Mohon tunggu...
Hendra Sinurat
Hendra Sinurat Mohon Tunggu... Administrasi - Pengangguran

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Refleksi Konsep Hukum sebagai Relasi Perjumpaan Masyarakat dan Norma

6 Agustus 2018   18:42 Diperbarui: 6 Agustus 2018   21:00 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk soal hukum, entah mengapa narasi-narasi yang cenderung berkembang dan populer hanya melihat hukum dari pendekatan yuridis belaka. Pun demikian, ketika membicarakannya dalam bingkai akademik ala universitas -- terlebih di daerah -- para pendidiknya juga turut menggiring dalam tataran yuridis saja. Padahal hukum sebagai "kreasi gigantik" itu memiliki pendekatan multi-perspektif. Sekecilnya dapat diklasifikasi dari 3 perspektif, yakni filosofis, yuridis, dan sosiologis. 

Dalam hal tulisan ini, saya coba merefleksikan hukum. Terlebih jika meniliknya sebagai gejala sosial. Tentu tulisan ini tidak bersifat dogmatis-doktrinal. Hanya sekedar saya refleksi saja. 

Saya kira ketika berbicara hukum tentu juga berbicara entitas makhluk bernama manusia; suatu makhluk yang (diklaim) memiliki keistimewaan karena akalnya. Artinya, hukum ada ketika manusia -- dalam pemahaman majemuk -- turut juga ada. Tidak ada hukum -- tercipta dan dicipta -- dalam entitas makhluk lainnya. Itu sebabnya subjek utama hukum adalah manusia dan pada kenyataannya memang cuma manusia itu sendiri, meski dalam lintasan sejarah peradaban ini sendiri pernah satu waktu hewan pun dijadikan sebagai subjek hukum.

 Namun, tiada hukum pada manusia dalam individu. Hukum ada ketika manusia sebagai sebuah bagian, baik skala komunitas maupun masyarakat. Manusia sendiri bisa ditelusuri dari dua sisi: sebagai individu dan sebagai entitas sosial.

Pada mulanya semua manusia adalah individu. Seiring dengan perkembangan daya pikiran, kebutuhan, dan kepentingan, manusia sebagai individu membentuk unit sosial dalam skala kelompok guna pemenuhan aspek-aspek tersebut.

Kelompok manusia demikian melakukan kerjasama positif dalam upaya mengejar kehidupan yang layak sebagai manusia. Filsuf Yunani, Aristoteles memberikan istilah terhadap perangai manusia tersebut sebagai zoon politicon; makhluk yang pada dasarnya ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia.

Ketika manusia semakin berkembang, baik dalam populasi maupun kemampuan, serta kebutuhan semakin mendesak dan kompleks, hingga terkadang melahirkan perselisihan antar kelompok dan konflik, manusia merasa perlu menyelaraskan ide dan kebutuhan dengan kelompok manusia lainnya dengan menciptakan sebuah tatanan bernama masyarakat. Ya, sebagai bentuk wadah individu plus individu dan kelompok plus kelompok tersebut.

Pun demikian, bicara masyarakat sebagai wadah kelompok plus kelompok ialah soal bagaimana mempertahankan kepentingan kelompok dan ego-sektoral masing-masing. Maka, diperlukan sebuah aturan yang mengakomodir kepentingan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Yang demikian disebut norma; suatu aturan yang lahir dari hasil pertentangan dan penyelarasan kepentingan-kepentingan antar kelompok manusia yang dirasa perlu dilindungi dan diakomodasi berdasarkan kesepakatan dan  selaras serta tidak bertentangan dengan kodrat alam.

Sebagai suatu akomodasi kepentingan antar kelompok, dari sini, bisa dilihat suatu norma juga turut terbentuk karena dua hal:

Pertama, adanya perjumpaan dua atau lebih aturan dan kepentingan kelompok yang secara komposisi memiliki pengaruh sama kuat, namun dapat diselaraskan hingga bersama-sama membentuk norma masyarakat warga.

Tentu, pertanyaannya adalah, sebagai perjumpaan kepentingan dan pertentangan antar-kelompok, bagaimana terbentuk suatu kesepakatan norma? Bagi penulis, tawaran pandangan seperti yang diuraikan J. J Rosseau sangat tepat untuk menjawabnya, bahwa  Kepentingan tersebut harus dibedakan antara kehendak umum dan kehendak masing-masing.

Kehendak umum jelas menyangkut kepentingan bersama, seperti kepentingan akan adanya keamanan, kenyamanan, dan keadilan. Kehendak masing-masing menyangkut kepentingan kelompok dan karena sebuah kepentingan kelompok, ya, tentu saja itu tidak akan pernah sama. Kedua kehendak tersebut disaring (atau memakai istilah ontalek, ehh intelek sebagai sebuah dialektika) hingga mendapatkan kehendak mayoritas dan itu yang akan menjadi norma tersebut.

Kedua, adanya perselisihan dan konflik antar kepentingan kelompok yang melahirkan satu kekuatan kelompok yang mendominasi (hegemoni) dan memiliki pengaruh serta intervensi untuk membentuk norma masyarakat berdasarkan standar kelompok tersebut.

Singkatnya, norma hadir sebagai produk "rambu-rambu", baik berdasarkan konsensus (kelompok) masyarakat maupun kreasi figur (kelompok) masyarakat warga tertentu yang bernilai hegemoni dan  yang dirasa memiliki pengaruh dan implikasi positif bagi kebutuhan masyarakat tersebut.

Lebih jauh lagi, dibanyak catatan dan referensi bentuk norma itu sendiri terklasifikasi menjadi 4, yakni: 1).Norma Agama; 2). Norma Hukum; 3). Norma Kesopanan; dan 4). Norma Kesusilaan.

Penulis sendiri memberikan pandangan bahwa ke-empat norma tersebut bisa dilihat sebagai hasil dari 3 kreasi produk, yakni Norma Agama sebagai produk pewahyuan, Norma Kesusilaan dan Kesopanan sebagai produk Unit Kelompok Sosial atau Komunitas -- yang bersifat relatif -- dan Norma Hukum sebagai produk terakhir terhadap akumulasi dan penyelarasan akumulasi dari norma lainnya.

Tentu, kita harus melirik pemahaman Norma Agama di sini dipahami, dibatasi, dan direduksi dari sudut teologis belaka saja; bukan disinggung dari sudut antropologi guna menghindari pendekatan pemahaman yang multitafsir dan (pasti) berbeda. Norma Kesusilaan dan Kesopanan sebagai produk kreasi yang bersifat relatif. Ilmu Etika memasukkan norma demikian sebagai bagian dari Etiket atau Etika Perangai. Norma Hukum sebagai produk Norma terakhir yang disepakati sebagai akumulasi dan penyelarasan nilai-nilai dari norma-norma tersebut.

Himpunan norma-norma demikianlah yang menginisiasi dan melahirkan aturan-aturan yang bersifat konkrit bernama hukum -- lebih reduktif lagi, hukum dari sudut yuridis --seperti kita kenal saat ini. 

Berkaca dari hal itu, saya melihat bahwa pada akhirnya persoalan perkembangan masyarakat dan norma ialah persoalan penyelarasan, konflik, dan dominasi kelompok masyarakat tertentu. 

Saya kira, hal ini juga turut menjawab mengapa peradaban masyarakat impor, baik soal hukum, budaya, gaya hidup, agama, sistem ekonomi begitu berpengaruh dan dijadikan "standard kehidupan" di Republik Indonesia tercinta ini.

Tak lain, karena peradaban merekalah pemenangnya pertarungan dominasi itu, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun