Untuk konteks keindonesiaan, sejarah sudah merekam dengan baik setiap kasus dan tragedi (besar) tersebut, mulai dari Genosida 65, Tragedi Tanjung Priok, Penembakan Mahasiswa Trisakti tahun 1998, Tragedi Semanggi, dan bahkan Gerakan Kelompok Separatis yang ingin memerdekakan diri karena merasa di anak-tirikan.
Hal yang juga turut menjadi ironi ialah sering kali setiap bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui alat negaranya maupun kelompok tertentu dianggap bukanlah sebuah dosa, kesalahan, dan kejahatan. Lebih ekstrim lagi, malah sebagai dianggap sebuah prestasi.
Sebab setiap pelaksanaan pelanggaran tersebut dikemas dalam sebuah pengabdian untuk menjaga kepentingan (penguasa), keutuhan, dan stabilitas negara. Belum lagi penyelesaian kasus tersebut berjalan mandeg dan terpendam dalam kurun waktu yang lama.
Melihat HAM dengan berbagai keparadoksalannya, penulis melihat persoalan HAM tetaplah akan menjadi sebuah persoalan sepanjang manusia itu ada. Setiap negara akan senantiasa diliputi dengan corak pelanggaran terhadap HAM. Yang membedakannya hanyalah bobot pelanggarannya: berat dan ringan, besar dan kecilnya pelanggaran.
John Locke sebagai pionir terhadap rumusan pengakuan HAM ini juga mungkin tak akan menduga gagasan baiknya tentang HAM akan menimbulkan polemik. Adagium "HAM itu ada dan diakui senantiasa untuk dilanggar" akan senantiasa berkembang liar dalam persepsi masyarakat baik dulu, kini, dan akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H