Â
Fakta kebangkitan Yesus yang terkanon dalam kitab Injil punya fakta menarik yang masih relevan hingga sekarang. Apalagi kalau bukan berita palsu alias hoaks.
Injil Matius 28:8-15 adalah cerita pertama tentang hoaks diciptakan setelah fakta kebangkitan Yesus sampai ke telinga para murid dan orang-orang lainnya.
Para Imam Kepala merasa khawatir dengan perkataan Yesus sewaktu hidup. Bahwa Dia akan bangkit pada hari ketiga.
Nah, untuk mengantisipasi akan hal ini, mereka meminta para serdadu/prajurit berjaga-jaga di depan kubur Yesus hingga tiga hari lamanya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para penjaga kubur mengabarkan fakta yang sesungguhnya terjadi. Yesus bangkit memang pada hari ketiga itu.
Sontak, merasakan gejala yang tak berpihak ini, Imam Kepala pun menciptakan berita palsu. Jenazah Yesus dicuri oleh para murid-Nya di saat para penjaga sedang tidur.
Tentu saja kebohongan yang sedang dibangun ini justru mengancam keselamatan para penjaga. Merekalah yang jelas akan mendapatkan hukuman jika tak becus menjalankan perintah. Tidur di saat tugas berjaga adalah kesalahan fatal.
Maka untuk mengamankan mereka, seandainya wali negeri Pilatus menginterogasi, para prajurit akan mendapatkan jaminan dari Imam Kepala. Selain itu, mereka juga mendapatkan uang tutup mulut. Hoaks itu terus terpelihara sampai Injil ditulis, sekitar tahun 70-90 Masehi.
Berbanding terbalik dengan itu, para murid dan rasul justru memberitakan kesaksian yang mereka alami. Perjumpaan dan pengalamannya saat berjumpa dengan Yesus yang telah bangkit, tidak membuat mereka takut seperti saat sebelum Yesus ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib.
Hoaks dan Tantangan Umat Beriman Masa Kini
Miris sebenarnya jika membaca kisah di atas. Golongan terpelajar, orang-orang yang mumpuni dalam bidang keagamaan. Namun di tangan yang sama itu pula, hoaks diciptakan.
Siapa yang menjadi korban? Tentu saja masyarakat awam yang sebetulnya lugu, polos. Ketika rentetan hoaks itu terus dinarasikan, apalagi dengan memakai jubah pemuka agama, kata-kata yang berisikan kalimat-kalimat nan suci, membuat yang awam tadi akhirnya terseret. Masuk dalam jebakan hoaks.
Orang yang sudah terjebak pada hoaks, jika tak diantisipasi sejak dini, makin lama makin dalam terseret arus pusaran. Kebenaran yang sesungguhnya malah dilawan. Ia bahkan rela menjadi corong kebohongan.
Hoaks bisa dilakukan tanpa seseorang sadari bahwa yang ia sebarkan adalah informasi palsu. Dengan sengaja atau tidak, turut menyebarkan hoaks dengan tujuan tertentu. Bisa karena keyakinan yang keliru, atau karena ambisi tertentu.
Meneladani semangat Paskah dua ribu tahun lalu, seakan sama konteksnya. Sebuah pelajaran agar sebagai umat beriman yang baik, Â turut ambil bagian mewartakan kebenaran yang sesungguhnya. Mengabarkan berita sukacita, kabar baik, warta kasih, informasi yang menyejukkan dan membangun. Â Â
Selamat Paskah 2022...
17 April 2022
Hendra Setiawan
*) Sebelumnya:
Artikel:Â Paskah, Titik Awal Kehidupan Baru
Disebut "Trihari" Suci Paskah, tapi Mengapa Jumlahnya Jadi Empat Hari?
Puisi:Â Sudah Selesai bagi-Mu, Belum bagi Kami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H