Mohon tunggu...
Hendra Sinurat
Hendra Sinurat Mohon Tunggu... Administrasi - Pengangguran

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Doktrin yang Mengekang

15 Agustus 2018   21:40 Diperbarui: 15 Agustus 2018   23:08 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika itu terpenuhi, rasa nasionalisme itu tumbuh  dengan sendirinya. Kini yang menjadi persoalan, adalah bagaimana mungkin  kita bicara nasionalisme ketika unsur tersebut tidak terpenuhi?

Maka  kemudian mereka yang tidak tersentuh dan menerima unsur-unsur perekat  tersebut menuntut kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan para  Nasionalis (sempit) yang bermetamorfosa menjadi Chauvinis kemudian  melabeli mereka melakukan tindakan separatisme dan makar. Hal yang  menggelikan!

Padahal tujuan adanya negara itu sendiri untuk  mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama masyarakat. 

Ketika  kemudian hal tersebut tidak terealisasi secara merata melalui negara  dengan skala teritorial yang lebih luas, bukan kah lebih baik untuk  dicoba melalui beberapa negara bagian dengan skala teritorial lebih  kecil? Demi tercapainya tujuan dari adanya sebuah negara bukan?

Pun  demikian dalam doktrin teologis yang jika dipahami secara overdosis  akan memunculkan fundamentalisme dan paham ekskusivisme, di mana bagi  mereka, kebenaran hanya milik mereka. Tidak ada ruang bagi dogma-dogma  lain untuk berekspresi dan menunjukkan eksistensi. 

Pola-pola berpikir  yang kemudian menciptakan jiwa manusia yang antisosial dan paranoid.  Selain itu, doktrin teologis yang akut juga turut menciptakan kekacauan  berpikir dan hilangnya daya nalar.

Hal-hal yang di luar kewarasan  dan melanggar rasa kemanusiaan pun dapat begitu mudahnya dilakukan. Hal  yang menjadi persoalan kemudian ialah dampak dari 'Euforia doktrin' nya  kepada orang lain.

 Ibarat kata, dia yang melalukan onani-ria, namun kita  yg terkena dampak dari hasil nafsunya. Singkatnya, aksi radikalisme  dari delusi ria nya terhadap nirwana maupun surgawi harus menumbalkan  kehidupan orang lain demi delusi kehidupan surgawi hasil onaninya.  Sungguh ironis.

Pola-pola doktrin destruktif demikianlah  yang harus kita hindari. Bagaimana caranya? Mulai lah berpikir terbuka  dan berani keluar dari ruang yang mengkotak-kotakan paradigma berpikir.  Serap dan pahamilah doktrin sesuai dengan porsinya. Sebab, kita memang  tidak dapat menghindar dari doktrin.

Maka selektiflah dan  belajarlah untuk membandingkan doktrin tersebut dengan lainnya serta  memahaminya melalui skema Dialektika dimana tesis (kebenaran awal)  dibenturkan dengan anti-tesis (sangkalan terhadap kebenaran tersebut)  untuk kemudian menghasilkan sintesis (kolaborasi dari hasil tersebut  untuk mendapat kebenaran lebih tinggi).

Pada akhirnya  memang, persoalan doktrin merupakan persoalan kemampuan memilah individu terhadap doktrin. Jika pun demikian, namun yang pasti harus dipegang  teguh adalah ketika doktrin yang kita terima ternyata bertentangan  dengan suara hati dan rasa kemanusiaanmu, maka tinggalkanlah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun