Sabtu, 4 Agustus 2018 kemarin, KPU resmi membuka pendaftaran Capres-Cawapres di Pilpres 2019. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019, masa pendaftaran akan berlangsung selama 7 hari, yaitu 4-10 Agustus 2018. Pada 4-9 Agustus, KPU membuka waktu pendaftaran sejak pukul 08.00-16.00 WIB. Khusus 10 Agustus atau hari terakhir, KPU membuka pendaftaran lebih lama dari pukul 08.00-24.00 WIB.
Sampai saat esai ini dituliskan, masih belum jelas pasangan mana dan berapa pasangankah yang akan bertarung di Pilpres 2019? Meski -- sesuai dengan prediksi banyak kalangan -- langkah percaturan para partai politik sudah mengerucut kepada pengusungan 2 pasangan calon presiden, yakni (rematch Pilpres 2014) antara petahana Joko Widodo dan Prabowo Subianto, meski sampai saat ini belum jelas siapa nama wakil yang akan mendampingi mereka di Pilpres nanti. Nuansa rematch semakin kencang bergulir terlebih setelah Partai Demokrat resmi berkoalisi dengan Gerindra, di mana kesepakatan ini otomatis menggugurkan kemungkinan terbentuknya poros ke-3 di Pilpres 2019 nanti.
Hal yang menarik tentu memperkirakan siapa nama yang akan mendampingi Jokowi nanti. Sebagai petahana presiden Jokowi tentu akan mencari wakil yang sepikiran dan selaras, terlebih untuk mengerjakan program kerjanya yang masih belum selesai serta melihat figur yang mampu menambal  berbagai kekurangan dan kelemahan pemerintahannya di periode ini. Melihat hari ke hari, sebenarnya sudah banyak, baik figur partai koalisi maupun figur non-partai yang ingin menjadi (atau mencoba melirik) wakil presiden yang akan menemani Jokowi dalam Pilpres 2019.
Berbagai nama dari figur partai pengusung Jokowi pun mulai dihembuskan, baik dari parpol bernuansa hijau-religius seperti PKB dengan Muhaimin Iskandar-nya dan PPP dengan Romahurmuzyi-nya, maupun dengan parpol bernuansa nasionalis seperti Nasdem dengan Surya Paloh-nya, Hanura dengan Wiranto-nya, dan lain sebagainya. Dari kalangan militer pun turut berhembus, seperti Gatot Nurmantyo, Moeldoko, dan lain sebagainya. Turut juga figur nasional seperti Mahfud MD, Sri Mulyani, dan bahkan Susi Pudjiastuti.
Namun dari semua nama-nama beken yang dihembuskan di atas, penulis melihat dan perkirakan, amat kecil kemungkinan nama tersebut menjadi pendampingnya Jokowi. Mengapa? Ada beberapa pertimbangan penulis. Pertama, dengan elektabiltasnya saat ini, Jokowi tidak perlu pendamping yang memiliki popularitas berlebihan di kancah nasional. Dia hanya butuh pendamping yang mampu selaras dengan program kerjanya, "bersih" rekam jejaknya, dan cakap komunikasi politiknya -- sesuatu yang menjadi titik lemahnya di periode ini. Kedua, berbicara Pilpres 2019 bagi Jokowi dengan PDIP-nya tentu juga berbicara soal prospek dan regenerasi figur yang akan diusung PDIP di Pilpres 2024 nanti.
Seperti diketahui, jika Jokowi memenangkan kontestasi Pilpres 2019, maka bisa dipastikan dia tidak diusung kembali untuk ke-tiga kalinya di Pilpres 2024 nanti, sebab amanat UUD 1945 hanya memberikan batasan kepemimpinan Presiden hanya 2 kali berturut-turut.Mengusung figur wakil Jokowi dengan popularitas cukup, terlebih dari figur Partai lain bisa menjadi "blunder"yang dapat membenamkam peluang PDIP untuk mencalonkan figur presiden dari partainya di 2024 nanti.Â
Berkaca dari pertimbangan demikian, penulis memandang Jokowi akan memilih pendampingnya yang "biasa-biasa saja". Siapa dia? Figur itu dapat dialamatkan pada Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Jokowi sendiri sudah memberikan sinyal-sinyal demikian. Tercatat, kalau kita jeli menangkap sinyal itu, jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dalam rangkaian kunjungan kerjanya. Seperti dari beberapa pertemuan yang diadakan Jokowi di beberapa daerah selalu diajak Airlangga Hartarto yang beberapa diantaranya sebenarnya tidak berhubungan dengan kapasitas Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Penulis kira, ini adalah gesture politik untuk mengenalkannya ke masyarakat luas di daerah.
Memang, Airlangga Hartarto bukan politisi baru namun tidak termasuk hingar-bingar di kancah perpolitikan nasional. Tercatat, dia sudah menjadi Anggota DPR sejak 2004 lalu. Namun dia relatif kurang populer. Dari perspektif lain, ketidak-kerkenalan dia menjadi semacam momentum bagi Golkar ataupun Bapak Jokowi. Artinya ketidak terkenalan dia menjadi senjata untuk melirik pangsa suara mengambang dalam Pilpres 2019. Rekam jejaknya juga tidak terekspose secara luas. Hal yang membuat catatan politiknya menjadi tidak "ternoda" digores tinta hitam. Lawan politik akan sulit menganalisis dan mendeteksi sejauh mana rekam negatifnya. Masyarakat luas baru mengenalnya setelah dia menjadi Menteri Perindustrian (2016) dan Ketua Umum Golkar (2017). Dalam artian lain, Airlangga Hartarto bagai kertas putih bagi Jokowi yang sulit dijadikan peluru kampanye negatif dan hitam oleh lawan politiknya di Pilpres nanti.
Terlebih dia berasal dari Partai Golkar yang tidak terbiasa berada di luar kekuasaan dan memiliki loyalitas koalisi terhadap Pemerintah. Kader-kader Golkar begitu pasang badan dan fasih menciptakan intrik politik terhadap guncangan-guncangan politik yang dilakukan oleh rival politik pemerintah selama ini. Ya, kita tahu persoalan politik adalah bukan hanya soal berkuasa tapi juga mempertahankan kekuasaannya, menguatkan dan memelihara kepercayaan pemilihnya dengan berbagai intrik politiknya. Suatu hal di mana Golkar memiliki pengalaman memumpuni soal demikian. Sebagai balas budi, saya melihat Airlangga Hartarto adalah sebagai jawaban untuk menjadi calon wakil presiden Jokowi di 2019 nanti.
Nah, kemudian ada perdebatan, bagaimana soal lemahnya penegakan hukum, stabilitas ekonomi, kharisma kepemimpinan, dan persoalan keamanan Negara yang dirasa menjadi rangkaian lubang kelemahan di pemerintahan saat ini? Seperti diketahui, pemerintahan saat ini cenderung memprioritaskan program infrastruktur hingga "mengabaikan" hal lainnya yang juga urgent seperti persoalan radikalisme, stabilitas ekonomi, intoleransi dll. Apakah tidak lebih baik saja Jokowi berkolaborasi dengan pendamping yang berlatar belakang militer-religius?
Penulis melihat secara komposisi, kader di Golkar sudah cukup memenuhi jawaban persoalan di atas. Menimbang, kader dan personil pimpinan di Golkar terdiri dari berbagai elemen dan latar belakang yang juga cukup memiliki pamor nama, baik di bidang militer, ekonomi, hukum, agama. Artinya kompetensi dan komposisi personil partai Golkar sudah cukup lengkap serta siap untuk mengeliminir segala kekhawatiran demikian, baik dalam artian negatif maupun positif. Pada akhirnya, perkiraan penulis, Jokowi akan meminang Airlangga Hartarto sebagai wakilnya di Pilpres 2019 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H