Undang-Undang telah mengatur bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya, yang diwujudkan oleh pemerintah melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan dilaksanakan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dibentuk sebagai badan hukum publik penyelenggara SJSN, bukan sebagai organ pemerintah berdasarkan Undang-Undang.
Berbagai manfaat jaminan sosial di bidang kesehatan yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan sudah dapat dirasakan oleh masyarakat, walaupun tetap masih menyisakan kekurangan dan permasalahan.
Salah satu kekurangan tersebut adalah keterlibatan Dinas Kesehatan dalam proses kredensialing atau rekredensialing penentuan kerja sama fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang disebabkan ketidakjelasan status badan hukum BPJS Kesehatan.
Ketidakjelasan tersebut membawa implikasi pada hal-hal teknis lainnya, namun dalam tulisan ini hanya dibahas mengenai keterlibatan Dinas Kesehatan.
Pertanyaan “BPJS Kesehatan sebagai regulator atau operator?” kerap muncul dalam diskusi dan perbincangan di kalangan penyelenggara pelayanan kesehatan, baik praktisi mandiri, pemberi layanan kesehatan maupun penyelenggara manajemen pada fasilitas kesehatan.
Konteks di atas kemudian berkembang menyoroti kewenangan BPJS Kesehatan dalam penentuan persetujuan dan pembayaran atas klaim fasilitas kesehatan, yang tidak jarang dianggap melampaui kewenangan staf medis dalam penentuan pemberian pelayanan terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan.
Namun pada sisi lain, BPJS Kesehatan seolah tidak mempunyai kewenangan dalam penentuan kelayakan sebuah fasilitas kesehatan yang hendak bekerja sama dengannya.
Dalam hal ini BPJS Kesehatan perlu melaksanakan proses kredensialing atau rekredensialing dengan melibatkan dinas kesehatan setempat dan atau asosiasi fasilitas Kesehatan sesuai dengan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015. Padahal prinsip Perjanjian Kerja Sama antara dua subyek hukum, ditentukan berdasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan prinsip kesetaraan. Fasilitas Kesehatan yang akan mengadakan atau memperpanjang kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melalui proses kredensialing atau rekredensialing yang melibatkan Dinas Kesehatan setempat dan organisasi fasilitas kesehatan.
Sejauh mana keterlibatan dan peran dinas kesehatan dalam pengambilan keputusan penentuan kerja sama antara fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan. Ketidakjelasan status kelembagaan BPJS Kesehatan menimbulkan kerancuan hukum dalam pelaksanaan kredensialing. Sebagai badan hukum publik penyelenggara asuransi sosial, BPJS Kesehatan tidak mempunyai kewenangan dalam pembuatan regulasi yang bersifat mengatur, dalam hal ini menentukan sebuah fasilitas kesehatan layak atau tidak sebagai pelaksana pelayanan kesehatan terkait SJSN.
Oleh karena itu norma hukum yang mengatur keterlibatan dinas kesehatan tidak dapat berbentuk regulasi yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan, namun berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Kesehatan (prinsip legislative delegation of rule-making power).
Izin operasional sebuah fasilitas kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tentu harus melalui kajian yang dilakukan oleh dinas kesehatan berupa rekomendasi atas sertifikat standar yang menjadi persyaratan perizinan usaha berbasis risiko melalui aplikasi Online Single Submission (OSS).
Secara tidak langsung dapat diartikan bahwa apabila dinas kesehatan tidak merekomendasikan sebuah fasilitas kesehatan untuk bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan tersebut tidak layak untuk diberikan izin operasional.
Dengan demikian praktik kredensialing atau rekredensialing yang melibatkan dinas kesehatan dapat diartikan hanya sebatas memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, penentuan sesungguhnya adalah BPJS Kesehatan itu sendiri.
Dalam hal ini BPJS Kesehatan telah memiliki ketentuan internal BPJS Kesehatan dalam bentuk instrumen penilaian pemenuhan persyaratan kelayakan sebuah fasilitas kesehatan untuk mengadakan perjanjian kerja sama, termasuk penentuan besaran persentase pembayaran klaim atas Tarif INA-CBG. Persyaratan mana yang bahkan melampaui ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai persyaratan perizinan suatu fasilitas kesehatan.
Sebagai badan hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang, dapat dikatakan bahwa BPJS Kesehatan berbentuk badan hukum hybrid, yakni sebagai badan hukum publik yang melaksanakan fungsi asuransi sosial dan sekaligus sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Mengingat peran BPJS Kesehatan yang sangat penting dalam melaksanakan SJSN, maka seyogyanya BPJS Kesehatan secara tegas ditetapkan sebagaimana layaknya lembaga negara sehingga dapat menentukan sendiri kelayakan suatu fasilitas kesehatan untuk dapat membuat perjanjian kerja sama, sehingga dapat mengembalikan fungsi dinas kesehatan dalam pemberian rekomendasi kelayakan perizinan suatu fasilitas Kesehatan.
Penegasan status kelembagaan BPJS Kesehatan sebagai organ negara akan mempermudah pemerintah dalam pengaturan teknis pelayanan kesehatan sebagaimana dikehendaki oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional, tanpa perlu perlu membentuk regulasi berupa Peraturan Presiden dan atau Peraturan Menteri Kesehatan sebagai payung hukum bagi BPJS Kesehatan dalam melaksanakan kegiatannya.
Analogi dengan Bank Indonesia, badan hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini memiliki status sebagai lembaga negara, dimana pimpinan Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam menetapkan regulasi yang bersifat mengatur dan diumumkan dalam Lembaran Negara.
Lembaga negara ini merupakan Lembaga pelaksana undang-undang dan sekaligus merupakan Lembaga pengatur lebih lanjut peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai peraturan sekunder (secondary legislation, secondary implementing regulation).
Saat ini, regulasi yang dibuat oleh BPJS Kesehatan belum mempunyai kekuatan dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, karena pada sisi lain BPJS Kesehatan merupakan badan hukum yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan asuransi sosial (asuransi kesehatan), yang merupakan metamorfosis dari PT Askes. Tbk.
Dengan demikian BPJS Kesehatan pada akhirnya dapat menentukan sendiri pengambilan keputusan dalam proses kredensialing dan rekredensialing fasilitas kesehatan yang akan mengadakan perjanjian kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Sebagai suatu organisasi yang mengelola kepesertaan asuransi sosial dalam jumlah yang sedemikian besar, tentunya penyelenggara manajemen BPJS Kesehatan dapat melibatkan ahli hukum di bidang ketatanegaraan dan atau asuransi kesehatan, yang mampu mengusulkan kepada Presiden sebagai atasan langsung Direksi BPJS Kesehatan, regulasi yang sesuai dengan ketentuan hirarki peraturan perundang-undangan.
Dengan berjalannya waktu dan adanya kerancuan status badan hukum BPJS Kesehatan, tanpa upaya konkrit dari organ BPJS Kesehatan dapat diartikan status badan hukum hybrid inilah yang memang dikehendaki oleh BPJS Kesehatan agar dapat tetap membentuk regulasi yang bersifat pengaturan melalui organ negara yang ada dan sekaligus sebagai Badan Usaha Milik Negara yang dapat mengelola aset dan mengusulkan standar gaji pimpinan dan karyawannya secara mandiri tanpa kewajiban mengikut ketentuan sebagai lembaga negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H