Saya kira, dalam kehidupan sehari-hari kita memang tidak bisa terlepas dari  doktrin. Doktrin sendiri merupakan bentuk tindakan mengharuskan atau  memaksakan bahwa suatu hal diyakini dan dibenarkan seperti yang  disampaikan.Â
Pada dasarnya manusia secara genealogis terikat dengan  doktrin. Dalam artian lain, doktrin itu 'memasung' kemerdekaan berpikir  individu.
Jenis dari doktrin itu sendiri beragam. Secara hierarki,  doktrin itu dapat dikerucutkan atas: doktrin teologis; doktrin politis;  doktrin ideologis dan doktrin filosofis. Doktrin tersebut terekam dan  diyakini melalui 3 'lembaga normatif': Lingkungan-keluarga, Agama dan  Negara.
Hal ini senada dengan pandangan Empirisme dari John Locke  yang menjelaskannya melalui konsep teori tabula rasa, bahwa seseorang manusia lahir  ke dunia tanpa isi mental bawaan; dengan kata lain "kosong" bagai kertas  putih yang bersih, di mana seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit  demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi panca inderanya terhadap  di dunia diluar dirinya dengan terpengaruh melalui 3 lembaga normatif  tersebut.
Itu sebabnya dikatakan bahwa manusia paling suci serta  bersih dari dosa adalah bayi, karena pikirannya masih kosong dan akan  diisi seiring perjalanan usianya.
Hal yang perlu ditegaskan, pada dasarnya doktrin adalah sesuatu yang memiliki nilai  kebenaran yang relatif karena bersifat dependensi terhadap 3 lembaga  normatif. Artinya, doktrin dapat dikemas dan dibingkai sedemikian rupa  berdasarkan pengaruh 3 lembaga normatif tersebut. Contoh doktrin dalam  hal ideologi Negara.
Pada umumnya -- jika negara tersebut tertutup  terhadap dunia internasional -- warga negara tersebut pasti begitu  mengkultuskan ideologi kebangsaannya sekalipun hal tersebut buruk dan konyol serta  menganggap ideologi lain itu tak seagung ideologi negaranya. Pun begitu  sebaliknya pandangan negara lain terhadap terhadap ideologi negara  eksklusif tersebut.
Doktrin di sini bersifat fleksibel dan lentur  tergantung kemampuan subjek yang menerimanya. Doktrin dapat jinak dan  ramah terhadap doktrin lain ataupun menjadi buas dan beringas terhadap  hal yang bersinggungan dengan doktrin lain. Hal tersebut kemudian  menjadi sebuah ironi ketika isi kepala dikuasai oleh doktrin.
Doktrin  yang dipahami secara overdosis ini merupakan patologi yang rasa-rasanya  tidak dapat dihilangkan. Banyak manusia ketika mendapat asupan --yang  tidak dibarengi dengan daya pilah memilah -- dari doktrin secara over- dosis ini, justru mengubah wajah doktrin yang awalnya ramah menjadi buas  atau beringas.
Dengan kata lain, doktrin tersebut menjadi  bersifat destruktif (merusak). Misal, dalam hal doktrin Nasionalisme  yang kadang kala dipahami secara tekstual dan akut hingga menimbulkan pola  pikir chauvinisme atau fasisme. Banyak orang tak mengerti terhadap  esensi nasionalisme terhadap negara serta unsur-unsur pendukung perekat  rasa nasionalisme itu.
Banyak paham yang mereduksi nasionalisme  itu hanya sebatas pada instrumen kedaulatan dan batas wilayah. Padahal  unsur-unsur yang menumbuhkan dan merekatkan rasa nasionalisme itu adalah  rasa keadilan, pemerataan dan kesetaraan maupun persoalan kesejahteraan  masyarakat.
Ketika itu terpenuhi, rasa nasionalisme itu tumbuh  dengan sendirinya. Kini yang menjadi persoalan, adalah bagaimana mungkin  kita bicara nasionalisme ketika unsur tersebut tidak terpenuhi?
Maka  kemudian mereka yang tidak tersentuh dan menerima unsur-unsur perekat  tersebut menuntut kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan para  Nasionalis (sempit) yang bermetamorfosa menjadi Chauvinis kemudian  melabeli mereka melakukan tindakan separatisme dan makar. Hal yang  menggelikan!
Padahal tujuan adanya negara itu sendiri untuk  mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama masyarakat.Â
Ketika  kemudian hal tersebut tidak terealisasi secara merata melalui negara  dengan skala teritorial yang lebih luas, bukan kah lebih baik untuk  dicoba melalui beberapa negara bagian dengan skala teritorial lebih  kecil? Demi tercapainya tujuan dari adanya sebuah negara bukan?
Pun  demikian dalam doktrin teologis yang jika dipahami secara overdosis  akan memunculkan fundamentalisme dan paham ekskusivisme, di mana bagi  mereka, kebenaran hanya milik mereka. Tidak ada ruang bagi dogma-dogma  lain untuk berekspresi dan menunjukkan eksistensi.Â
Pola-pola berpikir  yang kemudian menciptakan jiwa manusia yang antisosial dan paranoid.  Selain itu, doktrin teologis yang akut juga turut menciptakan kekacauan  berpikir dan hilangnya daya nalar.
Hal-hal yang di luar kewarasan  dan melanggar rasa kemanusiaan pun dapat begitu mudahnya dilakukan. Hal  yang menjadi persoalan kemudian ialah dampak dari 'Euforia doktrin' nya  kepada orang lain.
 Ibarat kata, dia yang melalukan onani-ria, namun kita  yg terkena dampak dari hasil nafsunya. Singkatnya, aksi radikalisme  dari delusi ria nya terhadap nirwana maupun surgawi harus menumbalkan  kehidupan orang lain demi delusi kehidupan surgawi hasil onaninya.  Sungguh ironis.
Pola-pola doktrin destruktif demikianlah  yang harus kita hindari. Bagaimana caranya? Mulai lah berpikir terbuka  dan berani keluar dari ruang yang mengkotak-kotakan paradigma berpikir.  Serap dan pahamilah doktrin sesuai dengan porsinya. Sebab, kita memang  tidak dapat menghindar dari doktrin.
Maka selektiflah dan  belajarlah untuk membandingkan doktrin tersebut dengan lainnya serta  memahaminya melalui skema Dialektika dimana tesis (kebenaran awal)  dibenturkan dengan anti-tesis (sangkalan terhadap kebenaran tersebut)  untuk kemudian menghasilkan sintesis (kolaborasi dari hasil tersebut  untuk mendapat kebenaran lebih tinggi).
Pada akhirnya  memang, persoalan doktrin merupakan persoalan kemampuan memilah individu terhadap doktrin. Jika pun demikian, namun yang pasti harus dipegang  teguh adalah ketika doktrin yang kita terima ternyata bertentangan  dengan suara hati dan rasa kemanusiaanmu, maka tinggalkanlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H