Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Trilogi I - Si Vis Pacem Para Bellum (Mau Damai? Ayo Perang!)

26 Februari 2022   15:30 Diperbarui: 26 Februari 2022   19:13 3113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peribahasa Latin ini masih lekat dalam ingatan. Kali pertama mengetahuinya dari guru SMA yang mengajar sejarah.

Sebenarnya tidak diketahui pasti siapa yang menciptakan peribahasa ini. Namun banyak yang meyakini bahwa kata-kata itu disadur dari penulis militer Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus. Ia menulis "Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum" dalam kata pengantar buku De re Militari sekitar tahun 400 M.

Tetapi jauh sebelum itu, ide pokok ini sudah ada pada Undang-Undang VIII ( 4) Plato di tahun 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos. Jadi sudah sangat tua ide ini muncul.

Pengin Damai Kok Ngajak Perang?

"Si vis pacem, para bellum" arti herufiahnya adalah "Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang".

Hah? Tak salah ini? Maunya berdamai kok malah mengajak berantem, berperang?

Damai. Rasa damai. Tenang. Tenteram. Nyaman. Semua ini adalah dambaan setiap insan di dunia.

Maka, menjadi wajar apabila sampai muncul ungkapan damai itu mahal harganya. Susah untuk menciptakan kondisi yang demikian.

"Satu musuh lebih banyak dari seribu kawan." Itu ungkapan lainnya. Betapa lebih mudahnya mendapatkan musuh yang bisa menimbulkan konflik. Ketimbang mendapatkan kawan yang bisa menciptakan perdamaian.

Perdamaian, tema yang seakan sakral. Itulah sebabnya mengapa secara global muncul peringatan khusus yang menandainya. Seperti misalnya Hari Perdamaian Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Januari. Ya, bertepatan dengan momen pergantian tahun. Kemudian ada pula Hari Perdamaian Internasional yang diperingati setiap hari Selasa pada pekan III bulan September.

Ada juga hari-hari khusus lain yang muaranya sama. Sebut saja di antaranya, peringatan hari tanpa kekerasan, penghapusan diskriminasi ras, persaudaraan sedunia, penghapusan perbudakan, minggu perlucutan senjata. Walau tidak menyebut kata khusus "damai" di dalamnya, toh spirit yang sama pula yang mendasarinya.

Damai secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi tanpa perkelahian, konflik, perseteruan, ketidaksepahaman, ketidakselarasan hubungan, ... dan seterusnya. Istilah atau pengertian yang pada hakekatnya bertentangan dengan makna damai itu sendiri.

 

Perang Dunia Haruskah Terjadi Lagi?

Haruskah generasi sekarang mengalami masa Perang Dunia (PD) III akibat konflik Rusia Ukraina? Invasi militer yang dilakukan oleh Rusia pada Ukraina per 24 Februari 2022 lalu jelas mengkhawatirkan banyak pihak.  

Rasa cemas, doa, permohonan, dan juga harapan ini secara tak langsung dapat terbaca dari tagar-tagar yang silih berganti namanya saban hari.  Janganlah kiranya konflik Rusia Ukraina ini terus berlanjut panjang. 

Tangkapan layar berita utama konflik Rusia dan Ukraina
Tangkapan layar berita utama konflik Rusia dan Ukraina

Ya, peperangan yang terjadi tentu bermula dari konflik. Ada ketidaksepahaman dari dua pihak. Atau bisa bisa juga karena pemaksaan kehendak dari satu pihak ke pihak lainnya.

Perang era baru dengan senjata pemusnah massal yang daya serangnya juga masif, tentu dampak kerusakannya lebih parah dari zaman dulu. Perang dari jarak dekat. Bumi hangusnya terbatas dilakukan dengan step bu step. 

Kini, satu rudal peluru atau bom atom bisa meluluhlantakkan sebagian besar wilayah, distrik atau setingkat perkampungan dan desa. Tidak usah melakukan perlawanan dari jarak dekat. Berkilometer jauhnya, tinggal pilih titik sasaran, senjata pemusnah massal itu sudah melayang.

Dampak perang juga tak hanya kerusakan fisik semata yang hancur. Korban jiwa jelas. Para pengungsi (warga sipil) yang kehilangan harta benda, pekerjaan, tempat tinggal, dan masa depan. Para generasi yang kehilangan keindahan masa tumbuh-kembangnya. Juga warisan budaya dan peradaban masa lampau juga turut terancam keberadaannya.

Menjadi pemenang karena perang. Apa yang bisa dibanggakan? Harga diri, nama besar, pujian?

Menang perang bisa saja mengakhiri konflik. Tapi bara api dendam masih akan tetap menyala pada mereka yang dikalahkan.

Daripada merindu dendam yang suatu saat ketika menemukan momentum yang tepat, bukankah lebih baik untuk merindu damai?

26 Februari 2022

Hendra Setiawan

*) Sebelumnya:  Teroris Kok Dibela

Puisi:  Berilah Kami Cinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun