Orang mengaku salah, wajib dimaafkan. Orang mengaku dosa, ada pintu pengampunan. Artinya, jangan yang sudah salah tadi, lantas dibiarkan kembali berada di jalan yang salah. Sudah salah, mengambil tindakan yang salah pula. Salah berlipat ganda.
Konkretnya, wanita hamil di luar status perkawinan yang sah adalah salah. Terlebih jika kehamilan itu dilakukan akibat perbuatan secara sadar oleh dua insan yang sama-sama sudah dewasa.
Ada hukum negara yang mengaturnya, bisa menjerat kedua pasangan ini. Begitupun dengan menggugurkan janin, aborsi, juga menjadi perbuatan yang diancam pemidanaan.
Sama juga dengan hukum agama. Sudah berdosa melakukan hubungan terlarang, masih juga mau membunuh bakal manusia yang baru. Makin bertumpuk pelanggarannya.
Stop Perulangan Kasus
Kasus NW, bisa jadi salah satu puncak gunung es. Ada pelecehan seksual, tindakan pemerkosaan, dan si pelaku enggan bertanggung jawab.
Si korban justru diminta (dipaksa) menggugurkan janin kala ia meminta pertanggungjawaban pelaku. Pelaku justru berusaha mengamankan diri, menjaga nama baiknya dan keluarga.
Korban pada akhirnya hanya menjadi pihak penanggung malu dan rasa bersalah. Hidup tak lagi tenang, terkucilkan (mengucilkan diri), malu, depresi, mendapat sanksi moral dan sosial.
NW sudah tenang di alam kehidupannya. Kasus seperti ini jangan terus ada perulangan. Teruslah bergerak dan bersuara melawan ketidakadilan. Tapi tak perlu juga menjadi “tuhan” atas nama sesama. Tak usah menjadi hakim yang merasa paling bisa menjadi peng-adil.
Lebih baik, bantu mereka yang berada dalam posisi tertekan dan butuh pendampingan. Dukungan mental, moral, dan spiritual (juga bantuan tindakan hukum) jauh lebih berarti bagi pemulihan diri si ‘korban’.
Hendra Setiawan