Di sisi lain, ada adegan yang mempertontonkan kegelisahan dan kemarahan para pemuda-pemudi yang tak terima dengan pengibaran bendera asing itu. Padahal, Indonesia sudah merdeka.
Aksi teatrikal makin memuncak tensinya kala momen naiknya sebagian pemuda ke puncak hotel. Menurunkan bendera Belanda, menyobek bagian biru, lalu menaikkannya kembali. Sang Merah Putih yang ganti berkibar.
Dentuman suara yang membahana, ditambah aroma bau mercon dan asap berwarna, menjadikan suasana lebih hidup. Â Kembang api ikut yang mengangkasa di langit biru, seakan bak letusan bunyi senapan yang datang silih berganti.
Paska aksi dramatis ini, adegan berlangsung lebih muram. Suara tembakan yang terdengar, menjadikan tokoh utama gugur. Kesedihan melanda, doa pun dipanjatkan.
Begitulah, kisah ini berakhir. Dan sebagai refleksi, Eri Cahyadi, walikota Surabaya yang turut memerankan dua tokoh cerita sekaligus (Presiden Sukarno dan Residen Sudirman), menitipkan pesan pada warga.Â
Semangat kepahlawanan di masa lalu, juga menjadi semangat warga Surabaya kini dalam memerangi kemiskinan, stunting, putus sekolah dan hal negatif lainnya.
Suroboyo Wani! Tali duk, tali layangan. Nyowo situk, ilang ilangan. Tepat seperti epilog drama ini berkisah. Artinya, "Arek Suroboyo itu pemberani. Tali duk untuk layang-layang, nyawa cuma satu pun buat taruhan."
Semoga semangat perjuangan ini bisa menjadi inspirasi dan semangat bersama. Terutama kemerdekaan sejati di tengah banyaknya simpul perbedaan. Keragaman yang menjadi penguat. Kebhinnekaan yang menjadi penyelamat keutuhan NKRI.
Merdeka ... Merdeka ... Merdeka!