Mohon tunggu...
Hendra Sinurat
Hendra Sinurat Mohon Tunggu... Administrasi - Pengangguran

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hak Asasi Manusia, Tema yang Tak Memiliki Ujung

12 Agustus 2018   20:16 Diperbarui: 12 Agustus 2018   20:52 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pasal 1 butir 1UU No. 39 Tahun 1999 sendiri memberikan pengertian HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dari beberapa pengertian di atas, diperoleh kata kunci terhadap HAM: sebagai hak alamiah dan hak yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Singkatnya, hak ini bersifat hakiki dan tidak boleh diganggu gugat.

Namun, pengertian ini juga menawarkan ke-kontradiktifannya, sebagaimana juga dikemukakan filsuf Hannah Arendt.

Hannah Arendt mengemukakan bahwa HAM sebagai hak alamiah manusia (dia memakai istilah "hak pra-politis"; sesuatu hak yang dimiliki bahkan sebelum adanya negara) justru tidak akan diakui ketika HAM tersebut tidak diakui oleh negara dan individu tersebut tidak masuk dalam bagian instrument dan kontrak sosial bernama negara.

Filsuf wanita ini memberikan ilustrasi di mana kaum pencari suaka yang non-kewarganegaraan, tidak ada negara yang mengakui dan melindungi HAM mereka. Perhatian dunia terhadap nasib mereka tak lebih digerakkan atas sebuah simpati, empati, dan solidaritas.

Dari sini, penulis melihat pengertian populer terhadap HAM sebagai hak alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir layak diperdebatkan. HAM bukanlah hak yang bersifat pra-politis namun pasca-politis penulis melihat, HAM itu memerlukan pengakuan dan perlindungan dari negara. HAM ada ketika manusia masuk dalam bagian intrumen sosial bernama negara.

Ketika manusia tidak masuk dalam bagian negara, maka (pengakuan dan perlindungan) HAM pada manusia tersebut tidak ada. Lebih jauh lagi, penulis melihat bahwa kriteria terhadap HAM pun didikte oleh negara. Ini sebabnya tafsir terhadap HAM di tiap negara berbeda. Sederhananya, HAM itu ada ketika negara juga ada.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa negaralah yang mengakui dan melindungi HAM. Singkatnya, negara adalah wadah pelaksanaan HAM.

Namun, HAM sebagai sebuah implementasi juga menawarkan kekontradiktifan. HAM sebagai instrumen hak yang diakui dan (kriterianya) ditentukan oleh negara justru sering kali yang melakukan pelanggaran masif terhadap HAM tersebut.

Human Rihgts Paradox untuk meminjam istilah Abdullahi Ahmed An Na'im, seorang pemikir HAM dari Sudan yang mengatakan, pada satu sisi ide, gagasan dan HAM begitu kuat (powerful) pada negara melalui pemerintahannya, tetapi pada sisi lain pelanggaran HAM terus berlangsung secara sistematis yang dilakukan oleh aparat negara dan hampir tanpa enforcement.

Yang menarik perhatian penulis, sering kali bentuk pelanggaran HAM tersebut dilakukan atas nama mempertahankan kepentingan (penguasa), keutuhan, dan stabilitas negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun