Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pers, Hari Antropologi, dan Persoalan Intoleransi

17 Februari 2022   17:45 Diperbarui: 17 Februari 2022   21:45 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mural isu hoaks dalam bermasyarakat (foto: dok. pribadi)

Saya jarang mendengarkan radio setiap hari. Hanya waktu-waktu tertentu dan tidak rutin. Biasanya untuk mendengarkan musik, obrolan ringan, update berita terkini atau renungan pagi.

Nah, tadi pagi di siaran programa 4 RRI penyiarnya sedikit mengulas soal Hari Antropologi yang jatuh pada hari ini, 17 Februari 2022. Dan sepertinya ada benarnya juga yang disampaikan dalam obrolan ini. "Mengapa peringatan ini tidak populer?"

"Ya, karena itu bukan di bidang kita, jadi rasanya asing. Coba kalau menekuni bidang itu, pasti akan tahu."

Beda dengan HPN 2022 (Hari Pers Nasional) yang jatuh pada setiap tanggal 9 Februari. Insan pers di media cetak, radio, televisi dan dunia digital, pasti akan mengenal dan mengingatnya.

 

Antropologi dan Budaya Manusia

Dari hasil penelusuran informasi, Hari Antropologi Sedunia biasa dirayakan pada minggu ketiga bulan Februari di hari Kamis. Jadi tanggal peringatan ini di tahun-tahun mendatang juga turut berubah pastinya.

Adanya Hari Antropologi Sedunia Ini tentu secara khusus ditujukan bagi para antropolog di belahan dunia manapun juga. Merayakan salah satu cabang dari disiplin ilmu pengetahuan yang ada.

Bisa jadi pers punya kaitannya dengan disiplin ilmu ini. Sebab peran pers juga memotret persoalan yang ada di masyarakat, di belahan dunia manapun juga. Sesuai konteks keberadaan mereka.

Secara ringkas, antropologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari manusia pada sisi budaya, dan juga hal lainnya yang berkaitan dengan masyarakat.

Kata antropologi berasal dari kata Yunani (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Maka secara etimologis, antropologi berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia.

Nah, dalam melakukan kajian terhadap manusia ini, aspek sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial, ilmu hayati (alam), dan juga humaniora, menjadi sangat penting.

Antropologi berguna untuk mempelajari pola perilaku manusia, baik secara individual, kelompok, ataupun yang lebih luas yakni dalam sebuah suku bangsa. Dari sinilah, sebuah masalah dapat dideteksi. Dari sisi psikis, emosi, tingkah laku dan lingkungannya.

Berangkat dari problem yang ada, ilmu antropologi berguna untuk membantu menciptakan ide baru atau solusi atas masalah yang muncul di masyarakat tadi.

Penghargaan atas Kesetaraan Hak dan Persoalan Intoleransi

Kalau mencermati situasi sosial yang berkembang di tanah air belakangan ini, dengan meminjam pisau bedah antropologi, setidaknya kita pun bisa turut belajar memahaminya. Seperti misalnya, ada dua hal yang nampaknya menjadi penyakit yang menggerogoti kebhinnekaan Nusantara. Problem lawas dan akut yang sepertinya belum ada obat penangkal yang mujarab.

Pertama, penghargaan sebagai individu dan warga negara yang setara kedudukannya di mata hukum positif. Termasuk adalah soal penegakan hukumnya (law enforcement).

Kedua, penghargaan atas kesetaraan hak individu atau kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan pilihan. Baik itu secara keyakinan (agama/kepercayaan), etnografi (suku, budaya, adat-istiadat), gender dan dan perbedaan lainnya.

Ada banyak peristiwa yang membuat orang jadi miris dan sinis terhadap aturan hukum yang ada di Indonesia. Pada kasus dengan tingkat pelenggaran yang sama, perlakuannya bisa berbeda.

Misalnya seorang pesohor (artis) bisa bebas dari jerat hukum melanggar aturan protokol kesehatan masa karantina. Padahal sudah ada 'protap' bahwa pada masa pandemi Covid-19, siapapun WNI yang pulang dari luar negeri wajib menjalankan karantina terlebih dulu.

Ada penceramah atau tokoh agama yang sering kedapatan menghina keyakinan dari pemeluk agama lain. Sengaja diumbar dan ditayangkan kepada publik; bukan terbatas dan tertutup buat khalayak.

Pihak penegak hukum seolah kehilangan taji dan gamang kala menghadapi persoalan seperti ini. Pihak yang satu bisa diproses cepat secara hukum, yang lainnya tetap santuy melenggang. Satunya dituntut dan dihukum tahunan, satunya dalam hitungan bulan sudah lepas jeruji.

Ada kelompok tertentu sering menghujat, menghina, dan menebar rasa benci kepada penganut kepercayaan (adat budaya) yang lain. Bahkan melarang, merusak pakem dan warisan tradisi leluhur. Tapi tindakan tegas kepada mereka yang membuat ulah, hanya manis dalam janji. Pihak yang jadi korban menjadi korban kedua kalinya karena justru bukan mereka yang mendapatkan perlindungan.

Kerap dipertontonkan, ada pihak yang merasa diri sebagai pemegang hak previlege yang wajib dipatuhi dan dihormati karena "superior dan mayoritas". Namun, begitu kedapatan kesalahan yang terang-benderang, lantas melempar tanggung jawab dengan menyalahkan yang lebih "inferior dan minoritas."

Jenuh 'kan kalau terus-terusan mendapatkan 'lagu-lagu lawas' seperti ini? Akibat buruknya apa? Menjadi per-maklum-an, "Ah... sudah biasa!"

Tidak menyelesaikan persoalan yang muncul dalam suatu tatanan masyarakat. Namun jelas memunculkan gejala sakit yang lain, "apatis". Maka tak heran kalau suara publik lewat media sosial menjadi pelampiasannya. Seperti munculnya tagar #percumalapor...  atau #save.... 

"Antropologi pers" kalau boleh memakai terminologi seperti ini, punya kekuatan dalam menunjukkan taringnya. Membantu persoalan sensitif yang sedang berkembang. Mencari alternatif solusi jika harapan lewat jalur resmi tak mempan.

Refleksi

Dengan adanya peringatan Hari Antropologi seperti ini, besar harapan sebagai anak bangsa yang berlindung dalam payung besar pelangi, biarlah  rumah Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini bisa kembali nyaman untuk ditinggali.

Saya, kamu, dan kita; merindukan generasi yang bisa akur duduk manis tanpa sinis. "Ah, kamu kafir, kamu sesat. Tak mau aku bergaul denganmu."

Saya, kamu, dan kita; merindukan masa-masa indah bersama. Tegur sapa, belajar, bermain, dengan riang gembira dan sukacita. Dengan beragam perbedaan rupa sebagai sebuah karunia yang memang mesti diterima dengan ikhlas dan lapang dada.

17 Februari 2022

Hendra Setiawan

 

*)  Bacaan:  Kompas,  Wikipedia,  IPSTerpadu,  PikiranRakyat

**)  Sebelumnya:  Cinta, Warna Pink, dan Wanita (Sisi Lain Valentine's Day)

 Artikel Utama:  Mengapa Bertahan "Demi Cinta"?

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun