Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gelar Akademis yang Tak Selalu Berbuah Manis

21 Februari 2023   18:00 Diperbarui: 23 Februari 2023   02:16 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semasa masih kuliah dulu, kami punya seorang dosen. Bukan favorit sih, tapi kalau mengajar, ilmunya seperti sudah di luar kepala. Gaya bahasanya cukup tenang, tidak berapi-api.

Dalam satu kesempatan tatap muka di kelas, ia menceritakan kebanggaan atas gelar kesarjanaan yang disandangnya.  Tidak banyak, cuma satu tambahan di belakang namanya.

Walaupun terkesan jadul demikian, hanya lulusan S1. Tidak seperti sejawat dosen lainnya yang gelarnya sudah berderet di belakang nama aslinya. Ia tetap merasa berbangga hati.

Salah satu alasan kebanggaan itu adalah karena pemberian gelar akademis itu, secara legalitas peraturannya diteken oleh Presiden I RI Sukarno. Entah, mungkin karena nge-fans kali, ya hehe... 

Berbeda dengan aturan terbaru kini, yang gelar kesarjanaan cuma dikukuhkan oleh Menteri Pendidikan. Ya, tentu saja jelas beda tingkat vertikal lembaga kenegaraan.

Pada kisah lainnya, ia berharap agar mahasiswa jangan menilai kebanggaan seseorang sebatas dari berapa banyak gelar yang disandangnya semata. Lihat juga isi kepalanya. Dari pengajaran yang diberikan mereka.

Bukan sok-sok'an alias gaya-gaya'an, namun untuk menghadapi orang dengan sederet gelar yang melebihi dirinya pada masa kini, bukanlah hal yang perlu ditakuti. Merasa jadi minder. Bukan itu maksudnya.

Walaupun ia hanya lulusan sekolah pada bidang ilmu yang sama. Namun lulusan tempo dulu, menurutnya mendapatkan didikan yang jauh lebih bermutu. Tidak sekadar bisa lulus dengan hanya mengandalkan nilai minimun semata.

Ada attitude, moral, karakter, nilai humanis yang ditanamkan kepada mahasiswa. Kualitas yang amat dibutuhkan dalam menghadapi praktik 'liar' keilmuan di dunia nyata.

Jadi lebih dari sekadar bahan ajar yang bisa dihafal dan dipelajari. Warisan keilmuan yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Ada nilai plus untuk pembentukan karakter dari para calon sarjana.

Anomali

Sharing pengalaman itu, pada sisi lain bisa terjadi yang sebaliknya. Ada sementara orang yang begitu bangga apabila pada namanya tercantum deretan gelar. Orang lain bisa membacanya secara terkagum-kagum.

Bisa jadi gelar itu tak hanya satu dua, sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya dari dasar. Namun bisa pula bermacam-macam. Beda jurusan dari ilmu yang ditekuni pada mulanya. Makin panjang dan beragam, makin bangga dia.

Pada kasus seperti ini, nampaknya kalau dikuliti lebih jauh lagi, bisa jadi karena tuntutan pekerjaan. Misalnya seorang pendidik, minimal kini harus satu tingkat lebih tinggi dari tingkatan sekolah yang diajarnya.

Jadi kalau mengajar S1, ya gelarnya tak lagi boleh setara dengan calon mahasiswa yang S1 juga. Maka, mereka dituntut untuk mendapatkan tingkatan gelar yang lebih tinggi lagi, minmal S2. Satu jenjang tingkat di atasnya.

Atau bisa juga ada alasan khusus yang lainnya. Berguna untuk kenaikan karir atau mendapatkan posisi di jabatan khusus yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ada kewajiban bagi seseorang jika menginginkan porsi tersebut, gelarnya harus yang sesuai. Tidak bisa yang hanya standar umum semata.

No problemo kalau alasannya demikian. Sah dan wajar...

Nah yang jadi masalah kemudian, yang mencoreng nama baik akademisi adalah ketika gelar-gelar ini akhirnya menjadi ajang bisnis. Orang dengan jalan pintas mau membayar bea jasa berapapun nilainya (atau bisa nego) asal pada namanya dapat ditambahkan titel yang baru.

Pasar Terbuka

Ada uang ada barang. Persis seperti hukum ekonomi hal ini muncul. Orang membutuhkan gelar. Ada perguruan tinggi yang menawarkan gelar tersebut.

Namun kendalanya adalah soal lamanya waktu kuliah normal dan proses yang harus ditempuh. Dianggap terlalu lama, boros, tidak efisien dengan kecepatan praktik dunia kerja.

Maka... ketemulah cara sebagai jembatannya. Kewajiban masuk kuliah tiap hari bisa diakali dengan program khusus alias percepatan. Waktu tatap muka on class antara dosen dan mahasiswa tak perlu berlama-lama lagi. Jadi kelasnya eksklusif dan prioritas.

Bagaimana dengan sistem ujian dan nilainya? Gampang, bisa diatur dan dikatrol hasil akhirnya. Mau mendapat nilai berapa, bisa dibuatkan.

Tak harus catatan nilai studi mendapat skor yang paling tinggi, karena justru bisa terendus ketidakwajarannya. Terpenting, tak menyolok bagi yang melewati jalur biasa. Tau-tau ada jadwal lulus dan bisa ikut wisuda. Sah menyandang gelar baru sesuai yang diinginkan.

Praktik gelap atau terang benderang seperti ini, santer terdengar bukan hanya di akhir-akhir ini semata. Sudah lama terjadi sejak dasawarsa yang lalu-lalu. Timbul tenggelam.

Berani Jujur

Nama baik dan mutu dunia akademis tentu tercoreng namanya dengan terbongkarnya kasus guru besar atau dosen yang ternyata hanya menjadi plagiator sebuah karya ilmiah. 

Pendek kata, ia hanya menitipkan namanya semata, tapi tak mau berproses sendiri bagaimana karya itu bisa terbentuk menjadi demikian.

Jasa calo ternyata ada juga dalam dunia akademis seperti ini. Mereka pintar, dengan cara memanfaatkan sekelompok orang malas dalam berproses ilmiah, yang pada sisi lain ditengarai punya dana berlebih.

Akhirnya... imbasnya kepada para murid baru, mahasiswa yang sedang belajar darinya. Ilmunya miskin, tak sebanding dengan rentetan gelar yang disandangnya. Sebab pengetahuan yang dimilikinya tidak lahir dari pengalaman empiris yang dialaminya sendiri.

Tentu untuk memberantas ini semua juga tak semudah membalik telapak tangan. Karena fenomena seperti ini ibarat simbiosis mutualisme. Sama-sama merasa diuntungkan, baik pencari maupun pemberi jasa.

Maka, jadi teringat kembali pada cerita di awal tadi. Jangan terpana pada good looking-nya; dengan ragam deretan gelar yang mentereng. Lihatlah juga pada perilaku, budi pekerti, good attitude yang dimilikinya.

Nah jika prinsip seperti ini mampu dimiliki setiap orang yang mau terjun ke dunia akademis, niscaya dari sana juga lahir para sarjana yang berkepribadian baik, mumpuni dan berkualitas. Sebab mereka harus menjalani setiap prosesnya dengan cara yang baik dan benar pula.

Hendra Setiawan
21 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun