Tak dapat dipungkiri, beberapa tahun belakangan Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut HAM) menjadi aksis utama dan indikator peradaban sebuah negara.
Hampir semua negara-negara di dunia ini mengakui hak-hak asasi manusia sebagai bagian hakiki dari konstitusi mereka. Terlebih semenjak adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 yang turut juga diratifikasi tiap negara isi deklarasi tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya.
Kredit khusus layak diberikan kepada negara Indonesia yang sudah memuatnya terlebih dahulu dalam Pembukaan UUD 1945, dan secara ekspilisit lagi pada pasal 28. Dalam hal inisiasi ini kita patut berbangga hati. Ini mengindikasikan para pendiri bangsa kita selangkah lebih maju dalam merumuskan dan menjamin HAM sebagai bagian hakiki dan penting terhadap identitas bangsa.
Ya, meskipun ada interval tahun cukup panjang terkait keinginan untuk penguatan dan perlindungan HAM dengan membuat aturan khususnya, yakni baru terwujud saat periode transisi Orde Baru ke Reformasi dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 21 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam artian lain, ada sekitar 54 tahun (1945-1999) semacam pembiaran (kelupaan?) dari lintas-rezim yang memerintah di masa itu terhadap keinginan untuk menguatkan aturan khusus tentang HAM.
Tentu, HAM sebagai sebuah gagasan, paradigma, serta kerangka konseptual tidak lahir secara tiba-tiba dan terumus begitu saja. Ada benang merah lintas-zaman dari sumbangsih pikiran para filsuf dan negarawan memberikan fondasi kuat terhadap HAM.
Namun, layaknya sebagai sebuah konsep dan pemikiran besar lainnya, HAM sendiri tidak terlepas dari kontradiksi dan pertentangan. Singkatnya, HAM juga menawarkan keparadoksalannya, baik dalam gagasan definisi maupun pelaksanaannya.
HAM dan Keparadoksalannya
Dalam banyak pandangan umum, HAM sendiri sering dipahami sebagai hak alamiah manusia yang dimiliki semenjak dari lahir, bahkan sejak dalam kandungan (apakah embrio sudah memiliki HAM? Tentu, ranah Ilmu Etika yang menjawab pro-kontra demikian).
Pandangan ini tidak terlepas dari gagasan filsuf Inggris, John Locke yang merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Gagasan tersebut merupakan pionir yang memberikan sumbangsih signifikan untuk memberikan kesadaran kolektif kepada manusia tentang adanya HAM.
Di beberapa referensi populer, HAM sendiri adalah hak yang dimiliki manusia karena martabatnya sebagai manusia, dan bukan diberikan oleh masyarakat atau negara. Manusia memilikinya karena dia manusia, maka hak asasi itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara.