Bisa jadi, kalimat yang dipertontonkan cuma hiperbola alias melebih-lebihkan dari hal yang sebenarnya bukan seperti itu. Atau hanya untuk kesesuaian rima dari diksi (pilihan kata) yang dipakai. Seperti orang menuliskan sebuah "puisi terikat".
Namun terlepas dari penyampaian diksi yang dipakai tersebut, demo sekelas mahasiswa, tapi jika istilahnya "selera rendahan", ya jangan salahkan juga pihak penerima pesannya. Alih-alih mereka ikut bersimpati, justru sindiran menohok datang. "Kalian mau demo atau mau open BO (Booking Out)?"
Malahan ada kesan lain yang muncul. Ikut demo sebagai ajang pansos (panjat sosial alias mengikuti trend), bahan konten medsos (media sosial) dan lain-lain. Asal bisa dianggap sebagai kaum terpelajar yang berkontribusi dan berpihak pada persoalan masyarakat dan bangsa.
Ada baiknya, bahasa yang dipakai bisa lebih santun dan beradab. Bukan sekadar untuk aksi "lucu-lucuan" dalam menyampaikan aspirasi lewat ragam tulisan yang ditampilkan.
Tidak ada larangan untuk menampilkan kesan jenaka supaya bisa gampang tersorot media. Tetapi yang diperlukan adalah cara mengolah ragam kata itu sekreatif mungkin. Bukan sekadar mengandalkan sisi sensualitas atau adaptasi kesan tubuh yang vulgar. Supaya mahasiswa (i) jangan sampai terkesan "murahan banget gitu, lho...."
12 April 2022
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H