Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Teroris Kok Dibela

25 Februari 2022   17:00 Diperbarui: 25 Februari 2022   17:03 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kamis Manis. Hari Kamis yang semestinya beritanya yang manis-manis saja. Tetapi harapan memang seringkali tak membuahkan hasil yang manis.

Kamis kemarin (24/2/2022), trending beritanya isinya tak mengenakkan. Ada tagar ancaman Perang Dunia III (PD III) yang dimulai dari invasi Rusia ke Ukraina. Ada juga yang mengangkat soal tuntutan bersalah kepada polisi yang bertugas kala menghadapi kelompok yang diindikasikan sebagai teroris. Sebelum itu adalah pula berita soal perubahan putusan hukuman kepada pelaku teroris dari seumur hidup menjadi 19 tahun penjara.

Ah, benar-benar menyedihkan. Mengapa harus perang lagi di dunia ini? Mengapa juga hukum negeri sendiri terlihat tak bertaji dan punya nyali tinggi. "Hukum yang menjadi panglima" seakan cuma jadi jargon yang indah dalam wacana dan teori.

Hukum dan HAM

Terorisme itu termasuk dalam tindak kejahatan luar biasa alias extraordinary crime. Kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity) ini skalanya bukan cuma lokal. Sudah berdimensi ke tingkat regional dan internasional.

Teroris itu dalam melakukan aksinya, dia tidak melihat apakah sasarannya itu satu suku, satu warga bangsa dengannya, atau satu agama (kepercayaan) yang sama.

Dalam benak pemikirannya adalah bagi mereka yang berada yang berada di di luar lingkaran yang sepaham adalah musuh. Walaupun bisa jadi yang berbeda pandangan itu masih terlahir dalam satu darah keluarga sekalipun.

Ngeri sekali cara pandang seperti ini. Tak hanya suku, bangsa, keyakinan yang berbeda yang bisa menjadi musuh. Hubungan kekerabatan juga tidak lepas nilai; tidak bebas dari terminologi lawan yang harus disingkirkan dan dihancurkan.

Orang bisa disebut teroris ya tentu saja karena dia menebar teror, ketakutan pada orang lain. Ada yang suka dengan mereka?

Orang waras tentu saja tidak berharap kemunculan teroris. Tetapi anehnya, ada logika terbalik yang dimiliki oleh orang-orang yang membela pelaku kejahatan extraordinary semacam ini. Istilah manisnya dilekatkan pada terminologi "Hak Asasi Manusia" (HAM).

Memihak Pelaku, Korban Diabaikan

Wajar sebenarnya membela seseorang atas nama HAM terhadap seorang pelaku atau tersangka sebuah kejahatan. Maksud awalnya baik, yaitu untuk mendudukkan mereka dalam porsi yang tepat dalam penanganannya. Bukan semata membela perbuatan jahat yang dilakukan supaya kelak bisa bebas dari tuntutan hukum. Minimal hukumannya bisa lebih ringan dari maksimal yang tertulis dalam aturan hukum yang berlaku.

Tetapi kalau kepada pelaku teroris diperlakukan juga seperti itu, bagaimana dengan mereka yang menjadi korban dari teroris itu sendiri?  Apakah mereka juga tidak layak mendapatkan perlakuan yang sama? 

Bukankah para korban teroris jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang pelakunya?  Teroris bisa melakukan tindakan solo, individu. Namun pihak korbannya jumlahnya lebih besar, lebih banyak, masif.

Tidakkah putusan di tingkat pertama yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, lantas berkurang menjadi 19 tahun di tingkat banding adalah putusan yang sudah tepat? Apakah itu tidak mencederai kepala surat yang bertuliskan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Ah, putusan yang sama saja dengan merobek kembali luka lara para korban (penyintas)  atas batin dan fisiknya yang bertahan di sepanjang hayatnya.

"Teroris kok dibela..."

Coba dipikirkan baik-baik. Atas nama HAM yang mana? Atas nama keadilan siapa?

Toleransi hukuman seperti inilah yang sekiranya membuat tingkat kepercayaan publik menjadi kian turun. Panglimanya tak bisa dipercaya karena tak bisa lagi mengayomi rasa keadilan. Hukumnya berpihak lebih berat pada si pelaku, bukan pada korban.

Bicara hukum, tidak bisa dibaca dari sekadar menjalankan teori di atas kertas. Hukum juga harus hadir dan mengedepankan rasa keadilan sosial yang berkemanusiaan.

Jadi teringat betul kata Agum Gumelar, anggota Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) beberapa tahun lalu (sumber di sini) soal penanganan kasus terorisme, jika dikaitkan dengan persoalan HAM.

Pegiat HAM terkesan membela teroris dalam hal penindakan tegas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pegiat HAM justru bergeming jika aparat penegak hukum yang menjadi korban.

Sangat tidak adil ketika pegiat HAM menyinggung soal pelanggaran HAM ketika ada teroris atau kelompok bersenjata yang ditindak tegas oleh aparat. Sementara ketika pelaku terssbut tidak tertangkap, aparat penegak hukum disoroti masalah kegagalannya.

Jadi, masihkah teroris pantas dibela atas nama HAM?

25 Februari 2022

Hendra Setiawan

 

*)  Sebelumnya:  TGIF: "Jangan Lupa Bahagia"

Pers yang Lucu, Tabu dan Saru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun