Hari raya Idul Fitri 1443 H atau Lebaran, jatuh pada hari Senin ini, 2 Mei 2022. Tentu ini bukan kebetulan semata.
Menengok masa lalu semasa masih sekolah. Hari Senin pagi sebelum pelajaran pertama dimulai pada pekan itu, ada tradisi upacara bendera. Tujuannya adalah menumbuhkan rasa nasionalisme anak bangsa.
Lalu tanggal 2 Mei ini, bersamaan juga ada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Penetapan ini umurnya amat tua. Lahir berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 316 tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
Nah, apa kaitan lebaran dengan hardiknas ini? Kaitan langsungnya memang tidak ada. Namun esensi dari masing-masing peringatan hari besar ini bisa diambil semangatnya.
Maklumlah, sebagaimana sudah jadi rahasia umum. Politik identitas kita khususnya dalam hal keagamaan pada satu sisi justru menjadikan keretakan. Orang menjadi makin eksklusif. Dalih ayat suci justru menawarkan kenyamanan hidup dalam sekat-sekat kecil. Terbatas, dan jangan bergaul dengan mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda. Dosa, syirik.
Pendidikan karakter, pendidikan kebangsaan. Pada momen lebaran, ini bisa dipakai kembali untuk memperkuat jatidiri bangsa.
Lebaran, Momen PenyatuanÂ
Tahun 2022 ini, tradisi unjung-unjung (bhs. Jawa, artinya berkunjung) ke rumah tetangga dalam satu kampung mulai bergairah lagi. Setelah dua tahun belakangan hilang karena imbas pandemi Covid-19.
Di kampung tempat tinggal saya, memang masih ada walau tak sesemarak masa lalu. Maklumlah sudah banyak generasi sepuh (orang tua) yang sudah tiada. Berganti ke generasi baru.
Ditambah, ada juga warga yang memilih mudik ke luar kota dulu. Jadi suasana di kampung agak sepi. Jadi tradisi itu bisa dilakukan setelah "H+" ke sekian. Tapi sifatnya jadi tentatif. Tidak lagi berombongan, keluar bersama-sama.
Memang, namanya orang tua bisa menjadi perekat kebersamaan. Biarpun dalam satu keluarga punya banyak saudara, belum tentu juga mereka bisa berkumpul jika orang tuanya sudah tidak ada.
Berkunjung kepada orang tua, sesepuh, atau orang yang dituakan dalam satu kampung adalah tradisi yang cukup baik. Di sana, setiap rombongan keluarga bisa saling bertemu. Bermaaf-maafan walau dalam kurun waktu setahun sekali secara formal.
Tak mengapa. Justru dalam kesempatan yang baik itu, banyak cerita yang bisa didapatkan. Mulai dari menanyakan kabar anak cucu atau kondis kesehatan dan sebagainya. Saling memperhatikan satu dengan yang lainnya.
Apakah perbedaan keyakinan (agama) menjadi penghalang? Sepertinya malah tidak! Momentum seperti ini justru hendak mempertontonkan adanya sikap toleransi.
Tolerare (asal kata-nya), berarti membiarkan orang lain untuk bebas memilih ideologi keimananya. Membiarkan orang lain memiliki pandangan yang berbeda sesuai keyakinannya. Membiarkan kebebasan yang dimiliki setiap orang dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Semua yang berbeda dengan pilihan dari yang dipilih diri sendiri.
Maaf dan Terima Kasih
Ucapan Idul Fitri dalam tradisi unjung-unjung, dalam konteks penutur bahasa Jawa, biasanya kata termudah yang dipakai adalah "Ngaturaken sugeng riadi (ari adi)..." Artinya, mengucapkan, menyampaikan, menghaturkan selamat hari raya .....  Kata belakangnya bisa bermacam-macam, sesuai  yang diucapkan seseorang.
Misalnya, dalam bahasa yang lebih santun adalah "Kula (baca: kulo) ngaturaken sugeng riadi.  Nyuwun agunging pangapura (baca: pangapuro) sadaya (baca: sedoyo) kalepatan kula . Ingkang kula sengaja (baca: sengojo) menapa (baca: menopo) mboten. Mugi-mugi saged dipun lebur ing dinten riyadi menika (baca: meniko)."
Artinya, saya mengucapkan selamat hari raya.  Mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahan saya. Entahkah itu  yang disengaja maupun tidak. Semoga (kesalahan itu) dapat melebur (ditebus) di hari raya ini.
Tapi, generasi kini, nampaknya sudah tak fasih lagi mempergunakan Bahasa Ibu.. Jadi langsung memakai Bahasa Indonesianya saja. Seperti ucapan baku pada umumnya. "Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin." Tidak ketinggalan tentunya adalah idiom "Minal 'Aidin wal-Faizin".Â
Nah, selain kata-kata pengantar yang sudah jamak tadi, kalau diperhatikan, ada dua kata paling sering muncul. "Maaf", dan "Terima kasih".Â
Maaf adalah sikap kerendahan hati. Tidak sombong dan merasa paling benar sendiri. Kata maaf saling terucap dari dua orang yang saling bersalaman atau berpelukan.Â
Kata "terima kasih" dilakukan juga oleh kedua orang yang sebelumnya telah berkata "maaf" tadi. Terima kasih atas kunjungan yang dilakukan. Terima kasih atas penerimaan dan suguhannya. Terima kasih atas perjumpaan yang telah dilakukan ini.
Maaf dan terima kasih yang sama ini, bisa jadi akan menjadi dua kata 'ajaib' dalam menghadapi situasi sosial yang tidak menentu di kelak hari. Apakah itu bisa dilakukan sewaktu-waktu atau justru menjadi barang langka, entah siapa yang tahu. Mudah saja diucapkan ataukah menjadi sesuatu yang mahal?
Selamat merayakan lebaran. Mohon maaf atas kekhilafan. Terima kasih atas perhatian yang diberikan...
2 Mei 2022
Hendra Setiawan
*) Sebelumnya: Â Momen Haru Liputan "Uwu" ala Kompas TV, You Make We Happy
Sejarah Tradisi Mudik, dari Zaman Majapahit hingga Masa Pandemi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H