Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Sejarah Tradisi Mudik, dari Zaman Majapahit hingga Masa Pandemi

30 April 2022   20:00 Diperbarui: 30 April 2022   20:31 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sejak Kamis (28/4/2022), saat Dishub (Dinas Perhubungan) memulai program Mudik Gratis 2022, ada kawan sudah woro-woro akan hal ini beberapa hari sebelumnya. Senang banget sepertinya ketika menceritakan hal ini. Sebab sudah dua tahun terakhir tak bisa melakukan ritual tahunan akibat aturan pemerintah. Hal yang bisa dimaklumi, demi kesehatan dan keselamatan bersama.

Walaupun tradisi mudik kini terkait dengan datangnya lebaran, namun sesungguhnya fenomena ini sudah menjadi milik bersama warga bangsa. Ada di antara mereka yang tak ikut lebaran sekalipun, juga bisa ikut melakukannya. Karena libur panjangnya juga terjadi pada saat-saat seperti ini.

Sejarah Panjang

Tulisan ini bukan reportase mudik 2022 yang ada di lapangan.  Tapi mencoba menelisik sejarah panjang dari mudik itu sendiri.

Dari sumber sejarah yang bisa dilacak, asal mula mudik ditengarai sudah dimulai sejak zaman kerajaan Majapahit berkuasa. Saat itu ada aturan penempatan pejabat kerajaan di berbagai daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit.

Ya, hal itu bisa dimaklumi karena mengingat keluasan wilayahnya yang bisa sampai ke Srilangka dan Semenanjung Malaya. Pada waktu-waktu tertentu, pejabat itu pulang untuk bertemu raja dan kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Pada masa yang sama ini, mudik juga banyak dilakukan oleh petani di tanah Jawa. Mereka punya kebiasaan pulang ke kampung halaman. Di situ mereka membersihkan makam leluhurnya. Istilah sekarang "ziarah kubur".

Pada masa pasca kemerdekaan, ketika ibukota Jakarta giat membangun, banyak masyarakat yang berasal dari daerah pergi ke sana. Para pendatang itu, setelah beberapa tahun tinggal menetap, berkeinginan untuk kembali pulang ke tempat asalnya masing-masing. Lantas, muncullah fenomena pulang kampung bersama-sama. Secara massal dilakukan oleh para pekerja di ibukota.

Melihat hal itu, di tahun 1960-an, jalur kereta api peninggalan Belanda akhirnya dihidupkan kembali. Tujuannya untuk memudahkan warga pendatang bisa pulang ke tempat asalnya.

Di era tahun 1970-an, mudik mulai menjadi tren kala menjelang lebaran tiba. Rombongan yang melakukan mudik tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok pekerja. Tapi skalanya mulai meningkat.

Aneka moda transportasi akhirnya terus ditambahkan, seperti bus, kapal dan pesawat. Demi memperlancar arus pergerakan massa yang punya dampak luas ini.

Hingga memasuki dasawarsa 1980-an, mudik menggunakan transportasi pribadi menjadi alternatif lain. Dan semenjak inilah, istilah mudik menjadi tren baru. Menjadi pengganti istilah dari sekadar “pulang kampung, silaturahmi dengan keluarga besar, halal bi halal dengan bersama di daerah”.

Pada perkembangan berikutnya, mudik menjadi salah satu program resmi dari pemerintah. Ada penanganan khusus menghadapi mobilitas akbar tahunan ini.

Asal Kata 

Memang, mudik seakan menjadi tradisi rutin tahunan. Ini yang namanya "mudik massal". Ada pergerakan besar-besaran manusia. Dari satu tempat ke tempat lainnya.

Arti kata mudik sendiri jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya adalah pulang ke kampung halaman. Barangkali mengambil istilah mudik atau udik yang berarti desa, dusun, atau kampung.

Sementara dalam bahasa Jawa, mudik merupakan akronim dari "mulih dhisik" atau "mulih dhiluk". Artinya pulang dulu atau pulang sebentar ke kampung halaman. Hanya sesaat menengok keluarga setelah beberapa waktu merantau ke tempat yang jauh dari famili.

Hampir mirip dengan itu adalah akronim “Menuju Udik” dalam Bahasa Betawi. Udik sendiri berarti kampung.

Jadi kalau orang Jawa “mudik” yang berarti hendak pulang ke kampung halaman. Maka orang Betawi menyebut diri mereka akan kembali ke udik (menuju kampung).

Mudik Tak Sekadar Tradisi

Melihat fenomena mudik yang terjadi, ada perbedaan besar antara motif awal dan perkembangannya. Sebagai pembanding, jika di tahun 1970-an, nampak motif utama mudik lebih memiliki sifat "tradisionalistik". Artinya, warga yang sudah merantau di kota, hendak kembali mengisi kegiatan dan pola kehidupan tradisonalnya dahulu di kampung halamannya.

Sementara itu, memasuki awal abad ke-21, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih "rasional". Mudik dilakukan  dengan alasan praktis semata. Misalnya, sebagai rekreasi bersama keluarga dalam suasana kekeluargaan. Atau, sebuah pertemuan keluarga besar yang bisa dilakukan secara efektif dan efisien. Dalam waktu yang berbarengan, ketika para anggota keluarga punya hari libur yang agak panjang. Mereka bisa meluangkan waktu secara bersama di tempat yang sama pula.

Sisi Positif dan Negatif

Secara sosio-kultural, mudik punya sisi positif. Momen ini bisa mempertemukan anggota keluarga yang sudah berpisah lama dengan tempat tinggalnya yang cukup berjauhan pula. Kekerabatan dan keakraban bisa terjadi lagi.

Secara sosial ekonomi, akan ada pemerataan ekonomi di berbagai tempat. Perputaran uang tak hanya terjadi di kota besar, tempat para pemudik berdomisili. Belanja ini bisa juga terjadi di kampung halaman masing-masing.

Secara spirit emosional, dengan mudik, akan ada energi positif yang bisa bangkit kembali. Dengan begitu, ada harapan produktivitas muncul kembali ketika tradisi mudik selesai dilakukan.

Namun pada sisi sebaliknya, tradisi mudik menyisakan sebuah persoalan. Hal yang kelihatan adalah dari segi transportasi. Ada kemacetan di jalan raya, yang terjadi akibat mobilitas tinggi yang terjadi di saat yang terbatas. 

Ada pula masalah kerawanan di rumah yang ditinggalkan pemudik. Juga meningkatnya persoalan polusi atau lingkungan yang terjadi akibat mudik rame-rame. 

Serta yang tak bisa dihindari juga adalah meningkatnya konsumerisme di masyarakat. Membelanjakan sesuatu yang sebenarnya bukan hal yang pokok. Ditambah pamaer saat mudik sebagai bukti kesuksesan setelah merantau.

Mudik di masa pandemi seperti saat ini, tentu saja harus disikapi dengan ekstra kewaspadaan. Jangan sampai seperti yang dikhawatirkan akan adanya risiko kasus aktif baru. 

Jadi, tetaplah jaga diri, guna melindungi keluarga dan kesehatan bersama. Semoga mudik tahun ini bisa senyaman sebelumnya.  

30 April 2022

Hendra Setiawan

*)  Bacaan:  kompas,  liputan6,  ruber,  suara

**)  Sebelumnya:  Rindu Pulang

 11 Tips Mudik Nyaman, Rumah Aman


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun