Pers dalam bentuk media apapun, baik cetak ataupun digital punya pengaruh yang dahsyat. Ia bisa membangun opini; memberikan pencerdasan atau sebaliknya menyesatkan.
Sebelum melangkah ke dunia paperless (tanpa kertas), pers atau media massa bisa berbentuk koran yang ukurannya amat lebar. Ada juga yang lebih ramping berbentuk tabloid.
Ada media yang berbentuk majalah atau buku. Ataupun dalam versi ringkas, sekadar bacaan ringkas, bisa berupa traktat, stensil, leaflet, brosur.
Ketebalannya bisa bervariasi. Ada yang puluhan halaman, ada yang bisa mencapai ratusan. Â
Macam-macam aneka dan bentuknya. Namun tujuannya satu. Memberikan sebuah pesan, informasi kepada pembacanya.
Entah itu dibuat dengan kata-kata manis, dan ada hal yang tak tersampaikan di dalamnya; itu urusan belakangan. Namun intinya dengan pemyampaian informasi itu, pembaca dapat dibuat percaya.
Hoaks di Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda, sebuah informasi walaupun jelas siapa yang menulis dan media apa yang memberitakannya, bisa jadi akan menjadi perdebatan sengit. Apalagi jika menyangkut nama korps.
Tak mau nama institusinya tercoreng, perlu ada klarifikasi yang jelas. Apakah informasi yang disajikan itu benar atau mengada-ada.
Berkaitan dengan Hari Pers Nasional  (HPN 2022) yang jatuh pada hari ini, 9 Februari, saya ingin mengulas kembali sisi lain dari tulisan lampau tentang "Peniwen Affair."
Tulisan ini bisa dibaca ulang di  https://www.kompasiana.com/hendra.setiawan/605328fbd541df1b8377a832/monumen-peniwen-affair-pengakuan-dunia-atas-perjuangan-pmr
Inti ceritanya adalah pada 19 Februari 1949 telah terjadi peristiwa penyerangan oleh militer Belanda kepada warga dan utamanya petugas kesehatan di Desa Peniwen, Malang.
Aksi kekerasan tersebut akhirnya dilaporkan oleh Ds. Martodipoero (Ds. = Dominus, pendeta), yang menjadi pemimpin umat di Peniwen. Melalui pusat lembaga keagamaan yang menaunginya, surat yang dimuat di Pawartos Ringkes itu ahirnya diteruskan juga ke WCC (Dewan Gereja Dunia).
Tidak itu saja, berita ini akhirnya juga masuk dalam pembahasan di parlemen. Makin banyak media lain yang ikut menyoroti sehingga investigasi pun dilakukan. Walaupun pada awalnya kasus ini hendak ditutupi dan dianggap mengada-ada. Dalam bahasa populer sekarang termasuk hoaks.
Tragedi pembantaian anggota PMR (Palang Merah Remaja) ini akhirnya menjadi isu yang makin meluas ke berbagai negara. Dukungan investigasi kasus datang pula Perancis, Swiss, Argentina, Jerman hingga Inggris. Negara-negara dunia itu menekan dan memaksa Belanda untuk menghentikan agresinya di Indonesia.
Tim investigasi akhirnya dibentuk. Setelah tiga bulan bekerja untuk mencocokkan data dan mencari kebenaran fakta, didapati kesimpulan ternyata terbukti benar laporan tersebut.
Media Kecil Berdampak Besar
Pawartos Ringkes sendiri sebenarnya adalah media alternatif. Sebab, media induknya, Majalah DOETA yang diterbitkan oleh Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tidak dapat terbit karena situasi masa kemerdekaan yang belum stabil.
Dari namanya saja sudah ketahuan. Pewarta Ringkas. Isinya hanya pada inti persoalan yang dianggap penting.
Pdt. Martodipoero menulis protes atas kejadian tragis yang menimpa jemaatnya. "Lima ribu warga Peniwen menanggung duka mendalam atas kejadian 19 dan 20 Februari 1949. Ibadah Minggu 20 Februari 1949 terpaksa dihentikan. Karena jam 09.00 bersamaan jam ibadah, suara tembakan terdengar dari rumah sakit Jemaat Panti Oesada. Tentara Belanda menembaki perawat dan pasien. Sepuluh korban tertembak dari jarak dekat. Sehingga banyak warga jemaat mengungsi sampai ke Tempursari (Lumajang, red..) ".
Melacak Harta Karun Arsip Media Belanda
Kebenaran memang pahit rasanya. Tapi bagaimanapun juga ia harus diungkap. Menelusuri kembali media massa yang menjadi sumber pemberitaan dalam kisah di atas tentu tidak akan mudah jika seandainya dunia digital masih berupa angan-angan.
Bayangkan kalau kita harus ke perpustakaan di Belanda, Â berapa ongkos perjalanannya? Berapa lama waktu yang dibutuhkan mencari data yang dimaksud.
Kejamnya Belanda di lapangan pada peristiwa "Peniwen Affair", ternyata tak sekejam dalam pencarian literatur. Lewat perpustakaan tanpa batas di dunia maya, ternyata memang benar kita bisa menemukan jejak media massa apa saja yang memberitakan kejadian ini di masa itu.
Kita jadi tahu adanya pro dan kontra atau pihak yang berada di tengah-tengah. Mempertanyakan keakuratan kabar atau yang ingin segera mendapatkan kebenaran beritanya.
Seperti dalam kumpulan tangkapan layar beberapa edisi media massa yang menjadi gambar ilustrasi utama tulisan ini. Â Banyak hal menarik bisa didapatkan dari arsip pemberitaan digital semacam ini.Â
Jadi, kita tak akan terjebak dalam pemberitaan "katanya". Namun benar berdasarkan sumber yang bisa dipercaya.
Refleksi
Sebagai orang yang pernah belajar otodidak di media massa alias penerbitan, saya bersyukur karena bisa belajar ber-literasi secara mandiri. Bisa lebih mudah untuk mengantisipasi atau menilai sebuah media (khususnya online). Ia hanya sekadar mengejar rating belaka atau memang memberitakan sesuai dengan pedoman jurnalistik yang semestinya dilakukan.
Barangkali itu tantangan paling kentara yang perlu dibenahi untuk mewujudkan kedaulatan kebangsaan. Bukan hanya soal kecepatan memberitakan, namun akurasi pun penting.
Miris rasanya melihat sebuah media (apalagi yang sudah punya nama besar), dengan gampangnya meralat judul dan isi gegara mendapatkan banyak protes dari warganet. Atau celakanya, dengan seenaknya menurunkan berita yang sudah terlanjur beredar luas sebelumnya.
Tanggung jawab insan pers semestinya adalah memberikan informasi yang mencerdaskan kepada pembacanya. Jika pembaca cerdas, tak 'kan mudah hoaks bertebaran di mana-mana.
Selamat merayakan Hari Pers Nasional 2022....
9 Februari 2022
Hendra Setiawan
*) Sumber: Â Majalah DUTA, Â delpher.nl
**) Â Sebelumnya: Â Â Tak Dapat K-Rewards, Berarti Anda Relawan SejatiÂ
Artikel Utama): Â Â Pamer Harta, Berujung Duka atau Bahagia?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI