Tulisan ini bisa dibaca ulang di  https://www.kompasiana.com/hendra.setiawan/605328fbd541df1b8377a832/monumen-peniwen-affair-pengakuan-dunia-atas-perjuangan-pmr
Inti ceritanya adalah pada 19 Februari 1949 telah terjadi peristiwa penyerangan oleh militer Belanda kepada warga dan utamanya petugas kesehatan di Desa Peniwen, Malang.
Aksi kekerasan tersebut akhirnya dilaporkan oleh Ds. Martodipoero (Ds. = Dominus, pendeta), yang menjadi pemimpin umat di Peniwen. Melalui pusat lembaga keagamaan yang menaunginya, surat yang dimuat di Pawartos Ringkes itu ahirnya diteruskan juga ke WCC (Dewan Gereja Dunia).
Tidak itu saja, berita ini akhirnya juga masuk dalam pembahasan di parlemen. Makin banyak media lain yang ikut menyoroti sehingga investigasi pun dilakukan. Walaupun pada awalnya kasus ini hendak ditutupi dan dianggap mengada-ada. Dalam bahasa populer sekarang termasuk hoaks.
Tragedi pembantaian anggota PMR (Palang Merah Remaja) ini akhirnya menjadi isu yang makin meluas ke berbagai negara. Dukungan investigasi kasus datang pula Perancis, Swiss, Argentina, Jerman hingga Inggris. Negara-negara dunia itu menekan dan memaksa Belanda untuk menghentikan agresinya di Indonesia.
Tim investigasi akhirnya dibentuk. Setelah tiga bulan bekerja untuk mencocokkan data dan mencari kebenaran fakta, didapati kesimpulan ternyata terbukti benar laporan tersebut.
Media Kecil Berdampak Besar
Pawartos Ringkes sendiri sebenarnya adalah media alternatif. Sebab, media induknya, Majalah DOETA yang diterbitkan oleh Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tidak dapat terbit karena situasi masa kemerdekaan yang belum stabil.
Dari namanya saja sudah ketahuan. Pewarta Ringkas. Isinya hanya pada inti persoalan yang dianggap penting.
Pdt. Martodipoero menulis protes atas kejadian tragis yang menimpa jemaatnya. "Lima ribu warga Peniwen menanggung duka mendalam atas kejadian 19 dan 20 Februari 1949. Ibadah Minggu 20 Februari 1949 terpaksa dihentikan. Karena jam 09.00 bersamaan jam ibadah, suara tembakan terdengar dari rumah sakit Jemaat Panti Oesada. Tentara Belanda menembaki perawat dan pasien. Sepuluh korban tertembak dari jarak dekat. Sehingga banyak warga jemaat mengungsi sampai ke Tempursari (Lumajang, red..) ".
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!