Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Lebaran, Ketika Persaudaraan Mengalahkan Paham Intoleran

5 Mei 2022   18:45 Diperbarui: 5 Mei 2022   18:55 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebaran alias perayaan Idul Fitri menjadi momen untuk mempererat tali kekeluargaan (foto: Widi W.)

Momen lebaran adalah suasana yang baik dalam menjalin relasi yang mungkin sedang bermasalah. Belajar merendahkan hati, mau meminta dan memberi maaf. 

Ini adalah cerita mudik 2022. Tradisi lebaran dari sisi yang lain. Ucapan Idul Fitri atau Selamat Lebaran 2022, tak hanya sebatas soal sekadar kata manis. Ia juga melibatkan soal rasa dan hati.

Lebaran memang menjadi perayaan hari besarnya umat muslim. Namun demikian, pada banyak tempat dan relasi, terkadang kekerabatan dalam satu jalur keturunan keluarga besar itu punya beragam keyakinan. Jadi lebaran tidak hanya berbicara soal keyakinan yang sama. 

Tetapi bisa mengarah pada rasa persaudaraannya. Ikatan kekeluargaan dalam satu darah yang sama.

Keberbedaan dalam keyakinan, tidak akan serta merta membuat ikatan dalam satu keluarga menjadi hilang. Lebaran juga mengajarkan semangat toleransi. Menghargai keberbedaan ini, tanpa harus mencaci-maki. "Kamu murtad, kamu sesat!"

Cerita menarik disampaikan oleh sahabat yang berasal dari Jombang. Salah satu kabupaten di Jawa Timur ini kental dengan nuansa "santri". Banyak pesantren berdiri, termasuk yang besar-besar seperti Tebuireng. Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Bapak Toleransi Indonesa punya nama besar dari tempat ini.

Pun demikian di kabupaten yang sama ini, jejak sejarah kekristenan mula-mula ditancapkan di daerah ini. Masih di sekitaran Tebuireng, sebut saja ada wilayah Ngoro (berdiri 1830-an), dengan tokoh Kristen awal bernama Coenrad Laurens Coolen (C.L. Coolen), yang makamnya justru sering disambangi umat muslim pada waktu-waktu tertentu. 

Ada Mojowarno (berdiri 1850-an), yang sering disebut dengan "Yerusalem-nya Jawa Timur"; terkenal dengan tradisi Undhuh-Undhuh.

Di antara itu ada juga nama Kertorejo, desa Kristen yang kelahirannya satu angkatan tahun 1840-an. Ada Bongsorejo (berdiri 1870-an), dusun tua yang penduduknya mayoritas Kristen. Ia yang banyak diapit pondok pesantren, namun menjadi 'magnet' persatuan di dalamnya.

Lebaran, Menyatukan Perbedaan

"Dulu ibu saya muslim.  Tapi saat lebaran ini kami belum bisa ke RRC (Republik Rakyat Cukir; sebutan canda) alias Tebuireng. Para keponakan yang justru datang ke rumah ibu di Mojowarno. Hmm, betapa indahnya paseduluran (persaudaraan) ini," kenang Widi (53), warga Sidoarjo yang ikut mudik ke rumah orang tuanya di tahun ini.

Ia menuturkan semasa kecilnya, "Kehidupan di RRC dan keempat daerah tadi memang enak, guyub, rukun. Wadan-wadanan ('olok-olok'), guyon-guyon (bercanda) menyerempet agama, pernah dilakukan, tapi tak ada emosi-emosian. Ya, karena rasa paseduluran tadi. Jalinan pertemanan yang kental itu lebih besar ketimbang kefanatikan agama."  

Tentu saja ia berharap kondisi seperti ini bisa langgeng. Ia menceritakan sendiri pengalaman yang ada dalam keluarga besarnya itu. "Sepupu saya dulu malahan ada yang busananya ganti pakai hijab cadar.  Tak apa sih sebenarnya mau ikut aliran keagamaan apapun yang baru. Tapi saat kumpul-kumpul lebaran, kok jadinya ia tidak mau lagi bersalaman dengan saudaranya yang Kristen."

Perubahan seperti itu, terang saja mengagetkan banyak saudara yang lain. "Lha wong dulu gak gitu, kok kini jadi berubah. Tak uber-uber sampek salaman, nek gak gelem tak rangkul (saya datangi sampai dia mau salaman, kalau tak mau saya peluk saja).

Akhirnya kami semua jadi ketawa ngakak. Batal 'kan budaya barunya," cerita pria berkacamata penggemar buku-buku terkait sejarah dan budaya ini sembari tertawa mengenang masa itu. Kini, semuanya telah kembali 'normal'.

Kisah ini bisa jadi inspirasi bagi kita semua. Momentum baik, Mudik 2022 ini sedapat mungkin menjadi titik awal kebersamaan. Kembali menjadi satu bangsa yang berkebhinnekaan. Dimulai dari 'rekonsiliasi' dari anggota keluarga sendiri.

Menjelang 'tahun politik' yang segera datang, jangan lagi persaudaraan kita dikotori paradigma sempit jualan agama. Biarkan ia ditempatkan dalam keagungan ajaran budi baiknya.

Kalaupun memang ada yang berseberangan paham. Ajaklah dengan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. Tak perlu dengan memukul, karena justru akan menimbulkan luka lara. Saling mengingatkan kembali bahwa kita punya trah, darah yang sama, yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi.

Selamat bersuci hati. Selamat lebaran 2022.

5 Mei 2022

Hendra Setiawan

 

*)  Sebelumnya:  Kerukunan, Potret Indah Kebersamaan di Hari Lebaran

Tradisi Unjung-Unjung Lebaran, Hari Pendidikan dan Momentum Kembalinya Kebersamaan 

Ucapan Selamat Lebaran dalam Bahasa Daerah, Memperkuat Rasa Cinta Nusantara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun