya : Pertama tidak adanya waktu untuk melakukan pencoblosan. Ini dikarenakan sempitnya waktu libur yang diberikan oleh oleh pihak sekolah/perguruan tinggi dan perusahaan kepada mereka yang memiliki hak suara. Teman saya, sebut saja lilis. Dia kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri di serang. Dia memilih untuk golput saja karena jika harus pulang untuk mencoblos terlalu capek dan ongkos yang besar. Karena besoknya harus ngampus lagi. Banyak juga teman-teman saya yang bekerja di kota mereka memilih untuk golput karena tidak diberikan dispensasi baagi mereka. Coba bayangkan, kami yang tinggala di daerah peloksok Desa ini sangat kewalahan jika harus pulang hanya sebentar saja. Masih mending kalau jalannya aspal tapi ini berlumpur.
Kedua ketidak percayaan masyarakat terhadap elit politik sekarang. Banyak yang berkata untuk apa kita memilih jika kita yang selalu ditindas dan menderita. Merekalah yang menikmati hasil mereka sendiri. Bahkan janji hanya tinggal janji tidak ada realisasinya. Kami di Desa yang merasakan itu semua. Banyaknya elit-elit politik yang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Ketiga kurangnya sosialisasi dari para calon legislatif. Dari sekian banyak calon yang menjadi peserta pemilu tahun ini, tidak ada satu pun yang mau singgah ke Desa kami. Tidak sedikit masyarakat yang tidak tahu siapa yang harus mereka pilih. Karena tidak ada satu pun calon yang mau turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi masyarakat di desa kami.. Bahkan saking pusingnya mungkin masyarakat banyak yang hanya mencoblos partainya ketimbang calonnya. Dari sekian pemilih mereka rata-rata tidak mengetahui calon wakil rakyat tersebut. Jangankan visi misi calon orangnya pun tidak tahu.
Harapan kami bagi siapa pun yang jadi wakil kami ia bisa memperjuangkan yang menjadi hak-hak rakyat dan mau melihat kondisi rakyat di pedesaan. Alangkah mirisnya bagi kami jika di era yang serba maju ini jalan saja masih banyak kubangan-kubangan yang mungkin bisa dijadikan kolam pemancingan. Lihatlah itu semua wahai para penguasa jangan memikirkan isi perut sendiri kalau mau jadi wakil rakyat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H